Kajian Filologis Dalam Hikayat Cerita Seorang

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN FILOLOGIS DALAM HIKAYAT CERITA SEORANG BODOH DAN SEORANG CERDIK DAN INTERPRETASI NILAI MORAL

SKRIPSI untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

oleh Nama NIM : Wikurnia : 2150402007

Program Studi : Sastra Indonesia Jurusan Indonesia : Bahasa dan Sastra

FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2006

SARI Wikurnia. 2006. Kajian Filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan Nilai Moral. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I : Yusro Edy Nugroho, S.S, M. Hum, Pembimbing II : Sumartini, S.S.

Kata kunci : filologi, hikayat, cerita berbingkai, suntingan teks, dan nilai moral.

Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tangan yaitu ilmu filologi. Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah yang berbentuk hikayat. Hikayat dikaji secara filologi untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah nilai moral. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini diarahkan pada analisis kajian filologi dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan nilai moral. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap isi cerita dan nilai moral dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik sehingga dapat dibaca, dinikmati dan bermanfaat bagi masyarakat saat ini. Manfaat penelitian ini secara teoretis dapat menjadi masukan bagi teori filologi dalam memberikan informasi mengenai isi Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik terutama nilai moral yang terdapat di dalamnya. Adapun manfaat secara praktis diharapkan dapat membentuk watak generasi muda yang berbudi luhur dan dapat mengembangkan kepribadian diri membentuk moralitas yang baik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filologi. Teori yang digunakan yaitu teori filologi dan nilai moral. Data penelitian yang dipakai berupa kalimat dan paragraf atau pernyataan yang terdapat dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik yang

mengandung informasi tentang nilai moral. Adapun sumber data penelitian ini adalah Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik tebal 13 halaman, berkode ML 229, dan merupakan naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode naskah tunggal edisi standar. Selain itu, dijelaskan pula tentang teknik analisis data dan langkah kerja dalam penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kajian filologi yang dilakukan secara mendalam, dapat mengungkap isi cerita dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik sehingga dapat dibaca dan dinikmati masyarakat saat ini. Nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dari segi nilai moral positif meliputi: sikap adil, sikap jujur, kasih sayang, percaya, menolong, bertanggung jawab, dan beragama. Adapun nilai moral yang ditemukan dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dari segi nilai moral negatif meliputi: menfitnah, mencuri, berbohong, balas dendam, dan serakah. Berdasarkan temuan tersebut, saran yang dapat disampaikan adalah: 1) dengan adanya penelitian ini diharapkan akan muncul usaha-usaha baru dalam penelitian filologi di masa yang akan datang; 2) dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat menerapkan nilai moral yang ada dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dalam kehidupan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa yang memiliki sejarah, kebudayaan, adat istiadat, dan bahasa daerah. Kebudayaan yang ada inimemiliki ciri khas kenusantaraan yaitu Bhineka Tunggal Ika. Artinya, meskipun kebudayaan-kebudayaan daerah di kepulauan nusantara itu telah tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi alam geografisnya dan cenderung berbeda-beda, namun mereka tetap memiliki persamaan-persamaan dasar yang satu. Kebudayaan-kebudayaan yang merupakan peninggalan masa lampau dapat berwujud fisik dan nonfisik. Kebudayaan yang berbentuk fisik adalah candi, prasasti, dan naskah lama yang biasa ditemukan dalam bentuk warisan kebudayaan. Adapun kebudayaan yang berbentuk nonfisik adalah nilai-nilai budaya, seperti tata karma, adat istiadat, norma-norma kehidupan, dan lain-lain. Naskah tulisan tangan adalah salah satu bentuk warisan kebudayaan Indonesia yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan klasik lainnya, seperti candi dan prasasti. Hal ini selain karena bentuk tampilan yang kurang menarik, juga disebabkan keberadaannya yang pada umumnya tersimpan di lemari-lemari penduduk

dan museum, serta sulit mengetahui maknanya tanpa penelaahan dengan disiplin ilmu khususnya. Ilmu khusus yang dapat menelaah naskah tulisan tersebut yaitu ilmu filologi. Filologi dapat diartikan sebagai cinta pada ilmu dengan objek penelitiannya naskah. Tujuan filologi adalah untuk menemukan bentuk asal dan bentuk mula teks dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Naskah dapat diartikan sebagai semua bentuk tulisan tangan nenek moyang kita pada kertas, lontar, dan kulit kayu yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Naskah kuno yang merupakan karya sastra klasik dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu prosa dan puisi (drama tidak dikenal dalam sastra Melayu klasik). Prosa sastra Melayu klasik lazim disebut hikayat karenapada umumnya judul prosa sastra Melayu klasik didahului dengan kata hikayat. Jenis karya sastra yang termasuk puisi adalah mantra, pantun, peribahasa, syair, gurindam, talibun, dan lain-lain (Djamaris 1990:12). Menurut Sudjiman (1994:15) karya sastra lama ada berbagai ragam (genre) dan jenisnya, serta berbagai pula topik yang dibawakannya, terkesan bahwa pada umumnya karya sastra bersifat didaktis instruktif, yaitu yang mengandung pengajaran dan bimbingan moral. Sifat didaktis yang tersamar di dalam cerita, disajikan secara simbolis sebagai fabel seperti Hikayat Pelanduk Jenaka, atau sebagai cerita bingkaian yang terdiri atas sejumlah cerita yang berisi pengajaran hidup seperti Hikayat Seribu Satu Malam. Selain itu, ada pula yang lebih langsung mengajarkan masalah agama atau kebajikan memerintah seperti Bustanussalatin. Karya-karya itu biasanya beragam prosa tetapi ada juga yang beragam puisi seperti Syair Rukun Haji dan Syair Nasihat Bapa kepada Anaknya. Sifat utile diartikan sebagai mengandung pengajaran dan

keteladanan, terutama tentang kearifan hidup bermasyarakat dan kehidupan beragama. Adapun sifat dulce diwujudkan di dalam kemerduan permainan

bunyi, keteraturan irama, serta gaya bahasa dan majas dengan penyajian yang memikat, menyejukkan perasaan, dan menimbulkan rasa keindahan sehingga kenyataan hidup yang kurang menyenangkan terlupakan sesaat (Sudjiman 1994:15). Salah satu naskah yang dapat dijadikan objek penelitian filologi adalah naskah yang berbentuk hikayat. Hikayat adalah cerita tentang kehidupan seseorang. Hikayat dapat berisi tentang cerita berbingkai. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya mengandung cerita lain (pelaku atau peran di dalam cerita itu bercerita) (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002:210). Sementara itu, menurut Fang (1993:1) di dalam sastra Melayu ada beberapa cerita berbingkai yang terkenal, yaitu Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Kalilah dan Dimnah, dan Hikayat Bakhtiar. Cerita berbingkai ini berasal dari India dan datang ke kepulauan ini dengan melalui berbagai jalan yang biasanya di dalamnya disisipkan cerita-cerita lain. Biasanya seorang tokoh atau lebih bercerita dan giliran tokoh dalam cerita itu bercerita pula, misalnya untuk membuktikan kebenaran kata-katanya. Di dalam cerita sisipan itu mungkin ada cerita sisipan lagi sehingga pada akhirnya cerita itu menjadi panjang dan luas. Ciri cerita berbingkai ialah bahwa dalam cerita berbingkai binatangbinatang selalu diberi sifat manusia. Binatang-binatang ini tidak hanya pandai bercerita, tetapi juga pandai memberi nasihat kepada tuan mereka tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia (Fang 1993:1). Di India, cerita berbingkai disebut Akhyayika yang berarti cerita dan katha yang berarti menyenangkan. Menurut Winternitz (dalam Fang 1993:1-2) berdasarkan tujuannya yang berbeda-beda, cerita berbingkai di India dapat dibagi dalam tiga golongan. 1. Cerita yang dikumpulkan untuk memberi ajaran agama, misalnya cerita Jenaka dan cerita-cerita Budhis serta Jaina lainnya.

2. Cerita yang bertujuan memberi ajaran politik dan pengetahuan duniawi, misalnya Pancatantra dan kumpulan cerita yang lainnya. 3. Cerita yang bertujuan memberi hiburan semata-mata. Ajaran moral tidak dipentingkan, misalnya Vetalapancavimsati dan Sukasaptati. Di dalam cerita berbingkai tersebut terdapat cerita berupa fabel. Fabel dapat diartikan cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti) (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2002:312). Fabel sebagai salah satu bentuk sastra imajinatif yang diungkapkan secara lisan atau tulisan mengandung makna berbeda dari apa yang tersurat. Biasanya yang menjadi pelakunya binatang atau kadang-kadang manusia dan binatang. Tujuan cerita binatang untuk menyajikan ajaran moral. Sifat manusia tertentu diwujudkan dalam binatang tertentu. Tokoh binatang kancil pada fabel Indonesia sama dengan tokoh rubah pada fabel Eropa yang menggambarkan keunggulan pikiran atas keunggulan fisik. Jadi, setiap kebudayaan memiliki pilihan binatang sendiri untuk melukiskan jenis watak manusia tertentu (Anonim 1997:242). Nilai-nilai yang ada di dalam karya sastra biasanya mencakup berbagai aspek kehidupan, antara lain nilai sosial, nilai budaya, keagamaan, nilai estetis, nilai moral, nilai hiburan, dan masih banyak lagi nilai-nilai yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia (Yunus 1990:105). Hikayat dikaji secara filologi untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, salah satunya adalah nilai moral. Nilai moral dapat diartikan sebagai konsep ide tentang tindakan manusia yang diterima untuk suatu masyarakat tertentu mengenai perbuatan akhlak budi pekerti dan kesusilaan yang dijunjung tinggi dan menjadi pedoman dalam berperilaku di masyarakat. Selain itu, nilai moral juga dapat dipakai sebagai pedoman hidup masa yang akan datang dan dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat.

Di dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik menurut penulis terdapat muatan moral. Bila ajaran moral ini digali dan diungkapkan, maka dapat membentuk watak generasi muda yang berbudi luhur dan dapat menjadikan jiwa yang teguh. Selain itu, jika ajaran moral diterapkan dalam kehidupan masyarakat maka hidup ini akan sentosa. Hal yang menarik dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik adalah ceritanya berbingkai. Dalam hikayat tersebut terdapat tiga buah cerita yang mencakup yang pertama, cerita seorang Bodoh dan seorang Cerdik dan yang di dalamnya ada sebuah cerita yang berbentuk fabel berupa cerita liang Katak berhampiran dengan liang Ulardan cerita yang ketiga dalam hikayat tersebut berupa cerita besi seratus kati

dimakan tikus dan rajawali menerbangkan anak-anak. Adapun ringkasan cerita Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik sebagai berikut: Ringkasan cerita yang pertama yaitu si Cerdik menginginkan sebuah emas yang ditemukan si Cerdik dan si Bodoh di jalan. Si Cerdik hanya ingin memililiki emas itu sendiri lalu ia menfitnah si Bodoh yang mencuri emas itu dan si Cerdik ingin Bodoh diadili. Lalu si Cerdik membohongi Kadi atau hakim bahwa ada seorang saksi yaitu pohon besar. Sebelum bapaknya si Cerdik menuruti permintaan anaknya. Bapaknya si Cerdik menceritakan sebuah hikayat bahwa perbuatan menfitnah dapat merugikan diri sendiri. Inilah cerita yang kedua yaitu hikayat liang Katak yang berdekatan dengan liang Ular. Bapak si Cerdik bercerita bahwa Katak ingin membalas dendam kepada Ular, karena Ular itu memakan semua anak Katak. Lalu Katak itu menfitnah Ular dengan cara ia mencuri tiga ekor ikan milik Jerapah, lalu ikan itu ia taruh di liang Ular. Maka Jerapah akan memakan Ular tersebut karena mencuri tiga ekor ikannya. Katak melakukan hal tersebut tetapi bukan Ular yang dimakan Jerapah, melainkan Katak yang dimakan Jerapah, karena Jerapah tidak melihat Ular ditempatnya tetapi melihat Katak yang sedang beranak. Hikayat ini diceritakan agar si Cerdik

untuk menyesali perbuatannya. Keesok harinya pohon kayu yang di dalamnya terdapat Bapak si Cerdik itu pun menjadi saksi. Kebohongan terbongkar, lalu si Cerdik ditangkap dan si Cerdik pun mengembalikan emas itu kepada si Bodoh. Ringkasan cerita yang ketiga yaitu, Amin mempunyai seorang teman yang bernama Barzagan. Amin menitipkan emas seratus kati kepada Barzagan, tetapi Barzagan menyembunyikan emas itu. Barzagan

mengatakan kepada Amin bahwa besinya telah habis dimakan tikus. Lalu Amin pun ingin membuktikan hal tersebut lalu ia menyembunyikan anaknya Barzagan. Barzagan menemui Amin. Lalu Amin mengatakan bahwa ia melihat bahwa anaknya Barzagan diterbangkan oleh Rajawali. Barzagan tidak percaya akan perkataan Amin. Lalu Barzagan berpikir bahwa anaknya ada pada Amin. Barzagan mengatakan sebenarnya bahwa besi Amin masih ada pada Barzagan. Amin mengembalikan anak Barzagan dan Barzagan mengembalikan besi seratus kati itu. Dari ringkasan cerita di atas, bahwa hikayat tersebut mengandung nilai moral yang dapat memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya untuk membentuk moralistas yang baik. Jadi, penulis tertarik untuk memilih hikayat tersebut untuk dikaji secara filologis dan juga akan dianalisisinterpretasi nilai moralnya sehingga dapat dibaca, dinikmati, dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.

1.2 Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembatasan masalah dapat difokuskan pada kajian filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan interpretasi nilai moral.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut ini. 1. Bagaimana kajian filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik? 2. Nilai moral apa sajakah yang terdapat dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik?

1.4 Tujuan Sesuai dengan masalah yang telah diungkapkan di atas maka tujuan penelitian ini. 1. Mengungkap kajian filologis Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik sehingga dapat dibaca dan dinikmati masyarakat saat ini. 2. Mengungkap nilai moral dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya.

1.5 Manfaat Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah secara teoretis dapat menjadi masukan bagi teori filologi dalam memberikan informasi mengenai isi Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik terutama nilai moral yang terdapat di dalamnya. Adapun manfaat secara praktis diharapkan dapat membentuk watak generasi muda yang berbudi luhur dan dapat mengembangkan kepribadian diri membentuk moralitas yang baik.

1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini diuraikan bab demi bab secara berurutan. Bab-bab tersebut sebagai berikut ini. Bab satu adalah

pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua adalah landasan teoretis yang berisikan filologi, kritik teks, hikayat, dan nilai moral . Filologi mencakup pengertian filologi dan objek filologi. Kritik teks mencakup pengertian kritik teks, pengertian transliterasi, dan metode penyuntingan teks. Hikayat mencakup pengertian hikayat, pengertian cerita berbingkai, dan pengertian fabel. Nilai moral mencakup pengertian nilai dan pengertian nilai moral. Bab tiga adalah metode penelitian yang mencakup data dan sumber data penelitian, metode penelitian, teknik penelitian data, dan langkah-langkah penelitian. Bab empat adalah analisis kajian filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan interpretasi nilai moral yang berisikan deskripsi naskah, transliterasi, suntingan teks, aparat kritik, kata sulit (glosarium), dan interpretasi nilai moral. Interpretasi nilai moral mencakup nilai moral positif dan nilai moral negatif dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik. Bab lima adalah penutup yang berisikan simpulan dan saran.

BAB II LANDASAN TEORETIS 2.1 Filologi 2.1.1 Pengertian Filologi Menurut Baried (1983:1) pengertian filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan. Kata filologi menurut etimologi, filologi berasal dari kata Yunani philos yang berarti cinta dan kata logos yang berarti kata. Pada kata filologi, kedua kata tersebut membentuk arti cinta kata atau senang bertutur. Kemudian arti ini berkembang menjadi senang belajar, senang ilmu, dan senang kebudayaan. Filologi sebagai istilah mempunyai beberapa arti sebagai berikut (Baried, 1983:2). 1. Filologi pernah diartikan sebagai hermeneutik atau ilmu tafsir teks yang dihubungkan dengan bahasa dan kebudayaan masyarakat yang memiliki teks tersebut.

2. Filologi pernah diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah diketahui orang. 3. Filologi pernah diartikan sebagai ilmu sastra karena yang dikaji karya sastra. Saat ini filologi ada yang mengartikan sebagai ilmu bantu sastra karena filologi menyiapkan teks-teks sastra, khususnya sastra klasik agar siap dikaji. 12 4. Filologi ada juga yang mengartikan sebagai studi bahasa atau linguistik. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Baried, Lubis (2001:16) menjelaskan pengertian filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan. Sementara itu, menurut Sudardi (2001:1) pengertian filologi adalah suatu disiplin ilmu yang meneliti secara mendalam naskah-naskah klasik dan kandungannya. Jadi, menurut penulis filologi yaitu ilmu yang mempelajari naskah disertai pembahasan dan penyelidikan kebudayaan bangsa berdasarkan naskah klasik. Dari naskah klasik itulah orang dapat mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat pada zaman lampau misalnya, adat istiadat, agama, kesenian, bahasa, pendidikan, dan sebagainya. 2.1.2 Objek Filologi Setiap ilmu mempunyai objek penelitian , tidak terkecuali filologi yang bertumpu pada kajian naskah dan teks klasik. Naskah-naskah yang menjadi objek material penelitian filologi adalah naskah yang ditulis pada kulit kayu, bambu, lontar, dan kertas. Penyebutan istilah klasik pada teks-teks Nusantara pada hakekatnya lebih ditekankan kepada masalah waktu dan periode masa lampau yang di Indonesia biasanya disebut dengan pramodern yaitu suatu kondisi waktu di mana pengaruh Eropa belum masuk secara intensif (Lubis 2001:25). 13 Menurut Sudardi (2001:3) objek penelitian filologi adalah teks dari masa lalu yang tertulis di atas naskah yang mengandung nilai budaya. Adapun menurut Baried (1983:3-4) filologi mempunyai objek naskah dan teks. Oleh karena itu, perlu dibicarakan hal-hal mengenai seluk-beluk naskah, teks, dan tempat penyimpanan naskah. 2.1.2.1 Naskah Menurut Baried (1983:54) naskah merupakan benda kongkret yang dapat dilihat atau dipegang, seperti semua bahan tulisan tangan yang disebut naskah (handschrift). Di Indonesia bahan naskah yaitu dapat berupa lontar, kayu, bambu, rotan, dan kertas Eropa. Naskah menurut Ikram (1994:3) adalah wujud fisik dari teks. Tulisan-tulisan pada kertas disebut naskah, dalam bahasa Inggris naskah disebut dengan istilah manuscript, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut handschrift (Djamaris 1990:11). Sementara itu, menurut Dipodjojo (1996:7) naskah ialah segala hasil tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan cipta, rasa, dan karsa manusia yang hasilnya disebut hasil karya

sastra, baik yang tergolong dalam arti umum maupun dalam arti khusus yang semuanya merupakan rekaman pengetahuan masa lampau bangsa pemilik naskah. 2.1.2.2 Teks Menurut Baried (1983:4) teks adalah sesuatu yang abstrak. Teks filologi ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan. Teks lisan 14 yaitu suatu penyampaian cerita turun-temurun lalu ditulis dalam bentuk naskah. Naskah itu kemudian mengalami penyalinanpenyalinan dan selanjutnya dicetak. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan (yang disebut naskah) dan tulisan cetakan. Sementara itu, menurut Lubis (2001:30) teks adalah kandungan atau isi naskah. Teks terdiri dari isi dan bentuk. Isi teks mengandung ide-ide atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Di dalam proses penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan ada tiga macam teks yaitu: teks lisan, teks tulisan, dan teks cetakan. 2.1.2.3 Tempat Penyimpanan Naskah Naskah biasanya disimpan pada berbagai perpustakaan dan museum yang terdapat di berbagai negara. Naskah-naskah teks Nusantara pada saat ini sebagian tersimpan di museum-museum di 28 negara, yaitu Afrika Selatan, Australia, Austria, Belanda, Belgia, Ceko, Denmark, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Malaysia, Norwegia, Polandia, Portugal, Prancis, Rusia, Selandia Baru, Singapura, Spayol, Swedia, Swiss, Thailand, dan Vatikan (Chambert-Loir 1999:203-243). Sebagian naskah lainnya masih tersimpan dalam koleksi perseorangan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan objek filologi berupa yaitu naskah dan teks. Jadi, naskah adalah hasil tulisan tangan yang 15 berwujud fisik dan di dalamnya mengandung nilai-nilai, sedangkan teks adalah isi dari naskah yang di dalamnya mengandung amanat. 2.2 Kritik Teks 2.2.1 Pengertian Kritik Teks Menurut Han (dalam Djamaris 1991:11) inti kegiatan filologi dapat dikatakan penepatan bentuk sebuah teks yang paling autentik. Tujuan penelitian filologi ialah mengungkapkan kembali kata-kata semurni mungkin. Adapun pemurnian teks disebut kritik teks. Menurut Sudjiman (dalam Djamaris 1991:11) pengertian kritik teks yaitu pengkajian dan analisis terhadap naskah dan karangan terbitan untuk menetapkan umur naskah, identitas pengarang, dan keautentikan karangan. Jika terdapat berbagai teks dalam karangan yang sama, kritik teks berusaha menentukan mana di antaranya yang otoriter dan yang asli. Usaha ini dilakukan untuk merekontruksi teks. Sementara itu, menurut Sutrisno (dalam Djamaris 1991:11-12) tujuan kritik teks adalah menghasilkan suatu teks yang paling mendekati teks asli.

Teks asli oleh peneliti filologi sudah dibersihkan dari kesalahan yang terjadi selama penyalinan berulang kali. Demikian pula isi naskah telah tersusun kembali seperti semula dan bagian-bagian naskah yang tadinya kurang jelas dijelaskan sehingga seluruh teks dapat dipahami sebaik-baiknya. 16 2.2.2 Pengertian Transliterasi Baried (1983:65) berpendapat transliterasi adalah penggantian jenis tulisan dari huruf demi huruf dan dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Pendapat tersebut senada dengan Sudardi (2001:29) yang menjelaskan pengertian transliterasi adalah pengalihan dari huruf ke huruf dan dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Sementara itu, menurut Lubis (2001:80) transliterasi adalah penggantian dari huruf demi huruf dan dari satu abjad ke abjad yang lain, misalnya huruf Arab-Melayu ke huruf Latin. Adapun pendapat Sudjiman (1994:99) transliterasi yaitu ahli aksara, penggantian jenis aksara (yang pada umumnya kurang dikenal) dengan aksara dari abjad yang lain (yang dikenal dengan baik). Tranliterasi merupakan salah satu langkah dalam penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf Arab Melayu. Salah satu tugas peneliti filologi dalam transliterasi adalah menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah, khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan penulisan kata menurut Ejaan Yang Disempurnakan supaya data mengenai bahasa lama dalam naskah tidak hilang (Djamaris, 1991: 4-5). 2.2.3 Metode Penyuntingan Teks Menurut Djamaris (1991:15) penyuntingan naskah tunggal dapat dilakukan dengan dua metode. 17 1. Metode Standar (biasa) Metode strandar adalah metode yang digunakan dalam penyuntingan teks naskah tunggal. Metode ini digunakan apabila isi naskah dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama dan bahasa, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar yaitu: a. mentransliterasi teks, b. membetulkan kesalahan teks, c. membuat catatan perbaikan atau perubahan, d. memberi komentar, tafsiran (informasi di luar teks), e. membagi teks dalam beberapa bagian, dan f. menyusun daftar kata sukar (glosari). Tujuan penggunaan metode standar adalah untuk memudahkan pembaca atau peneliti dalam membaca dan memahami teks. 2. Metode Diplomatik Metode diplomatik adalah metode yang kurang lazim digunakan dalam penyuntingan naskah. Metode ini digunakan apabila isi cerita

dalam naskah dianggap suci atau dianggap penting dari segi sejarah, kepercayaan atau bahasa, sehingga diperlukan perlakuan khusus atau istimewa. Di dalam suntingan teks yang menggunakan metode diplomatik, teks disajikan seteliti-telitinya tanpa perubahan dan teks 18 disajikan sebagaimana adanya. Hal-hal yang dilakukan dalam edisi diplomatik sebagai berikut. a. Teks diproduksi persis seperti terdapat dalam naskah, satu hal pun tidak boleh diubah, seperti ejaan, tanda baca, atau pembagian teks. Di dalam bentuk yang paling sempurna metode ini adalah reproduksi fotografis. Hasil reproduksi fotografis disebut facsimile. Hasil transliterasi tanpa perbaikan atau penyusaian disediakan untuk memudahkan pembaca dalam memahami teks. b. Kesalahan harus ditunjukkan dengan metode referensi yang tepat. c. Saran untuk membetulkan kesalahan teks. d. Komentar mengenai kemungkinan perbaikan teks. Tujuan pengunaan metode diplomatik adalah untuk mempertahankan kemurnian teks. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Djamaris, Lubis (2001:96) menjelaskan metode penelitian naskah tunggal hanya terdapat dua pilihan, yaitu: 1) edisi diplomatik adalah suatu cara mereproduksi teks sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor; 2) edisi standar adalah suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks, sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. 19 2.3 Hikayat 2.3.1 Pengertian Hikayat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:401) hikayat adalah karya sastra Melayu lama berbentuk prosa yang berisi cerita, undangundang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misalnya Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Seribu Satu Malam. Salah satu hasil sastra Melayu tradisional adalah hikayat. Kata hikayat berasal dari kata kerja bahasa Arab yang berarti memberitahu dan menceritakan. Hikayat menyampaikan kisah manusia (legendaris) dan seringkali juga tentang hewan yang bersifat manusia, seperti kemampuan berbicara. Hikayat jarang digambarkan sebagai laporan yang bersifat sejarah (Mcglynn 1999: 76). Hikayat diturunkan dari bahasa Arab hikayat yang berarti kisah, cerita, dan dongeng. Pengertian hikayat dapat ditelusuri dalam sastra Arab, sastra Melayu lama, dan sastra Indonesia. Di dalam sastra Indonesia, hikayat diartikan sebagai cerita rekaan berbentuk prosa cerita yang panjang; ditulis dalam bahasa Melayu; bersifat sastra lama; dan sebagian besar mengisahkan kehebatan serta kepahlawan orang ternama, yaitu para raja atau orang suci di

sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan, dan mukjizat tokoh utamanya (Anonim 1997:427). 20 Hikayat dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) jenis rekaan, misalnya Hikayat Malim Dewa dan Hikayat Si Miskin; (2) jenis sejarah, misalnya Hikayat Patani dan Hikayat Raja-raja Pasai; (3) jenis biografi, misalnya Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham dan Hikayat Abdullah (Anonim 1997:427). Hikayat sekarang mengacu ke bentuk karya sastra beragam prosa yang berisi kisah fantastik dan penuh dengan petualangan. Kata hikayat merupakan bentuk serapan dari bahasa Arab, di dalam bahasa asalnya semata-mata berarti narrative, tale, story (Hava dalam Sudjiman 1994:17). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hikayat adalah karya sastra Melayu lama yang berbentuk prosa berisi kisah kemanusian. Biasanya hikayat menyampaikan kisah manusia dan seringkali juga tentang binatang yang bersifat seperti manusia. 2.3.2 Pengertian Cerita Berbingkai Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:210) cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya mengandung cerita lain (pelaku atau peran di cerita itu bercerita). Sementara itu, menurut Fang (1993:1) ciri cerita berbingkai ialah di dalam cerita berbingkai binatang-binatang selalu diberi sifat manusia. Binatang-binatang ini tidak hanya pandai bercerita, tetapi juga pandai memberi nasihat kepada tuan mereka tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia. 21 Di India, cerita berbingkai disebut Akhyayika yang berarti cerita dan katha yang berarti menyenangkan. Menurut Winternitz (dalam Fang 1993:12) berdasarkan tujuannya yang berbeda-beda, cerita berbingkai di India dapat dibagi dalam tiga golongan. 1. Cerita yang dikumpulkan untuk memberi ajaran agama, misalnya cerita Jenaka dan cerita-cerita Budhis, dan Jaina lainnya. 2. Cerita yang bertujuan memberi ajaran politik dan pengetahuan duniawi, misalnya Pancatantra dan kumpulan cerita yang berasal daripadanya. 3. Cerita yang bertujuan memberi hiburan semata-mata. Ajaran moral tidak dipentingkan, misalnya Vetalapancavimsati dan Sukasaptati. Jadi, menurut penulis cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya disisipkan cerita lain, sehingga cerita itu menjadi panjang dan luas. Selain itu, cerita berbingkai dapat memberikan ajaran agama, ajaran politik, dan dijadikan hiburan. 2.3.3 Pengertian Fabel Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:312) fabel dapat diartikan cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (biasanya berisi pendidikan moral dan budi pekerti). Fabel sebagai salah satu bentuk sastra imajinatif yang diungkapkan

secara lisan atau tulisan mengandung makna berbeda dari apa yang tersurat. Biasanya yang menjadi pelakunya binatang atau kadang-kadang manusia 22 dan binatang. Tujuan cerita binatang untuk menyajikan ajaran moral. Sifat manusia tertentu diwujudkan dalam binatang tertentu. Tokoh binatang kancil pada fabel Indonesia sama dengan tokoh rubah pada fabel Eropa yang menggambarkan keunggulan pikiran atas keunggulan fisik. Jadi, setiap kebudayaan memiliki pilihan binatang sendiri untuk melukiskan jenis watak manusia tertentu (Anonim 1997:242). Fabel berasal dari kata Latin fabula yang berarti jenis cerita pendek atau dongeng rakyat yang bermanfaat (berisi pendidikan moral), terutama yayng berasal dari kehidupan binatang di mana hewan-hewan bertindak sebagai pelaku dan berbicara seperti manusia (Anonim 1990:982). Menurut Leach (dalam Djamaris 1990:39-40) bahwa animal folktale (cerita binatang) dapat dibedakan menjadi tiga tipe. 1. Etiological tale ialah cerita tentang asal-usul terjadinya suatu binatang berdasarkan pada bentuk atau rupanya sekarang ini, misalnya apa sebabnya bulu harimau itu loreng. 2. Fable ialah cerita binatang yang mengandung pendidikan moral. Binatang diceritakan mempunyai akal, tingkah laku, dan juga berbicara seperti manusia. 3. Beast epic merupakan cerita binatang dengan seekor pelaku utamanya, misalnya kancil atau pelanduk. 23 2.4 Nilai Moral 2.4.1 Pengertian Nilai Menurut Poerwodarminto (2003:801) nilai diartikan sebagai berikut: (1) harga dalam arti takaran, misalnya nilai intan; (2) harga sesuatu, misalnya uang; (3) angka kepandaian; (4) kadar; mutu; (5) sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, misalnya nilai-nilai agama. Nilai merupakan sesuatu yang seseorang alami sebagai ajakan dari panggilan untuk dihadapi. Nilai dilaksanakan untuk mendorong seseorang bertindak. Nilai mengarahkan perhatian minat seseorang dan menarik seseorang keluar dari dirinya sendiri ke arah apa yang bernilai. Nilai menuju kepada tingkah laku dan membangkitkan keaktifan seseorang (Suyitno dalam Soegito 2003:75). Nilai tidak hanya tampak sebagai nilai bagi seorang saja, melainkan segala umat manusia. Nilai tampil sebagai sesuatu yang patut dikerjakan dan dilaksanakan oleh semua orang. Oleh karena itu, nilai dapat dikomunikasikan kepada orang lain (Moedjanto dalam Soegito 2003:76). Menurut Soegito (2003:76) adanya nilai ditentukan oleh subjek dan objek yang menilai. Sebelum ada subjek yang menilai maka benda atau barang itu tidak bernilai. Inilah aliran yang menggabungkan antara subjektivisme dan objektivisme. Aliran subjektivisme adanya nilai tergantung pada subjek yang menilai. Benda itu bernilai karena subjek

mempunyai selera, minat, dan keinginan terhadap objek sehingga objek 24 tersebut mengandung nilai. Sebaliknya aliran objektivisme menyatakan adanya nilai tidak tergantung pada subjek yang menilai tetapi terletak pada objek itu sendiri. Jadi, tanpa ada subjek yang menilai, subjek tersebut sudah bernilai. 2.4.2 Pengertian Nilai Moral Secara etimologis kata moral berasal dari kata Yunani mos (jamaknya adalah mores) yang berarti cara dan adat istiadat atau kebiasaan. Kata moral mempunyai arti yang sama dengan kata etos (Yunani) yang menurunkan kata etika. Di dalam bahasa Arab, moral berarti budi pekerti sama dengan pengertian akhlak, sedangkan dalam konsep Indonesia moral berarti kesusilaan (Soegito 2003:76). Menurut Driyarkara (dalam Soegito 2003:76) moral atau kesusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan sebagai manusia atau kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Adapun menurut Soegito (2003:76) moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:782) nilai moral adalah nilai etik. Selain itu di dalam kamus juga dijelaskan tentang moral. 1. Ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, akhlak, budi pekerti, dan susila. 25 2. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap di perbuatan. 3. Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Menurut Spencer (dalam Gazalba 1996:11) moral adalah penyesuaian dengan lingkungan, sehingga menyenangkan atau bahagia bagi orang yang bertindak, keturunannya, dan sesama manusia. Adapun menurut Suseno (1987:19) kata moral selalu mengacu pada baik buruk manusia sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salah sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruk sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma umum ada tiga macam: norma-norma sopan santun, hukum, dan moral. Norma-norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia. Norma-norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum merupakan norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Norma-norma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang (Suseno 1987:19). Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas adalah sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah (tindakan ungkapan

sepenuhnya dari hati). Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang tanpa pamrih, hanya moralitas yang bernilai secara moral (Suseno 1987:58). 26 Moralitas suatu ciri perilaku seseorang yang dihubungkan dengan ukuran atau standar yang ada di dalam masyarakat, khususnya mengenai perilaku baik atau buruk. Moralitas bukan sesuatu yang diperoleh dari kelahiran, tetapi tumbuh dan berkembang dalam lingkungan hidup seseorang (Anonim 1997:371). Menurut Nainggolan (1997:21) ditinjau dari sudut bahasa, moral sebagai kata benda yang berarti berhubungan dengan prinsip baik dan buruk dari satu cerita dan kisah atau pengalaman. Sementara itu, menurut Taylor dalam Nainggolan (1997:21) moralitas adalah morality is a set of social rules and standards that guide the conduct of people in a culture. (Moralitas adalah satu set peraturan dan standar sosial yang mengatur tingkah laku orang-orang di dalam satu kebudayaan). Moral merupakan suatu tendesi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku perorangan dan masyarakat yang mempercayainya dan perilaku itu dilakukan dengan mudah serta dirasakan sebagai suatu kewajiban dalam berbagai macam keadaan dan tempat, sesuai dengan kemampuan untuk suatu tujuan tertentu (Nainggolan 1997:25). Menurut Nurgiyantoro (1994:321) moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Adapun menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro 1994:321) moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang 27 dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ajaran moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ajaran moral bersifat praktis sebab dapat ditampilkan, atau ditemukan dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Adapun menurut Nurgiyantoro (1994:335-339) bentuk penyampaian moral dibagi menjadi dua. 1. Bentuk Penyampaian Langsung Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung yaitu identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian (telling), atau penjelasan (expository). Jika dalam teknik uraian, pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat memberi tahu atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian terjadi dalam penyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Dalam hal ini, pengarang tampak bersifat menggurui pembaca dan secara langsung memberikan nasihat dan

petuahnya. 2. Bentuk Penyampaian Tidak Lansung Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat tidak langsung hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensi dengan unsur28 unsur cerita lain. Cerita yang ditampilkan adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, pesan moral dapat disampaikan kepada pembaca. Sebaliknya dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan menafsirkan pesan itu, harus melakukannya bersadarkan cerita, sikap, dan tingkah laku para tokoh. 2.4.2.1 Prinsip-prinsip Nilai Moral Dasar Menurut Suseno (1987:130-135) prinsip-prinsip nilai moral dasar ada tiga macam. 1. Prinsip Sikap Baik Prinsip sikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang dipahami secara rasional, melainkan juga mengungkapkan syukur alhamdulillah- yang memang sudah ada dalam watak manusia. Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar manusia yang harus meresapi segala sikap, tindakan, dan kelakuan. Prinsip ini bukan semata-mata perbuatan baik dalam diri sendiri, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain, dan keinginannya baik terhadap orang lain. Bersikap baik berarti memandang seseorang tidak hanya sejauh berguna bagi diri sendiri, melainkan berguna untuk orang lain. 29 2. Prinsip Keadilan Adil pada hakikatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu, pada hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia. Tuntutan yang paling dasar keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang di dalam situasi yang sama (kalau pemerintah membagikan beras di daerah kurang pangan, semua kepala keluarga berhak atas bagian beras yang sama, dengan memperhitungkan jumlah warga keluarga, tetapi penduduk yang cukup berada tidak membutuhkan bantuan berarti tidak berhak untuk dibantu). Jadi, prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. 3. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri Prinsip yang ketiga adalah manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu bernilai pada dirinya

sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person yang memiliki kebebasan dalam suara hati, dan makhluk yang berakal budi. Maka manusia wajib untuk memperlakukan dirinya sendiri dengan hormat. 30 Jadi, kebaikan dan keadilan yang ditunjukan kepada orang lain perlu diimbangi dengan sikap menghormati diri sendiri dan sebagai makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Seseorang yang ingin berbuat baik kepada orang lain akan bertekad untuk bersikap adil tidak untuk dirinya sendiri (Suseno 1987:135). 2.4.2.2 Jenis-jenis Nilai Moral Menurut Yunus (1990:105-114) nilai moral terbagi menjadi tiga pokok nilai. 1. Nilai Agama Nilai agama adalah nilai dalam karya sastra yang merupakan sarana penyampaian tentang nilai-nilai keagamaan. 2. Nilai Budaya Nilai budaya adalah aspek ideal yang berwujud sebagai konsep abstrak yang hidup di dalam pikiran masyarakat mengenai kata yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidup. Di dalam wujud yang konkrit, aspek nilai budaya berupa norma-norma, aturan-aturan, dan hukum yang menjadi pedoman manusia dalam bertindak dan berperilaku. 3. Nilai Sosial Nilai sosial adalah nilai yang menjadi pedoman langsung bagi setiap tingkah laku manusia sebagai masyarakat yang di dalamnya memuat sanksi-sanksi siapa saja yang melanggar. Dengan demikian, nilai sosial merupakan nilai yang 31 berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan usaha menjaga keselarasan hidup bermasyarakat. Sementara itu, menurut Nurgiyantoro (1994:324) jenis ajaran moral mencakup masalah yang bersifat tidak terbatas. Ajaran moral juga dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar, persoalan hidup dan kehidupan manusia dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Data dan Sumber Data Data penelitian yang dipakai berupa kalimat dan paragraf atau

pernyataan yang terdapat dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik yang mengandung informasi tentang nilai moral dari hasil transliterasi tulisan Arab diubah ke tulisan Latin dengan menggunakan pedoman Arab Melayu menurut Romdoni. Sumber data dalam penelitian ini adalah Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Tebal hikayat ini 13 halaman dan berkode ML 229. Setiap halaman naskah rata-rata memuat 13 baris tulisan, kecuali pada halaman terakhir memuat tiga baris tulisan dan terdapat enam baris tulisan yang berupa syair. Hikayat ini ditulis dengan tulisan Arab dan bahasa Melayu 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian filologi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian naskah tunggal dengan edisi standar. Edisi standar adalah usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya dengan 33 mengadakan pembagian alinea-alenia, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran (interpretasi) setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern (Lubis 2001:96). 3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi pustaka. Studi pustaka dapat diartikan membaca naskah yang berhubungan dengan penelitian ini. Penulis membaca dan memahami Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik, kemudian memilih bagian-bagian yang relevan dengan penelitian. Bagian-bagian yang relevan dengan penelitian ini baru dapat ditentukan sebagai data penelitian setelah ditelaah dan dianalisis terlebih dahulu. 3.4 Langkah Kerja Penelitian Langkah kerja penelitian yang penulis gunakan dalam menganalisis data sebagai berikut. 1. Mencari dan menentukan naskah yang akan dijadikan penetitian ini di Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2. Menemukan naskah Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik yang akan diteliti. 34 3. Membaca Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik secara berulang-ulang dan cermat. 4. Membuat tranliterasi yaitu perubahan dari tulisan Arab ke tulisan Latin dengan menggunakan pedoman Arab Melayu menurut Romdoni. 5. Membuat suntingan teks. 6. Membuat interpretasi nilai moral dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik.

7. Menyimpulkan keseluruhan hasil analisis kajian filologis dalam Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik dan interpretasi nilai moral. 35 BAB IV ANALISIS KAJIAN FILOLOGIS DALAM HIKAYAT CERITA SEORANG BODOH DAN SEORANG CERDIK DAN NILAI MORAL 4.1 Deskripsi Naskah Naskah Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik merupakan salah satu koleksi yang terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Naskah ini berkode ML 229 dengan nomor rol film 174. Naskah ditulis dengan tulisan Arab dan berbahasa Melayu. Naskah tersebut berbentuk prosa yang berupa hikayat. Judul dalam teks adalah Bahwa ini suatu Hikayat Ceritera Orang Bodoh dan Orang Cerdik (h-1), sedangkan judul luar teks adalah Bahwa inilah suatu Ceritera Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik (h-i). Pada halaman i juga tertulis naskah ini sebuah hadiah dari dr. Brandes. Naskah terdiri atas 13 halaman. Naskah ini diberi nomor halaman dengan angka Arab 1 13 dan i dengan pensil, merupakan tambahan dari penyunting. Secara fisik, naskah mempunyai ukuran sampul dan halaman yang sama yaitu 14 x 18,5 cm, sedangkan ukuran blok teks ialah 10,5 x 15 cm. Setiap halaman naskah rata-rata memuat 13 baris tulisan, kecuali pada halaman terakhir memuat tiga baris tulisan berupa kalimat dan enam baris berupa syair. Keadaan naskah masih baik, walaupun kertas terdapat tanda bekas terkena air. Tulisan dengan tinta hitam dalam naskah masih jelas terbaca. 36 Naskah dijilid dengan karton marmer warna cokelat. Kertas yang dipakai untuk menyalin naskah yaitu dari bahan kertas Eropa berbentuk garis kolom berantai. 4.2 Transliterasi Pedoman transliterasi Arab Melayu yang penulis gunakan sebagai berikut. Arab Melayu Arab Melayu Arab Melayu ASL B SY M T SH N S DH W J TH H H ZH Y KH G D GH NG Z P NY RQC Z K O/U

EIHasil transliterasi Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik. /1/ Bahwa ini suatu hikayat ceritera orang bodoh dan orang cerdik Sebermula sekali peristiwa si cerdik dengan si bodoh berjalan keduanya maka ia pun mendapat sepotong emas terhantar di jalan raya maka ujar si cerdik kepada si bodoh marilah kita kembali adalah kita diberi untung oleh Allah Subahanallahuwataala beroleh emas ini dimanatah kita cahari lagi maka ujar si bodoh marilah kita berbahgi dua emas ini dahulu maka kata si cerdik jangan dahulu kita bahgi emas ini melainkan kita bawa sekedar akan belanja kita juga yang lainnya kita taruhkan disini barangkali habis belanja kita maka kita datang mengambil dia setelah itu maka dibawanyalah emas itu ditaruhnya 37 kepada suatu pohon kayu yang besar maka kembalilah kedua mereka itu kerumahnya selang berapa hari maka si cerdik pergilah dengan seorang dirinya lalu /2/ diambilnya emas itu dibawanya pulang ke rumahnya selang berapa hari lamanya anataranya maka si bodoh pun datang mengajak si cerdik hendak pergi mengambil emas itu maka pergilah mereka itu keduanya kepada pohon itu didapatnya emas itu sudah tiada lagi maka kata si cerdik siapa tahu engkaulah mengambil emas itu maka pura2 engkau mengajak aku pula melainkan adalah engkau ini daripada orang khianat serta dihelanya tangan si bodoh hendak dibawanya kepada kadi maka si bodoh pun bersumpah tiada dicuri maka tiada jua dipercaya oleh si cerdik maka dibawa kepada kadi maka dikatakannya segala perhal keduanya itu mendapat emas itu habis diceritakan kepada kadi maka ujar si cerdik ya tuan hamba kadi barang dihakimkan kiranya antara kedua kami ini dari karena besarlah khianat si bodoh akan hambamu sudahlah diambilnya emas itu tiada diberinya tahu hambamu kemudian maka datanglah /3/ ia pura2 mengajak hamba pergi maka pergilah hamba sertanya hendak mengambil emas itu tiba2 hamba dapati tiada lagi emas itu maka pada jataha di hamba seniscaya iyalah yang berbuat khianat karena pada masa itu terlalu sunyi jangankan manusia unggas pun tiada mengetahui dan tiada melihat hamba menaruh emas itu melainkan iyalah yang mengambil emas itu siapa yang tahu daripada jalan yang kebenaran hamba mudah2an pohon kayu itu jadi saksi akan hamba maka kadi pun heran menengar kata si cerdik maka kata kadi baiklah esok hari hakimkan disana maka mereka itu pun kembalilah keduanya masing2 dengan rumahnya adapun akan si bodoh itu suatupun tiada apa katanya menjadi heran ia menengar kata si cerdik dan iya tiada tahu berkata2 sebab bodohnya setelah itu maka si cerdik datang kepada bapanya maka katanya hai bapaku kasihkah bapaku akan daku maka kata bapanya mengapa /4/ engkau berkata demikian dimanatah makhluk ini tiada kasih akan anaknya maka ujar si cerdik hai bapaku bahwa aku ada mengaku kepada kadi yang itu 38 pohon kayu tempat emas kami taruhkan berdua dengan si bodoh maka pohon kayu itulah akan jadi saksi daripada hilangnya emas itu tetapi emas itu aku

ambil dia dan aku katakan si bodoh yang mencuri emas itu ihwal inilah supaya bapaku tolong aku dan supaya emas itu kita peroleh maka kata bapanya hai anaku kerja apa yang engkau suruhkan kepada aku ini maka sahut anaknya hai bapaku adapun pohon kayu itu berlubang barangkali lolos bapaku masuk ke dalam jika mau bapaku sepakat dengan hamba masuklah bapaku pada malam ini didalam lubang pohon kayu itu dari karena esok hari kadi akan datang pada pohon kayu itu memeriksa antara kami dengan si bodoh itu jika ditanya oleh kadi itu maka hendaklah bapaku menyahut sebagaimana ada orang yang nanyak /5/ saksi demikianlah kami minta kepada bapa maka kata bapanya hai anaku pekerjaan engkau ini akibatnya tiada diperoleh kebajikan adalah seperti hikayat katak lubangnya berhampiran dengan liang ular maka sahut anaknya bagaimana hikayat katak itu ceritakanlah kepada aku supaya aku dengar maka ujar bapanya ada seekor katak berhampiran liang dengan ular maka tiap2 katak itu beranak habis dimakannya oleh ular itu setelah itu maka katak pun pikir dalam hatinya apa kesedihanku dengan demikian ini maka lalu ia pergi kepada kura2 serta katanya kepada sang kura2 yaitu hamba adaku lama dengar seorang pendeta tetapi aku tiada dapat pergi kesana karena tempatnya terlalu amat banyak dan tanahnya dan batunya daripada menikam dan akik sebab itulah tiada boleh aku pergi kesana dan oleh karena itu hamba mintalah akan tuan hamba pepatah akan hamba supaya hamba dengar dan hamba amalkan maka ujar kura2 hai musafir adalah tiap2 /6/ pekerjaan yang sukar atau melawan seteru yang keras dan yang besar itu tiada diperoleh dengan kuat kita melainkan dengan daya upanya kita juga demikianlah sahdan apabila engkau lihat lubang jerapaya maka ambil olehmu barang tiga ekor ikan maka engkau hantarkan pada lubang ular itu terdapat tiada jikalau dilihat oleh ular jerapaya hendak memakan itu niscaya disambarnya dan dibunuhnya akan ular itu maka pada masa itu luputlah engkau daripada bahaya seteru itu maka katak pun berlalu sekejip menengar 39 kata kura-kura demikian itu lalu diperbuatnya seperti kata kura2 itu hata maka keluarlah jerapaya itu daripada tempatnya serta dilihatnya ikan itu lalu dimakannya itu maka jerapaya pun berjalan pula ia kesana maka dilihatnya ikan pun tiada ular pun tiada di lubang maka jerapaya pun berjalan2 antara itu maka bertemu dengan lubang katak maka dilihatnya oleh jerapaya itu katak anak beranak hendak keluar maka dimakannya /7/ oleh jerapaya katak itu habis semuanya dimakan adanya maka kata bapanya hai anaku demikian jalannya tiap-tiap sesuatu pekerjaan banyak dipikir lebih dahulu supaya akhirnya tiada jadi menyesal maka ujar si cerdik perkataan apatah yang katakan itu pada pikir hamba siapa yang tahu akan pekerjaan kita maka ujar bapanya hai anaku aku katakan pada engkau hikayat ini supaya kamu pikirkan jikalau jadi benar padamu maka ujar si cerdik hai bapaku jikalau ada kasih sayang bapa kepada hamba janganlah bapa panjangkan kalam ini karena sedikit sajalah kita banyak diperolehnya tiada banyak maka daripada sangat bapanya kasih akan anaknya maka diturutnya padahal tiada ia takut akan Allah taala dan tiada menjalani jalan teringat telah

dikerakannyalah kerja maksiat itu maka pada esok harinya kadi pun datanglah kepada pohon kayu itu serta dengan segala jamaahnya maka si bodoh dan si cerdik bersama2 telah sampai kepada pohon kayu itu berdiri maka kadi /8/ bertanya demikian katanya hai pohon kayu siapa mengambil emas itu katalah kepada aku maka saya hata pohon kayu itu si bodohlah yang mengambil dia maka kadi pun heran menengar suara itu serta iya pikir dalam hatinya ada juga manusia didalam kayu ini setelah ia pikir demikian maka disuruhnya angkut kayu yang kering ditimbunkan pada pohon kayu maka disuruh jadikan api sahdan maka tiada menderit orang itu lalu ia keluar dari pohon kayu itu maka sekalian jamaah jadi heran masing2 kah berkata siapa yang puya perbuatan demikian ini telah habis demikian maka kata kadi bawa kemari orang tuwa itu supaya kita periksa maka orang tua itu diperiksa oranglah kandi dan orang tua itu roboh tiada boleh menyahat sebab bekas kehangatan kena api itu jadi terhanguslah hatinya dan hancurlah sekalian 40 kulitnya maka orang tua itu matilah maka si cerdik pun ditangkap orang serta di kasi hakim dengan /9/ beberapa kesakitan darsainya maka si cerdik itupun keluarkanlah emas itu maka oleh kadi disuruhnya pulangkan emas itu kepada si bodoh itulah halnya adanya orang yang cita2nya lebih akan dunia jua tiada lain bahwa ini hikayat ada seorang dahulu kala bernama barzagan ia mengatakan tikus makan besi seratus kati dan rajawali menerbangkan seorang kanak-kanak demikianlah cerita itu sebermula ada seorang bernama amin ia hendak berlayar tiada ampunya modal maka ada kepadanya besi seratus kati itulah dibawa kepada seorang sahabatnya nama barzagan ditaruhnya disitu kemudian maka iya pergilah kepada kerja yang dimaksudnya maka oleh barzagan dijualkannya sekalian besi itu maka berapa lama tuan yang punya besi itu datang serta menuntut besi yang dikirimnya itu maka kata barzagan engkau punya besi itu aku taru didalam gudang telah serta berapa /10/ lamanya maka akupun tersadar akan hendak membaiki gudang itu maka tiba2 besimu itu tiada kelihatan lagi serta habis dimakan oleh tikus maka ujar amin mustahil la katamu itu hai handaiku tikus makan besi tetapi sungguh juga seperti katamu itu karena giginya tajam sedangkan tulang lagi dapat digigit setelah barzagan menengar kata amin itu demikian maka dalam hatinya tiada lagi akan dituntutnya besi itu maka amin pun bermohon pulang, maka dipegangnya oleh barzagan katanya jangan handayku pulang dahulu karena hamba hendak berjamu tuan hamba maka ujar amin hai handayku menerima kasihlah hamba tetapi apatah daya hamba karena ada garda insyaallah esok hari hamba datang mendapatkan tuan hamba maka lalu ia turun berjalan pula ke rumahnya setelah datang keluar pagar maka didapatnya anak barzagan ada bermain-main /11/ maka didatangi oleh amin akan anak barzagan dibawanya pulang ke rumahnya setelah hari malam maka Barzagan mencari anaknya keliling tiadalah didapatnya maka dicarinya pula pada segala kampung serta berseru2 dengan nyaring suaranya menangis duka citanya akan anaknya maka lalu ia pergi kepada amin maka berkata iya hai handaiku Amin adakah tuan

41 menengar khabar anak hamba serta lenyap maka amin pun terkejut menengar kata barzagan itu demikian lalu ia berkata ya handaiku jikalau hamba tahu akan anak saudaraku diterbangkan oleh rajawali itu niscaya aku berbatalah daripadanya setelah barzagan menengar kata handainya amin itu maka iya pun heran dalam hatinya serta ia berkata hai handaiku adakah bernasip pada bicara handaiku rajawali menerbangkan seorang kanak-kanak mustahil adanya maka ujar amin tiadakah handaiku percaya yang rajawali itu dapat menerbangkan seorang kanak2 manusia /12/ dan jikalau demikian bicara tuan hamba sekali2 tiada jadi siapa tanya kepada yang ampunya takdir pada melakukan kodiratnya dari karena adalah dalil firman Allah taala yakni bahwasanya aku juga amat mengetahui barang yang tiada kamu mengetahui dia dan pada bicara hamba jikalau tiada dapat tikus makan besi seratus kati maka niscaya tiada dapat diterbangkan rajawali akan tuan hamba punya anak sahdan maka ujar barzagan kepada amin tahulah hamba bahwa anak hamba itu adalah pada tuan hamba maka sekarang akan besi tuan hamba itu adalah kepada hamba maka barzagan pun kembalikanlah besi kepada amin dan amin pun kembalikanlah anak barzagan itu kepadanya demikianlah perinya dan adalah ibarat hikayat ini bagi orang suka berbuat fitnah kepada sesamanya makhluk dan dari karena segala yang gemar berbuat fitnah itu tiada diperoleh sentosa /13/ didalam hidupnya seperti firmannya barangsiapa suka melihat kejahatan orang niscaya pada hari itu jatuhlah kejahatan itu kepada dirinya juga dan lagi adalah seperti kata syair katakan olehmu bagi segala yang jahat sangka kepadamu baik2 peliharakan dirimu jikalau berbuat khianat kembali kepadamu apabila engkau diberi kebajikan segayanya engkau percayakan jika dinyatakannya akan kejahatan sebaik-baiknya kamu jauhkan ingat2 akan dirimu berbuat yang kebajikan jangan jemu dengki dan loba jauhkan dirimu iyalah membawa jadi binasa dirimu 42 Di dalam mentransliterasi Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik, penulis menafsirkan tulisan Arab Melayu berdasarkan tulisan yang ada dalam teks asli. Tulisan Arab Melayu dalam teks mudah dibaca dan dipahami dalam membaca. Bahasa yang ada dalam teks menggunakan bahasa Melayu lama, sehingga penulis sedikit mengalami kesulitan dalam memahami bahasanya. 4.3 Suntingan Teks Sebelum penulis menyunting teks Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik, terlebih dahulu penulis memaparkan tanda-tanda yang terdapat di dalam suntingan teks. Adapun tanda-tanda dalam suntingan teks sebagai berikut. a) < > = Tambahan huruf atau kata dari penyunting b) / / = Nomor halaman naskah c) [ ] = Penghilangan huruf atau kata dari penyunting d) ( ) = Tulisan angka Arab diubah kebahasa Latin

Tanda / .... / yang ada dalam hasil suntingan maksudnya adalah huruf yang ada di dalamnya menjelaskan halaman teks. Tujuan pemberian tanda tersebut yaitu untuk mengetahui berapa jumlah halaman dalam teks. Pengulangan kata di dalam teks sebenarnya tidak ada, sehingga penulis menafsirkan bahwa setiap kata dalam teks yang ada angka dua maka 43 ditafsirkan kata itu merupakan kata ulang. Jadi kata-kata yang ada di dalam tanda ( ...... ) merupakan kata ulang. Penulis telah menghilangkan beberapa kata dalam teks. Alasan penulis menghilangkan kata-kata tersebut, karena karena kata-kata itu tidak tepat, tidak efektif, dan rancu. Kata-kata yang ada di dalam tanda [ ......] berarti kata di dalamnya dihilangkan. Selain penulis menghilangkan beberapa kata, penulis juga menambahkan beberapa kata dalam teks. Tujuan penambahan kata dalam teks agar kalimat dalam teks tidak rancu dan menjadi efektif. Katakata yang ada di dalam tanda < ..... > berarti kata di dalamnya merupakan penambahan dari penulis. Hasil suntingan Hikayat Cerita Seorang Bodoh dan Seorang Cerdik. /1/ [Bahwa]1 ini2 suatu hikayat ceritera orang Bodoh dan orang Cerdik. Sebermula, sekali peristiwa si Cerdik dengan si Bodoh berjalan 3dua[nya]4, maka ia pun mendapat sepotong emas terhantar di jalan raya. Maka ujar si Cerdik kepada si Bodoh marilah kita kembali adalah kita diberi untung oleh Allah Subahanallahuwataala beroleh emas ini, dimanatah kita cahari lagi. Maka ujar si Bodoh marilah kita berba[h]5gi dua emas ini dahulu . Maka kata si Cerdik jangan dahulu kita ba[h]6gi emas ini, melainkan kita bawa sekedar akan belanja [kita juga yang lainnya]7, kita taruhkan disini barangkali habis belanja [kita]8, maka kita datang mengambil dia. Setelah itu [maka]9 dibawanyalah emas itu 10 ditaruhnya kepada suatu pohon kayu yang besar. Maka kembalilah kedua mereka itu kerumahnya. Selang berapa hari [maka]11 si Cerdik pergilah dengan seorang dirinya, lalu /2/ diambilnya emas itu dibawanya pulang ke rumahnya. Selang berapa hari lamanya antaranya, [maka]12 si Bodoh pun datang mengajak si Cerdik hendak pergi mengambil emas itu, maka pergilah mereka itu 44 [keduanya]13 ke[pada]14 pohon itu didapatnya emas itu sudah tiada lagi. Maka kata si Cerdik siapa tahu engkaulah 15 mengambil emas itu, maka (pura-pura)16 engkau mengajak aku pula, melainkan adalah engkau ini daripada khianat. Serta dihelanya tangan si Bodoh hendak dibawanya kepada Kadi. [Maka]17 si Bodoh pun bersumpah tiada dicuri 18 maka tiada jua dipercaya oleh si Cerdik. Maka dibawa kepada Kadi(a), maka dikatakan segala perhal keduanya itu mendapat19 emas itu, habis diceritakan kepada Kadi. Maka ujar si Cerdik Ya tuan hamba Kadi barang dihakimkan kiranya antara kedua kami ini, dari karena besarlah khianat si Bodoh akan hambamu, sudahlah diambilnya emas itu,20 tiada

diberinya tahu hambamu. Kemudian [maka]21 datanglah, /3/ ia (pura-pura)22 mengajak hamba pergi, maka pergilah hamba sertanya hendak mengambil emas itu. (Tiba-tiba)23 hamba dapati tiada lagi emas itu. Maka pada jataha di hamba seniscaya i[y]24alah yang berbuat khianat karena pada masa itu terlalu sunyi, jangankan manusia unggas pun tiada mengetahui dan tiada melihat hamba menaruh emas itu, melainkan i[y]25alah yang mengambil emas itu, siapa yang tahu daripada jalan yang kebenaran hamba, (mudahmudahan) 26 pohon kayu itu jadi saksi akan hamba. Maka Kadi pun heran menengar kata si Cerdik, maka kata Kadi baiklah esok hari saya hakimkan disana maka mereka itu pun kembalilah [keduanya] 27 (masing-masing)28 [dengan] 29 30 rumahnya. Adapun [akan]31 si Bodoh itu [suatupun tiada apa katanya]32 menjadi heran ia menengar kata si Cerdik dan i[y]33a tiada tahu (berkata-kata)34 sebab bodohnya. Setelah itu, [maka]35 si Cerdik datang kepada bapa36nya, maka katanya hai, bapak37u kasihkah bapak38u akan daku. Maka kata bapa39nya mengapa /4/ engkau berkata demikian dimanatah makhluk ini tiada kasih akan anaknya. Maka ujar si Cerdik hai, bapak40u bahwa aku [ada]41 mengaku kepada Kadi yang itu pohon kayu tempat emas kami taruhkan berdua dengan si Bodoh, maka 45 pohon kayu itulah akan jadi saksi daripada hilangnya emas itu, tetapi emas itu aku ambil [dia]42 dan aku katakan si Bodoh yang mencuri emas itu. Ihwal(b) inilah supaya bapak43u tolong aku dan supaya emas itu kita peroleh. Maka kata bapa44nya hai anak45u kerja apa yang engkau suruhkan kepada aku ini. Maka sahut anaknya hai bapa46ku adapun pohon kayu itu berlubang, barangkali lolos bapa47ku masuk ke dalam48, jika mau bapa49ku sepakat dengan hamba, masuklah bapak50u pada malam ini didalam lubang pohon kayu itu [di]51karena esok hari Kadi akan datang pada pohon kayu itu 52 memeriksa antara kami dengan si Bodoh itu. Jika ditanya oleh Kadi itu, maka hendaklah bapak53u menyahut sebagaimana ada orang yang nanyak /5/ saksi, demikianlah kami minta kepada bapa54. Maka kata bapanya hai anak55u pekerjaan engkau ini akibatnya tiada diperoleh kebajikan [adalah]56 seperti hikayat Katak lubangnya berhampiran dengan liang Ular. Maka sahut anaknya bagaimana hikayat Katak itu, ceritakanlah kepada aku supaya aku dengar. Maka ujar bapa57nya ada seekor Katak berhampiran liang dengan Ular maka (tiaptiap) 58 Katak itu beranak habis dimakan[nya]59 oleh Ular itu. Setelah itu [maka]60 Katak pun 61pikir dalam hatinya apa kesedihanku dengan demikian ini. [Maka]62 lalu ia pergi kepada (Kurakura) 63 serta katanya kepada (sang Kura-kura)64 yaitu hamba adaku lama dengar 65 seorang pendeta tetapi aku tiada dapat pergi kesana karena tempatnya terlalu amat banyak [dan]66 tanah[nya]67 dan batu[nya]68 daripada 69 menikam dan akik sebab itulah tiada boleh aku pergi kesana dan

oleh karena itu hamba mintalah akan tuan hamba pepatah akan hamba supaya hamba dengar dan hamba amalkan. Maka ujar Kura-kura hai musafir adalah (tiap-tiap)70 /6/ pekerjaan yang sukar atau melawan setaru yang keras dan yang besar itu tiada diperoleh dengan71 kuat, kita melainkan dengan daya upanya kita [juga demikian]72. Sahdan apabila engkau lihat lubang Jerapaya(c) maka ambil olehmu barang tiga ekor ikan. Maka engkau hantarkan pada lubang Ular itu, 46 [terdapat tiada]73 jikalau dilihat oleh Ular Jerepaya hendak memakan itu niscaya disambarnya dan dibunuhnya akan Ular itu. Maka pada masa itu luputlah engkau daripada bahaya seteru itu. [Maka]74 Katak pun berlalu sekejip menengar kata (kura-kura)75 demikian itu. Lalu diperbuatnya seperti kata (Kura-kura)76 itu hata(d) maka keluarlah Jerapaya itu daripada tempatnya, serta dilihatnya ikan itu lalu dimakannya itu, maka Jerapaya pun berjalan pula ia kesana. Maka dilihatnya ikan pun tiada Ular pun tiada di lubang77. Maka Jerapaya pun (berjalan-jalan)78 antara itu. Maka bertemu dengan lubang Katak, maka dilihatnya oleh Jerapaya itu Katak anak beranak hendak keluar maka dimakannya /7/ oleh Jerapaya, Katak itu habis semuanya dimakan adanya. Maka kata bapa79nya hai ana80ku demikian jalannya (tiaptiap) 81 sesuatu pekerjaan, banyak dipikir lebih dahulu supaya akhirnya tiada jadi menyesal. Maka ujar si Cerdik perkataan apatah yang 82 katakan itu pada pikir hamba, siapa yang tahu akan pekerjaan kita. Maka ujar bapa83nya hai ana84ku aku katakan pada engkau hikayat ini, supaya 85pikirkan jikalau jadi benar padamu. Maka ujar si Cerdik hai bapaku jikalau ada kasih sayang bapa86 kepada hamba, janganlah bapa87 panjangkan kalam ini karena sedikit sajalah kita banyak diperolehnya tiada banyak. Maka daripada sangat bapa88nya kasih akan anaknya, maka diturut89nya. Padahal tiada ia takut akan Allah taala dan tiada menjalani jalan teringat telah dikarenakannyalah kerja maksiat itu. Maka pada esok harinya Kadi pun datang[lah]90 ke[pada]91 pohon kayu itu [serta]92 dengan segala jamaahnya. Maka si Bodoh dan si Cerdik (bersama-sama) 93 telah sampai kepada pohon kayu itu berdiri. Maka Kadi /8/ bertanya demikian katanya hai pohon kayu siapa 94 mengambil emas itu, katalah kepada aku. Maka saya hata pohon kayu itu, si Bodohlah yang mengambil 95 [dia]96. Maka Kadi pun heran men97engar suara itu serta i[y]98a pikir dalam hatinya ada juga manusia di dalam kayu ini. Setelah ia pikir demikian, maka disuruhnya angkut kayu yang kering ditimbunkan pada pohon kayu, maka disuruh jadikan api. 47 Sahdan [maka]99 tiada menderit lalu orang itu [lalu ia]100 keluar dari pohon kayu itu. Maka sekalian jamaah jadi heran (masing-masing)101 [kah]102 berkata siapa yang pu103ya perbuatan demikian ini. Telah habis demikian maka kata kadi bawa kemari orang tu[w]104a itu supaya kita periksa. Maka orang tua itu diperiksa [oranglah kandi]105 dan orang tua itu roboh tiada boleh menyahat sebab bekas kehangatan kena api itu jadi

terhanguslah hatinya dan hancurlah sekalian kulitnya. Maka orang tua itu mati[lah]106. Maka si Cerdik pun ditangkap orang serta di kasi107 hakim dengan /9/ beberapa kesakitan darsainya. Maka si Cerdik itupun keluarkanlah emas itu. Maka oleh Kadi disuruhnya pulangkan emas itu kepada si Bodoh. Itulah hal[nya]108 adanya orang yang (cita-citanya)109 lebih akan dunia jua tiada lain. [Bahwa]110 ini111 hikayat, dahulu kala ada seorang 112 bernama Barzagan ia mengatakan tikus makan besi seratus kati(e) dan Rajawali menerbangkan seorang (kanak-kanak)113. Demikianlah cerita itu, Sebermula ada seorang bernama Amin, ia hendak berlayar 114 tiada mempunyai modal. Maka ada kepadanya besi seratus kati itulah dibawa kepada seorang sahabatnya 115nama Barzagan ditaruhnya disitu. Kemudian [maka]116 i[y]117a pergi[lah]118 ke[pada]119 kerja yang dimaksudnya. Maka oleh Barzagan dijualkannya sekalian besi itu. Maka berapa lama tuan yang punya besi itu datang serta menuntut besi yang dikirimnya itu. Maka kata Barzagan engkau 120 punya besi itu, aku taru121 122 di dalam gudang 123telah [serta] 124 berapa /10/ lamanya, maka aku pun tersadar akan hendak mem120baiki gudang itu, maka (tiba-tiba)125 besimu itu tiada kelihatan lagi serta habis dimakan oleh tikus. Maka ujar Amin mustahil pula katamu itu hai handaiku, tikus makan besi tetapi sungguh juga seperti katamu itu karena giginya tajam sedangkan tulang lagi dapat digigit. Setelah Barzagan men126engar kata Amin itu demikian. Maka dalam hatinya tiada lagi akan dituntutnya besi itu. 48 Maka Amin pun bermohon pulang, maka dipegangnya oleh Barzagan katanya jangan handaiku pulang dahulu karena hamba hendak berjamu tuan hamba. Maka ujar Amin hai handaiku menerima kasihlah hamba, tetapi apatah daya hamba karena ada garda insyaallah esok hari hamba datang [mendapatkan]127 128 tuan hamba. Maka ia turun berjalan pula ke rumahnya. Setelah [datang]129 keluar pagar, maka didapatnya anak Barzagan [ada]130 131 (bermain-main)132. /11/ Maka didatangi oleh Amin akan anak Barzagan 133 dibawanya pulang ke rumahnya. Setelah hari malam, maka Barzagan mencari anaknya keliling tiadalah didapatnya. Maka dicarinya pada segala kampung serta (berseru-seru)134 dengan nyaring suaranya 135 menangis duka cita[nya]136 akan anaknya. Maka ia pergi kepada Amin maka berkata i[y]137a hai handai(f)ku Amin adakah tuan men138engar khabar anak hamba [serta]139 lenyap. Maka Amin pun terkejut men140engar kata Barzagan itu demikian, lalu ia berkata ya handaiku jikalau hamba tahu akan anak saudaraku diterbangkan oleh Rajawali itu niscaya aku berbatalah daripadanya. Setelah Barzagan men141engar kata handai[nya]142 Amin itu, maka i[y]143a pun heran dalam hatinya, serta ia berkata hai handaiku adakah bernasip pada bicara handaiku Rajawali menerbangkan seorang (kanak-kanak)144 mustahil adanya. Maka ujar Amin tiadakah handaiku

percaya yang Rajawali itu dapat menerbangkan seorang (kanak-kanak)145 manusia /12/ dan jikalau demikian bicara tuan hamba (sekali-sekali)146 tiada jadi siapa tanya kepada yang ampunya takdir pada melakukan kodiratnya, dari karena adalah dalil firman Allah taala yakni Bahwasanya aku juga amat mengetahui barang yang tiada kamu mengetahui dia dan pada bicara hamba jikalau tiada dapat tikus makan besi seratus kati, maka niscaya tiada dapat diterbangkan Rajawali akan tuan hamba punya anak. Sahdan maka ujar Barzagan kepada Amin tahulah hamba bahwa anak hamba itu adalah pada tuan hamba maka sekarang akan besi tuan hamba itu adalah kepada hamba. Maka Barzagan pun kembalikan[lah]147 49 besi kepada Amin dan Amin pun kembalikan[lah]148 anak Barzagan itu kepadanya. Demikianlah perinya dan adalah ibarat hikayat ini bagi orang suka berbuat fitnah kepada sesamanya makhluk dan dari karena segala yang gemar berbuat fitnah itu tiada diperoleh sentosa /13/ di dalam hidupnya, seperti firmannya; Barangsiapa suka melihat kejahatan orang niscaya pada hari itu jatuhlah kejahatan itu kepada dirinya juga dan lagi adalah seperti kata syair. Katakan olehmu bagi segala yang jahat sangka kepadamu (Baik-baik)149 peliharakan dirimu jikalau berbuat khianat kembali kepadamu Apabila engkau diberi kebajikan segayanya engkau percayakan Jika dinyatakannya akan kejahatan (sebaik-baiknya)150 kamu jauhkan (Ingat-ingat)151 akan dirimu berbuat yang kebajikan jangan jemu Dengki dan loba jauhkan dirimu i[y]152alah membawa [jadi]153 binasa dirimu. 4.4 Aparat Kritik Teks Di dalam aparat kritik teks ini yaitu dari hasil suntingan di atas, penulis membuat suatu edisi yang baru dengan mengadakan pembagian alinea-alenia, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran (interpretasi), sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern. Aparat kritik yang ditemukan dalam teks dijelaskan sebagai berikut. 1 [bahwa] Kata penghubung untuk menyatakan isi atau uraian bagian kalimat yang ada di depannya. Jadi, kata bahwa dihilangkan karena tidak digunakan sebagai kata penghubung. 50 2 Kata ditambahkan karena digunakan untuk menekankan makna kata yang ada di depannya. 3 merupakan perfiks pembentuk verba. Jadi, perlu ditambahkan perfiks pada kata dua, karena menyatakan jumlah. 4 [nya] Penghilangan kata [nya], karena pronomina benda yang tidak menyatakan miliki, pelaku, atau penerima.

5 [h]

Penghilangan huruf [h], karena huruf h pada kata berbahgi di dalam Ejaan Yang Disempurnakan tidak dibenarkan. Jadi, huruf h dihilangkan untuk membenarkan kata berbagi. 6 [h] Penghilangan huruf [h], karena huruf h pada kata berbahgi di dalam Ejaan Yang Disempurnakan tidak dibenarkan. Jadi, huruf h dihilangkan untuk membenarkan kata berbagi. 7 [kita juga yang lainnya] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 8 [kita] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak 51 mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 9 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 10 Merupakan kata penghubung satuan bahasa yang setara. Penambahan kata , karena kalimat di dalam teks terdapat kata yang setara sehingga perlu penambahan kata penghubung. 11 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 12 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 13 [keduanya] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak 52 mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 14 [pada] Kata [pada] yang ada di dalam teks membuat kalimat menjadi rancu,

sehingga perlu penghilangan kata [pada] agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 15 Menambahkan kata , karena kalimat di dalam teks memerlukan kata penghubung yang untuk menjelaskan kata yang di depannya. 16 (pura-pura) Kata (pura-pura) sebelumnya di dalam teks seperti (pura2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 17 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 18 Penambahan kata , karena untuk menjelaskan kalimat sebelumnya, sehingga kalimat di dalam teks tidak rancu. 19 Merupakan sufiks pembentuk verba. Penambahan sufiks untuk menjadikan kata dalam kalimat tidak rancu. 53 20 Merupakan kata penghubung antar kalimat. Kalimat di dalam teks perlu kata penghubung agar tidak rancu. Jadi, kalimat ditambahkan kata penghubung agar tidak rancu. 21 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 22 (pura-pura) Kata (pura-pura) sebelumnya di dalam teks seperti (pura2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 23 (tiba-tiba) Kata (tiba-tiba) sebelumnya di dalam teks seperti (tiba2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 24 [y] Penghilangan huruf [y], jika huruf [y] tidak dihilangkan dapat menjadikan kalimat dalam teks rancu. Jadi, perlu penghilangan huruf [y] agar kalimat dalam teks tidak rancu. 25 [y] Penghilangan huruf [y], jika huruf [y] tidak dihilangkan dapat menjadikan kalimat dalam teks rancu. Jadi, perlu penghilangan huruf [y] agar kalimat dalam teks tidak rancu. 54 26 (mudah-mudahan) Kata (mudah-mudahan) sebelumnya di dalam teks seperti (mudah2an), maka

penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 27 (masing-masing) Kata (masing-masing) sebelumnya di dalam teks seperti (masing2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 28 [keduanya] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 29 [dengan] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 30 Merupakan kata depan untuk menandai arah atau tujuan. Penambahan kata , karena kata selanjutnya kata yang menunjukkan tempat tujuan, sehingga perlu ditambahkan kata pada kata sebelumnya . 31 [akan] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak 55 mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 32 [suatu pun tiada apa katanya] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 33 [y] Penghilangan huruf [y], jika huruf [y] tidak dihilangkan dapat menjadikan kalimat dalam teks rancu. Jadi, perlu penghilangan huruf [y] agar kalimat dalam teks tidak rancu. 34 (berkata-kata) Kata (berkata-kata) sebelumnya di dalam teks seperti (berkata2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 35 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 36 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata

bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 56 37 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 38 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 39 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 40 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 41 [ada] Kata [pada] yang ada di dalam teks membuat kalimat menjadi rancu, sehingga perlu penghilangan kata [pada] agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 42 [dia] Kata [pada] yang ada di dalam teks membuat kalimat menjadi rancu, sehingga perlu penghilangan kata [pada] agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 57 43 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 44 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 45 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 46 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf dibelakangnya. 47 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata

bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 48 Penambahan kata untuk memberikan keterangan kata yang di depannya. Selain itu, penambahan kata tersebut menjadikan kalimat dalam teks tidak rancu. 58 49 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 50 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 51 [di] Kata [di] dihilangkan agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 52 Merupakan kata depan untuk menyatakan tujuan atau maksud. Kalimat di dalam teks perlu ditambahkan kata , karena kalimat selanjutnya menyatakan tujuan. 53 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 54 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 59 55 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 56 [adalah] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 57 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 58 (tiap-tiap) Kata (tiap-tiap) sebelumnya di dalam teks seperti (tiap2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca.

59 [nya]

Penghilangan kata [nya], karena pronomina benda yang tidak menyatakan miliki, pelaku, atau penerima. 60 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 60 61 merupakan perfiks pembentuk verba. Jadi, perlu ditambahkan perfiks agar kata dalam kalimat tidak rancu. 62 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 63 (kura-kura) Kata (kura-kura) sebelumnya di dalam teks seperti (kura2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 64 (sang kura-kura) Kata (kura-kura) sebelumnya di dalam teks seperti (kura2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 65 Penambahan kata , agar kalimat dalam teks tidak rancu. 66 [dan] Kata penghubung [dan] dihilangkan, karena pemborosan kata dalam kalimat. Jika, kata [dan] dihilangkan tidak mengubah makna kata yang ada di dalam teks. 67 [nya] Penghilangan kata [nya], karena pronomina benda yang tidak menyatakan miliki, pelaku, atau penerima. 68 [nya] Penghilangan kata [nya], karena pronomina benda yang tidak menyatakan miliki, pelaku, atau penerima. 61 69 Menambahkan kata , karena kalimat di dalam teks memerlukan kata penghubung yang untuk menjelaskan kata yang di depannya. 70 (tiap-tiap) Kata (tiap-tiap) sebelumnya di dalam teks seperti (tiap2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 71 Menambahkan kata , karena kalimat di dalam teks memerlukan kata penghubung yang untuk menjelaskan kata yang di depannya. 72 [juga demikian]

Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 73 [terdapat tiada] Penghilangan kata yang terdapat di dalamnya, karena kata tersebut pemborosan atau tidak efektif. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak mengubah makna kata sebelumnya atau sesudahnya dan menjadikan kalimat dalam teks menjadi efektif. 74 [maka] Merupakan kata penghubung untuk menyatakan hubungan akibat dan implikasi. Jadi, kata [maka] dihilangkan karena kata maka tidak digunakan sebagai kata penghubung. Bila kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata. 62 75 (kura-kura) Kata (kura-kura) sebelumnya di dalam teks seperti (kura2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 76 (kura-kura) Kata (kura-kura) sebelumnya di dalam teks seperti (kura2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 77 [nya] Penghilangan kata [nya], karena pronomina benda yang tidak menyatakan miliki, pelaku, atau penerima. 78 (berjalan-jalan) Kata (berjalan-jalan) sebelumnya di dalam teks seperti (berjalan2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 79 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 80 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 81 (tiap-tiap) Kata (tiap-tiap) sebelumnya di dalam teks seperti (tiap2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 63 82 Penambahan kata , karena di dalam kalimat perlu keterangan subjek, agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 83 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di

dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 84 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 85 Merupakan prefiks pembentuk verba. Penambahan kata pada kata di depannya agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 86 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 87 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 64 88 Penambahan huruf , karena dalam Ejaan Yang Disempurnakan kata bapak yang benar dan kata bapa dalam teks salah. Jadi, kata yang ada di dalam teks kata bapa harus ditambahkan huruf di belakangnya. 89 Penambahan huruf pada kata diturutnya, agar kata dalam teks tidak rancu. 90 [lah] Penghilangan kata [lah] agar kalimat dalam teks tidak rancu. 91 [pada] Kata [pada] yang ada di dalam teks membuat kalimat menjadi rancu, sehingga perlu penghilangan kata [pada] agar kalimat di dalam teks tidak rancu. 92 [serta] Merupakan kata penghubung. kata [serta] dihilangkan, karena dlam kalimat tidak digunakan sebagai kata penghubung. Jika, kata tersebut dihilangkan tidak akan mengubah makna kata dan kalimat dalam teks menjadi tidak rancu. 93 (bersama-sama) Kata (bersama-sama) sebelumnya di dalam teks seperti (bersamaa2), maka penulis mengganti menjadi kata ulang, tujuannya untuk memudahkan pembaca. 94 Menambahkan kata , karena kalimat di dalam teks memerlukan kata penghubung yang untuk menjelaskan kata yang di depannya. 65 95 Penambahan kata , karena untuk menjelaskan kalimat sebelumnya, sehingga kalimat di dalam teks tidak rancu.

96 [dia]

Merupakan persona tunggal. Kalimat dalam teks kata [dia] tidak digunakan sebagai persona tunggal, maka kata itu dihilangkan untuk mengefektifkan kalimat dalam teks. 97 Menambahkan huruf , karena menurut Ejaan Yang Disempurnakan kata menengar tidak benar dan kata yang benar yaitu mendengar. Tujuan penambahan huruf untuk memudahkan pembaca. 98