4
Dalam hal apabila barang gadai tersebut hilang atau nilai dari barang tersebut turun/merosot akibat kesalahan, kesengajaan, atau kelalaian dari pemegang gadai, maka pemegang gadai harus bertanggungjawab atas hal itu. Hal ini berbeda jika kehilangan atau kemerosotan nilai barang tersebut disebabkan karena faktor-faktor di luar kehendak pemegang gadai atau force majeur. Pasal 1157 ayat 1 KUHPer menyebutkan sebagai berikut: Si berpiutang adalah bertanggungjawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya. Dari pasal tersebut, jelas bahwa pemegang gadai harus bertanggungjawab atas kehilangan atau kemerosotan yang disebabkan karena ulahnya. Dalam pasal ini disebutkan “....sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya,” yang apabila kita strict terhadap pasal tersebut, maka pemegang gadai bertanggung jawan hanya jika lalai saja. Bagaimana kalau itu adalah karena kesengajaan, apakah pemegang gadai tetap bertanggung jawab? Tentu saja dia harus bertanggungjawab. Pasal tersebut harus ditafsirkan lebih luas lagi dan tanggung jawab tersebut termasuk dalam hal adanya kesengajaan atau penyalahgunaan oleh penerima gadai. Tentunya, pemberi gadai harus membuktikan kesalahan pemegang gadai dalam merawat barang gadai milik debitur. Oleh karena gadai timbul dari suatu perjanjian gadai, kesalahan pemegang gadai membuat dirinya tidak dapat memenuhi prestasi-prestasi yang ditentukan oleh perjanjian gadai. Dapat dikatakan bahwa pemegang gadai telah wanprestasi. Namun, wanprestasi atau lalai ini harus dinyatakan oleh pemberi gadai secara tertulis, sebagaimana diatur oleh Pasal 1238 KUHPer. Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Dalam pasal 1238 KUHPer di atas, kata “si berutang” di atas jangan selalu ditafsirkan hanya sebagai pihak yang berhutang uang saja, namun pihak yang memiliki kewajiban yang harus dipenuhi kepada pihak lain dalam perikatan. Pemegang gadai dalam hal ini harus ditafsirkan sebagai “si berutang” karena dia memiliki kewajiban untuk merawat dan memelihara barang gadai tersebut. Disamping secara tertulis langsung oleh debitur pemberi gadai dalam menyatakan lalai, debitur pemberi gadai juga dapat menuntut di

hilangnya barang gadai

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: hilangnya barang gadai

Dalam hal apabila barang gadai tersebut hilang atau nilai dari barang tersebut turun/merosot akibat kesalahan, kesengajaan, atau kelalaian dari pemegang gadai, maka pemegang gadai harus bertanggungjawab atas hal itu. Hal ini berbeda jika kehilangan atau kemerosotan nilai barang tersebut disebabkan karena faktor-faktor di luar kehendak pemegang gadai atau force majeur. Pasal 1157 ayat 1 KUHPer menyebutkan sebagai berikut:

Si berpiutang adalah bertanggungjawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekadar

itu telah terjadi karena kelalaiannya.

Dari pasal tersebut, jelas bahwa pemegang gadai harus bertanggungjawab atas kehilangan atau kemerosotan yang disebabkan karena ulahnya. Dalam pasal ini disebutkan “....sekadar itu telah terjadi karena kelalaiannya,” yang apabila kita strict terhadap pasal tersebut, maka pemegang gadai bertanggung jawan hanya jika lalai saja. Bagaimana kalau itu adalah karena kesengajaan, apakah pemegang gadai tetap bertanggung jawab? Tentu saja dia harus bertanggungjawab. Pasal tersebut harus ditafsirkan lebih luas lagi dan tanggung jawab tersebut termasuk dalam hal adanya kesengajaan atau penyalahgunaan oleh penerima gadai. Tentunya, pemberi gadai harus membuktikan kesalahan pemegang gadai dalam merawat barang gadai milik debitur.

Oleh karena gadai timbul dari suatu perjanjian gadai, kesalahan pemegang gadai membuat dirinya tidak dapat memenuhi prestasi-prestasi yang ditentukan oleh perjanjian gadai. Dapat dikatakan bahwa pemegang gadai telah wanprestasi. Namun, wanprestasi atau lalai ini harus dinyatakan oleh pemberi gadai secara tertulis, sebagaimana diatur oleh Pasal 1238 KUHPer.

Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis telah

dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang

harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Dalam pasal 1238 KUHPer di atas, kata “si berutang” di atas jangan selalu ditafsirkan hanya sebagai pihak yang berhutang uang saja, namun pihak yang memiliki kewajiban yang harus dipenuhi kepada pihak lain dalam perikatan. Pemegang gadai dalam hal ini harus ditafsirkan sebagai “si berutang” karena dia memiliki kewajiban untuk merawat dan memelihara barang gadai tersebut.

Disamping secara tertulis langsung oleh debitur pemberi gadai dalam menyatakan lalai, debitur pemberi gadai juga dapat menuntut di muka atas kelalaian atau wanprestasi pemegang gadai, dan membuktikan kelalaian tersebut di muka hakim. Apabila memang terbukti bahwa pemegang gadai telah wanprestasi, maka debitur dapat menuntut kembali barang gadainya atau nilai uang yang setara dengan barang gadainya. Terhadap pemegang gadai, dia diwajibkan mengganti kerugian, biaya, dan bunga jikalau terbukti telah lalai dalam menjalankan prestasi perikatan atau perjanjian gadainya.

Bagaimana membuktikan jika pemegang gadai telah lalai dalam menjalankan kewajibannya dalam merawat barang gadai? Tentunya harus melalui alat-alat bukti yang

Page 2: hilangnya barang gadai

ditentukan dalam Hukum Acara Perdata. Namun, sebelum membahas mengenai alat bukti apa saja yang harus diajukan, perlu diperhatikan pasal berikut ini, yaitu Pasal 1865 KUHPer:

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan

haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,

diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Maksud dari ketentuan tersebut jelas bahwa apabila pemberi gadai merasa bahwa pemegang gadai telah lalai dalam melaksanaan kewajibannya dan akibat kelalaian tersebut pemberi gadai merasa dirugikan dan ingin mengklaim hak atau ganti rugi atas perbuatan pemegang gadai, maka pemberi gadai harus membuktikan adanya keadaan tersebut.

Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian adanya kesalahan atau kelalaian suatu pihak harus melalui alat-alat bukti di bawah ini berdasarkan Pasal 1866 KUHPer jo. 164 HIR:

1. Bukti surat. Bukti surat disini berdasarkan HIR terdiri dari surat biasa, akta otentik, dan akta di bawah tangan.Namun, bukti surat disini harus juga diartikan secara lebih luas dan dapat pula mencakup dokumen-dokumen penting dan tertulis serta tentunya perjanjian yang melandasi gadai tersebut. Dalam hal ini, si pemberi gadai berdasarkan bukti surat tersebut harus membuktikan bahwa pemegang gadai telah lalai dalam menjalankan kewajibannya.

2. Bukti saksi. Apabila memang ada dan diperlukan, pemberi gadai mendatangkan saksi bagi dirinya untuk membuktikan kalau penerima gadai telah lalai, asalkan saksi tersebut bukanlah saksi yang dilarang diperdengarkan kesaksiannya berdasarkan Pasal 145 HIR.

3. Persangkaan-persangkaan. Bukti ini digunakan apabila sukar untuk memperoleh saksi yang melihat, mendengar, atau mengetahui peristiwa kelalaian pemegang gadai. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal, ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan tersebut haruslah memang penting, teliti, tertentu, dan berhubungan satu sama lain.[19]

4. Pengakuan. Alat bukti berupa pengakuan ini sangat penting, namun apakah seseorang yang bersalah rela untuk memberikan pengakuan bahwa dirinya telah lalai? Tentunya tergantung dari itikad pemegang gadai. Terlepas dari itu, pengakuan ini dapat diperoleh baik melalui sidang ataupun di luar sidang. Hakim yang memeriksa perkara ini harus menganggap bahwa pengakuan yang dibuat pemegang gadai merupakan bukti yang cukup dan sempurna baik pengakuan tersebut diucapkan sendiri langsung atau kuasanya. Apabila pengakuan tersebut dilakukan di luar sidang, maka diserahkan kepada hakim untuk menilai kebenaran pengakuan tersebut.

Page 3: hilangnya barang gadai

5. Sumpah. Bukti ini cukup penting dalam Hukum Acara Perdata. Hakim maupun pemberi gadai selaku penggugat dapat meminta pemegang gadai untuk bersumpah dalam hal membuktikan lalai tidaknya si pemegang gadai. Sebenarnya sumpah merupakan alat bukti, namun keterangan pemegang gandailah yang merupakan alat buktinya yang kemudian dikuatkan oleh sumpah.

Dalam praktek, masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan yaitu pengetahuan hakim. Yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah adalah hal atau keadaan yang diketahui sendiri oleh hakim dalam sidang. Berdasarkan pertimbangan alat bukti yang diajukan dalam persidangan, hakim dapat menentukan dan menetapkan sendiri perihal kebenaran dalam kasus yang bersangkutan.

Oleh karena gadai timbul dari perjanjian, maka alat bukti utama dan yang paling dasar adalah perjanjian gadai itu sendiri dan apabila perlu perjanjian pokoknya. Disinilah dimuat apa saja kewajiban bagai para pihak khususnya pemegang gadai, prestasi-prestasinya, dan akibat-akibat hukumnya.

Sumber : http://mfaizaziz.blogspot.com/2008/09/overview-gadai-dan-gadai-saham-secara.html