12
Gadis berkerudung putih Tak terbayangkan, bukan di danau yang indah dengan pantulan cahaya matahari yang air pantulkan terhadapnya, bukan di atas bukit malam yang diterangi bulatan putih bersinar dikelilingi pepohonan tinggi besar melambai langit menyaksikan bintang di tengah purnama, bukan pula ketika melihat matahari senja di pesisir pantai, atau pertemuan tak terencana yang dikisahkan takdir untuk aku melihatnya. Bukan. Aku menemukan cinta di tempat tak lajim untuk seorang adam mencintai hawa, perpustakaan, disanalah aku menemukannya, mulai mencintainya, dan merasakan getaran hebat dari gadis berkerudung putih, Irna namanya. Saat itu kami terikat embel-embel petugas perpustakaan di salah satu SMP swasta di Bandung. Aku tak punya niat tinggi menjadi seorang petugas perpustakaan bahkan aku tak bangga punya jabatan itu, aku hanya ingin pinjam buku geratis tanpa bayar dan tak harus melewati proses administrasi yang aku anggap tak perlu, juga bebas mengembalikan buku seenak jidatku tanpa takut jatuh tempo.

Gadis berkerudung putih

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gadis berkerudung putih

Gadis berkerudung putih

Tak terbayangkan, bukan di danau yang indah dengan pantulan cahaya matahari yang air pantulkan terhadapnya, bukan di atas bukit malam yang diterangi bulatan putih bersinar dikelilingi pepohonan tinggi besar melambai langit menyaksikan bintang di tengah purnama, bukan pula ketika melihat matahari senja di pesisir pantai, atau pertemuan tak terencana yang dikisahkan takdir untuk aku melihatnya. Bukan. Aku menemukan cinta di tempat tak lajim untuk seorang adam mencintai hawa, perpustakaan, disanalah aku menemukannya, mulai mencintainya, dan merasakan getaran hebat dari gadis berkerudung putih, Irna namanya.

Saat itu kami terikat embel-embel petugas perpustakaan di salah satu SMP swasta di Bandung. Aku tak punya niat tinggi menjadi seorang petugas perpustakaan bahkan aku tak bangga punya jabatan itu, aku hanya ingin pinjam buku geratis tanpa bayar dan tak harus melewati proses administrasi yang aku anggap tak perlu, juga bebas mengembalikan buku seenak jidatku tanpa takut jatuh tempo. Namun, justru jabatan itu yang membuatku seakan kejatuhan bulan menemukan bidadari senja ditengah tumpukan buku kumuh berdebu, saat bola mata melihatnya, aku tak merasa berada di tengah tumpukan buku kumuh yang membosankan, aku seakan berada ditengah hamparan padang rumput yang indah, buku seakan kupu-kupu elegan yang terbang dengan ceria. Aku tahu, mulai saat itu aku mencintainya dan mulai menikmati profesi baruku.

Layaknya pengecut yang lari dari masalah, aku mengacuhkan perasaan cintaku padanya, bukan karna cintaku terlarang terhadapnya, aku hanya tak berani berkata jujur dan malu mengungkapkan kata cinta jika mengingat umurku yang baru 14 tahun anak bau kencur yang baru aqil balig. Apalagi

Page 2: Gadis berkerudung putih

mengingat dari dua tahun lalu saat aku masih kelas satu SMP ada teman sekelas Irna yang terang-terangan mencintaiku, Yeti namanya. Aku semakin tak kuasa katakan cinta padanya dan tak tega menghancurkan hati sahabatnya yang sudah lama mencintaiku.

Aku akui Irna bukan cinta pertamaku, dia bukan wanita pertama yang membuatku terkesan akan kaumnya, akan indahnya ciptaan Tuhan kaum hawa. Tapi dia wanita yang memberi rasa ketenangan mendalam dalam sisi kosong tiap detiknya. Jilbab putih memutup rambut sampai dada, raut wajah bersahaja seakan mengisaratkan damai, kulit putih tertutup yang selalu basah oleh air wudhu, serta santunnya tak aku temukan dari wanita manapun, wanita yang memnggangap dirinya moderen dengan pakian laki-laki bahkan sikap dan kata seperti tak diajarkan pelajaran moral di sekolahan. Aku yakin tiap orang yang merasakan santunnya seakan melihat bidadari di ujung matanya, mungkin itu yang membuatku merasakan ketenangan dan terperangkap dalam cintanya.

Rumahnya di seberang terminal dan pasar yang dipisahkan sungai berwarna coklat bercampur lumpur. Tak jarang ketika pulang sekolah aku pergi ke pasar berpura-pura ada yang harus aku beli padahal aku termasuk orang anti pasar pembenci kekumuhan, becek, bau yang menghiasi pasar, aku hanya ingin satu angkot dan mengantarkan dia pulang, itu saja. Atau ketika aku berangkat les komputer melewati rumahnya aku mampir dengan dalih sembahyang karna tempat les dengan masjid sangat jauh dan waktu menunjukan dzuhur, tapi kenyataan sebenarnya tempat les dengan mesjid bersebelahan, tak sejengkal pun terpisah. Di satu sisi aku bahagia dengan lima menit yang aku lewati bersamanya, olehnya aku merasakan takdir seorang laki-laki dewasa yang akan menjadi pemimpin bagi kaumnya dan diriku sendiri, diperaduan aku

Page 3: Gadis berkerudung putih

minta agar Tuhan biarkan aku terus bersamanya, mimpi muluk-muluk untuk seorang anak SMP. Di sisi lain aku merasa berdosa kepadanya telah berbohong, tapi itulah cinta semua cara pun seakan halal. Aku tak langsung meninggalkannya sendiri setelah itu, aku melanjutkan kebagian kami bercakap-cakap ria menceritakan kehidupan kami masing-masing dan keseharian kelas kami tiap harinya karna kami beda kelas aku F dia G, bertiga: aku, dia dan adik laki-lakinya yang terus mondar-mandir seperti gasing yang baru di putar. Tak terasa waktu menunjukan pukul 14.00, aku berangkat meninggalkan dia sendiri dengan adik laki-lakinya yang masih tak mau diam, berat tapi cepat atau lambat kami tetap akan berpisah.

“Fer dah mau pergi lesnya?” tanya Irna halus.

“iya, Feri sudah telat” jawab ku sambil senyum, dalam hatiku menggumam bukan hanya tela tapi sudah selesai kelasnya sudah bubar. Kami terpisah, aku mengayuh sepedah tua menjauhinya dan dia tetap tersenyum melambaikan tangannya di mulut pintu

Panas, hujan, atau apapun yang terjadi pada dunia ini aku tak peduli yang aku pedulikan hanya alasan bisa kerumahnya. Begitu juga ketika kami belajar bersama mempersiapkan Ujian Akhir Nasional yang tinggal beberapa minggu lagi, walaupun hujan aku tetap mengayuh sepedah menuju rumahnya. Aku menanyakan rumus balok, kubus, atau apa pun yang bisa membuat dia memperhatikanku walau sebenarnya aku sudah bosan membahas rumus-rumus itu. Bagi semua murid kelas tiga kelulusan adalah menyenangkan, tapi tidak bagiku, bukan tak mau lulus, hanya tak mau berpisah dengan gadis berkerudung putih, hanya itu.

Page 4: Gadis berkerudung putih

Hari berat pun datang, hari kelulusan yang mampu memisahkan aku dengan belahan hatiku, hari dimana hidupku terasa sepi dan hatiku sakit tak tau mengapa. Aku datang ke rumahnya, duduk di sampingnnya, menatap matanya dan tanpa basa-basi menanyakan maksud kedatanganku sore itu.

“Na mau lanjutin sekolah kemana?”

“SMAN 1 fer!! Feri kemana?”

“gak tau belum dipikirin”

Langit hitam mendung, hujan mengguyur daratan seakan merasakan kesedihanku, rasa sakit dan tangisan tersamarkan oleh hujan sore itu, sore berakhir biasa, berat aku meninggalkannya, sangat berat.

Tiga tahun kemudian

April 2008. Tak tahu mengapa aku merasakan kerinduan tak tertahankan, aku sadar bukan sekali itu aku merasakan ridu yang menyesakan itu, walau kami terpisah lama aku tetap tak mampu lepas dari pesonanya hinga hanya satu nama yang ada di benakku, Irna. Saat itu aku berada di rumah teman yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumahku, hanya dia yang ada di depanku sekarang, tak berpikir panjang ku ceritakan perasaan sesakku padanya mulai dari A sampai Z, ku tatap matanya seolah mengisyaratkan hanya sarannya yang mampu membantuku, dia diam sejenak … … …

“Fer gimana kalo loe kerumahnya aja, loe minta No Hp-nya supaya kalo ntar loe kangen ma dia loe bisa telpon dia” Dian menepuk bahuku dengan keras, aku kaget, sampai jantungku mau copot tapi memang idenya cemerlang, ide yang

Page 5: Gadis berkerudung putih

tak pernah terpikir sedikit pun olehku. Kami buat kesepakat besok siang kerumahnya pukul 11.00 tepat.

Siang yang panas, tapi tak sedikit pun menyurutkan niatku. Pukul 11.00 kami berangkat ke rumah Irna, hanya butuh 15 menit sampai ke rumahnya, aku tak sabar bertemu pujaan hati yang tiga tahun terpisahkan dengan semangat dan keras aku ucapkan salam

“assalammuallaikum”

“assalammuallaikum”

“assalammuallaikum”

Sudah tiga kali ku ucapkan salam ke rumah yang dulu menjadi tempat aku dan Irna shalat dzuhur berjama’ah, dari jendela ku lihat samara-samara seorang wanita berkerudung putih yang sudah lama ku rindukan, ya sang pujaan hatiku, Irnawati. Lengan anggunnya bukakan pintu rumah bercat hijau yang dulu tempat kami bercerita, tertawa, dan bersujud. Aku terdiam beberapa saat melihat pujaanku tersenyum menyambutku.

“oh Feri, silahkan masuk Fer” sapanya lembut

Beberapa detik tak ku rasakan arwahku berada di tempatnya, arwahku seakan merasakan bau syurga yang makhluk cari selama ini. Aku sadar, ku tengok Dian, dan ternyata dia pun sempat tak sadar merasakam apa yang baru kurasakan. Hatiku melambung, Irna masih nama mengingat ku walau kami tak berjumpa lama. Sungguh bahagia.

Aku masuk sesuai yang ia minta, tak lama kami duduk Dian pamitan meninggalkan aku dan Irna sesuai kesepakati

Page 6: Gadis berkerudung putih

kami, jika aku sudah bertemu dengan pujaan hatiku dia baru boleh pergi. Tak terbayangkan rindu yang dulu memuncak kini surut oleh senyum ikhlasnya. Aku mulai tanyakan kemana dia pergi, kemana dia teruskan sekolah karna tiap aku mencarinya di SMAN 1 tak aku temukan dia. Mengagetkan, ternyata dia tak sekolah di sana, tapi ikut saudaranya di Purwakarta dan meneruskan sekolah di Purwakarta, dia hanya sebulan sekali pulang menemui keluarganya di Bandung. Sungguh ajaib cinta, kami tak janjian bertemu dimana, kapan, dan jangankan untuk itu aku tak tau selama ini dia dimana dan dia pun tak tahu kalo aku akan datang. Hebatnya perasaan cinta yang dulu ada, kini tetap sama walau tlah terpisah lama, yang ada bertambah kuat dengan pertemuan itu, aku semakin yakin dialah tulang rusuk yang Tuhan siapkan untukku.

Esok harinya aku datang kembali menemui gadis pujaanku, ku ajak dia jalan keluar tapi dia tak mau, semakin keras ku ajak semakin keras ia menolak dengan kalimat paling hebat:

“gak Fer, Irna gak mau, jangankan pergi keluar, keluar rumah pun Irna jarang”.Gila, seumur hidupku selain dia tak aku temukan gadis seperti itu. Ku tatap matanya dan ku katakana perasaan apa yang ku rasa selama ini, mulai dari awal aku dan dia bertemu sampai kalimat klimaks

“Na, Feri sayang Irna dari awal kita ketemu sampai sekarang, dulu Feri gak bisa bicara ini karna tahu ada orang lain yang nunggu Feri, Feri terlalu takut nyakitin dia, nyakitin Yeti sahabat Irna, tapi sampai kapan pun Feri gak bisa bohong ke diri Feri kalo Feri Cinta Irna, gak bisa. Feri harap Irna ngerasain perasaan yang sama, please be my lady in my heart!” lega, akhirnya perasaan yang selama tiga tahun ini tersimpan kini terucapkan. Tapi tak tahu mengapa aku rasakan perasaan sakit tak terkira, apa ini pertanda buruk? Dengan senyum yang biasa Irna manjawab

Page 7: Gadis berkerudung putih

“maaf Fer, Irna tahu Feri sayang Irna lama, tapi Irna gak bisa” jawaban yang benar-benar tak ku harapkan darinya. Aku yakinkan dia bahwa hati ini membutuhkan dia, sangat butuh. Tapi tetap saja jawaban tadi yang dia katakan berulang kali, tak sedikit pun berubah.

Hatiku hancur, perih, sakit, tercabik-cabik, berat, pengap, seakan dadaku ditekan dengan kuat, seakan isi bumi menindihku, dan jantungku tak lagi berdenyut. Darah penuh di kepal, tak mau turun membuat wajah merah padam merangsang air mata mengalir membasahi pipi. Sekarang aku mengerti apa yang Andrea Hirata tulis di Novelnya Endensor: bukan cinta yang terpisahkan kematian, bukan cinta terlarang, bukan cinta yang terpisahkan Samudra yang begitu sakit, tapi cinta yang bertepuk sebelah tangan. Walau berat aku terima keputusannya, ku ucapkan satu kalimat pengharapan

“sampai kapan pun aku akan tetap mencintaimu, aku akan menunggumu walau kau tak harapkan aku”. Sudah satu tahun kami berpisah, tapi aku tetap mencintainya, masih.

apakabarbram.wordpress.co...affairs/

[email protected]