27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit dalam pengertian umum dapat dinyatakan sebagai penyimpangan dari kondisi normal dari seekor hewan, penyakit juga dapat dikatakan sebagai perubahan kondisi normal dari seekor hewan yang disebabkan oleh jasad hidup. Bentuk pengobatan terpenting adalah pencegahan (preventif), yaitu suatu tindakan untuk melindungi individu terhadap serangan penyakit atau menurunkan keganasannya (Akoso, 1998). Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan, sehingga perlu pencegahan dan pengobatan pada unggas yang sakit. Melakukan penanganan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di lingkungan peternakan secara konsisten merupakan solusi terbaik sebelum melakukan pengobatan. Akan tetapi dalam pengobatan tidak selalu mendapatkan hasil yang maksimal bila tidak di imbangi dengan pengamplikasian yang benar dan terprogram dengan baik, agar membuahkan hasil. Pengobatan terhadap suatu penyakit tidak membuahkan hasil, hal ini dikarenakan tidak semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus. Sedangkan penyakit-penyakit non infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana budidaya yang baik dan benar. Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk diketahui adanya faktor-faktor yang dapat

Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit dalam pengertian umum dapat dinyatakan sebagai penyimpangan dari kondisi

normal dari seekor hewan, penyakit juga dapat dikatakan sebagai perubahan kondisi normal

dari seekor hewan yang disebabkan oleh jasad hidup. Bentuk pengobatan terpenting adalah

pencegahan (preventif), yaitu suatu tindakan untuk melindungi individu terhadap serangan

penyakit atau menurunkan keganasannya (Akoso, 1998).

Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan,

sehingga perlu pencegahan dan pengobatan pada unggas yang sakit. Melakukan penanganan

seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di lingkungan peternakan secara

konsisten merupakan solusi terbaik sebelum melakukan pengobatan. Akan tetapi dalam

pengobatan tidak selalu mendapatkan hasil yang maksimal bila tidak di imbangi dengan

pengamplikasian yang benar dan terprogram dengan baik, agar membuahkan hasil.

Pengobatan terhadap suatu penyakit tidak membuahkan hasil, hal ini dikarenakan tidak

semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus. Sedangkan penyakit-penyakit non

infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana budidaya yang baik dan benar.

Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk diketahui adanya faktor-faktor yang dapat

menyebabkan penyakit pada ternak, sehingga dapat dilakukan metode penanggulangan

penyakit yang efisien dan efektif.

Pada manajemen pemeliharaan unggas, pemberian antibiotik, antimikroba dan zat

kemoterapeutik mutlak diperlukan, dikarenakan perubahan lingkungan yang fluktuatif akan

berpengaruh terhadap kondisi tubuh unggas dan menyebabkan tubuh unggas menjadi rentan

terhadap infeksi penyakit yang kemudian akan berimbas pada penurunan tingkat

produktivitas dari unggas. Pemberian Antibiotik, antimikroba dan kemoterapeutik dalam

penggunaanya dapat diaplikasikan sebagai tindakan pencegahan ataupun untuk pengobatan

dan terapi. Hal ini dilakukan untuk membuat hewan tetap produktif meskipun mereka hidup

dalam kondisi berdesakan dan tidak higienis.(Doyle, 2006).

Umumnya pemberian antibiotika yang diberikan pada ayam lebih banyak diberikan

secara massal dibandingkan pemberian secara individual (Doyle, 2006). Sehingga

berpengaruh terhadap tingkat kegagalan, dikarenakan tidak terkonsumsinya antibiotik dengan

Page 2: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

dosis yang tidak merata meskipun dengan dosis pengenceran yang benar.Pada pengobatan

hendaknya telah melewati serangkaian evaluasi dan analisis mengenai teknik maupun

aplikasi pengobatan yang telah dilakukan. Cara pengobatan mempunyai andil yang besar

terhadap efektivitas pengobatan.Obat dengan kualitas yang bagus tidak akan bisa bekerja

secara optimal jika terdapat kesalahan pada teknik aplikasinya. (http://info.medion.co.id)

Berdasarkan hal-hal yang di paparkan di atas, maka dalam manajemen peternakan

khususnya pada pullet, sangat dibutuhkanya penataan dalam kegiatan pencegahan,

pengobatan dan terapi yang tersusun dalam program medikasi dan kemoterapeutik yang

tertulis, sehingga dalam mengetahui tatalaksananya di peternakan maka program PKL ini

dilaksanakan.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pengamplikasian program medikasi dan kemoterapeutik pada pullet di

peternakan Satwa Unggul PS?

1.2.2 Bagaimana cara pengaturan program medikasi dan kemoterapeutik pada pullet di

peternakan Satwa Unggul PS?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui tata cara medikasi dan kemoterapeutik pada pullet di peternakan Satwa

Unggul PS

1.2.2 Mengetahui cara dalam pengaturan program medikasi dan kemoterapeutik pada

pullet di peternakan Satwa Unggul PS

1.4 Manfaat

Manfaat yang akan didapatkan dari melaksanakan Praktek Kerja Lapang ini adalah

1.4.1 Dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dan pengalaman

kerja di lapangan dalam hal kesehatan pullet khususnya pada program medikasi dan

kemoterapi pada peternakan Satwa Unggul PS

1.4.2 Dengan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL), diharapkan peternakan Satwa

Unggul PS mampu meningkatkan hubungan kemitraan dengan perguruan tinggi.

Page 3: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pullet

Secara ringkas, pullet adalah ayam yang dipelihara di umur 0-16 minggu. Pendapat

lain menyatakan bahwa pullet adalah ayam masa DOC hingga masa bertelur di bawah 5%.

Berdasarkan kebutuhan nutrisi, pullet terbagi dua yaitu starter (0-5 minggu) dan grower (6-

16 minggu).

Pullet memiliki tahapan perkembangan tubuh yang kompleks sesuai periode umurnya

(starter dan grower). Masa starter merupakan masa pembelahan sel (hiperplasia) sehingga

perkembangan organ sangat dominan di masa ini. Oleh karena itu, masa ini mempunyai andil

50% bahkan 90% terhadap keberhasilan pemeliharaan pullet.

Pada periode grower terjadi perkembangan ukuran sel (hipertrofi). Di fase ini frame

size berkembang mencapai bentuk sempurna. Periode grower memiliki 3 waktu kritis yang

harus diperhatikan oleh peternak yaitu umur 6-7 minggu, 12 minggu dan 14 minggu. Antara

minggu 6 dan 7 adalah puncak perkembangan frame size yang mana 80% frame size sudah

mencapai dimensi akhir. Oleh karena itu, saat penimbangan berat badan di minggu kelima,

ayam-ayam yang belum memiliki frame size optimal dipisahkan lalu tetap diberikan ransum

starter dan diberikan multivitamin.

Di minggu ke-12 perkembangan kerangka tubuh telah mencapai maksimal. Maksimal

dalam arti, tidak bisa berkembang lagi sehingga setidaknya ada 2 hal yang perlu diperhatikan

peternak. Pertama adalah dianjurkan mengejar ketinggalan frame size (berat badan) sebelum

minggu ke-12. Kedua mempertahankan berat badan yang sudah sama atau 10% di atas

standar untuk menghadapi masa awal bertelur. Selain tercapainya berat badan yang sesuai

dan perkembangan frame size yang optimal, tingkat keseragaman ayam juga perlu tetap

diperhatikan.

Di minggu ke-14 terjadi perkembangan pesat organ reproduksi dan juga medulary

bone (bagian tulang yang menyimpan cadangan kalsium untuk cangkang telur pada ayam).

Pada periode ini, ketersediaan vitamin D dan kalsium sangat dibutuhkan. Bascal (1993)

menyebutkan bahwa rendahnya asupan kalsium dan vitamin D saat awal bertelur akan

menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas telur saat puncak produksi sehingga

sebaiknya peternak perlu menyediakan kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang cukup.

Page 4: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

2.2 Medikasi dan Kemoterapeutik

Kemoterapi adalah obat atau zat yang berasal dari bahan kimia yang dapat

memberantas dan menyembuhkan penyakit atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,

amoeba, fungi, protozoa, cacing, tanpa merusak jaringan tubuh manusia.

Zat kemoterapeutik  ialah zat kimia yang digunakan untuk mengobati penyakit

menular (kemoterapi) atau mencegah penyakit (kemoprofilaksis). Zat ini diperoleh dari

mikroorganisme atau tumbuhan atau disintesis di dalam laboratorium kimia. Secara umum,

zat kimia demikian yang terdapat di alam dapat dibedakan dari persenyawaan sintetik dengan

digunakannya nama antibiotik .(Pelczar, 2008 : 508)

Suatu zat kimia harus memiliki toksisitas yang selektif  untuk dapat sebagai zat

kemoterapeutik. Artinya, zat tersebut harus dapat menghambat atau mematikan parasit (sel

ganas), dan juga mengurangi terjadinya kerusakan terhadap sel inang atau sama sekali tidak

merusak sel inang. Persyaratan lain bagi zat kemoterapeutik adalah harus mampu menembus

sel dan jaringan inang serta tidak mengubah mekanisme pertahanan alamiah sel inang

tersebut. (Pelczar,2008:508)

Pada medikasi secara luas yang digunakan meliputi antibiotik dan antimikroba.

Berdasarkan pengertianya Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh

mikroorganisma secara alamiah. Fungsi utamanya adalah melawan pertumbuhan atau

kehidupan mikroorganisma yang lain, contoh: penisilin, kloramfenikol, tetrasiklin.

Antimikroba adalah semua bahan kemoterapetik yang digunakan untuk melawan efek

mikroorganisme. Sulfonamida, isoniazid, dan kuinin termasuk dalam kelompok antimikroba.

Secara lengkapnya pengertianya adalah sebagai berikut :

2.2.1 Antimikroba dan Antibiotik

Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang

merugikan manusia, yang dimaksud dengan mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak

termasuk kelompok parasit, sedangkan antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh

berbagai jasad renik bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan

pertumbuhan atau membunuh jasad renik lainnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Antibiotika yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotika

alami, antibiotika yang disintesis di laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang

Page 5: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan

senyawa kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2011).

Berdasrkan aktifitas toksisitas selektif, ada antimikroba bersifat menghambat

pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktifitas bakteriostatik; dan ada yang bersifat

membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisidik. Kadar minimal yang diperlukan

untuk menghambat pertumbuan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai

kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM).

Sifat antimikroba dapat berbeda satu dengan lainya. Umpamanya, penisilin G bersifat

aktif terutama terhadap gram-postif, dan bakteri gram-negatif pada umumnya tidak peka

(resisten) terhadap penisilin G; streptomisin memiliki sifat sebaliknya; tetrasiklin aktif

terhadap beberapa bakteri gram-positif maupun bakteri gram-negatif dan juga terhadap

ricketsia dan Chlamydia. Berdasarkan perbedaan sifat ini antimikroba dibagi menjadi dua

klompok, yaitu spectrum sempit, umpamanya benzyl penisilin dan streptomisin, dan

sepektrum luas umpamanya tetrasiklin dan kloramfenikol.

Walaupun suatu antimikroba berspektrum luas, efektifitas kliniknya belum tentu

seluas spektrumnya sebab efektifitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih

oleh untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain. Di

samping itu antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman

atau jamur yang resisten. Dilain pihak pada septikimia yang penyebabnya belum diketahui

diperlukan antimikroba berspektrum luas sementara menunggu hasil pemerikaan

mikrobiologik.

2.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik dan Antimikroba

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam 5 kelompok:

1. Antimikroba dan antibiotik yang menghambat metabolisme sel mikroba

Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini ialah sulfonamid, trimetoprim, asam p

aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik.

Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan

mamalia yang mendapatka asam folat dari luar, kuman patogen harus mensintesis sendiri

asam folat dari asam amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila Sulfonamid

Page 6: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

dan sulfon menang bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam

folat, maka terbentuk analog asam folat yang nonfungsional. Akibatnya kehidupan mikroba

akan terganggu. Berdasarkan sifat kompetisi, efek sulfonamide dapat diatasi dengan

meningkatkan kadar PABA.

2. Antimikroba dan antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin,

vankomisin, berturut-turut oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan

sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi

tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi dari pada diluar sel maka

kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek

bakterisidal pada kuman yang peka.

3. Antimikroba dan antibiotik yang mengganggu keutuhan membrane sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai

antimikroba kemoterapeutik, umpamanya antiseptic surface active agents. Polimiksin

seabagai senyawa ammonium-kuartener dapat merusak membrane sel setelah bereaksi

dengan fosfat pada fosfolipid membrane sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap

kuman gram-positif karena jumlah fosfor bakteri ini rendah. Kuman garam-negatif yang

menjadi resisten terhadap polimiksin, tenyata jumlah fosfornya menurun. Antibiotik polien

bereaksi dengan struktur sterol yang terdapat pada membran sel fungus sehingga

mempengaruhi permeabilitas selektif membrane tersebut.

Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struktur sterol pada

membrane selnya. Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan (suface-aktive agents),

dapat merusak permeabilitas selektif dari membrane sel mikroba. Kerusakan membrane sel

dapat menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu

protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain.

4. Antimikroba dan antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba

Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosi, makrolid,

linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupanya, sel mikroba perlu mensintesis

berbagi protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA.

Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, yang berdasar subtanta sedimentasi

Page 7: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua

komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.

2.2.3 Penggolongan Antibiotik dan Antimikroba Berdasar Struktur Kimia

Aminoglikosida : Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin,

neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.

Beta-Laktam : Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem,

meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim,

sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin

(penisilin, amoksisilin).

Glikopeptida : Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.

Polipeptida : Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin,

klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin

(doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).

Polimiksin : Diantaranya polimiksin dan kolistin.

Kinolon (fluorokinolon) : Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin,

norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.

Streptogramin : Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan

kinupristin-dalfopristin.

Oksazolidinon : Diantaranya linezolid dan AZD2563.

Sulfonamida : Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.

Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam

fusidat.

2.2.3 Jenis – Jenis Antimikroba dan Antibiotik

1. Sulfonamid

Sulfonamid mempunyai spectrum antibakteri yang luas.Golongan obat ini umumnya

hanya bersifat bakteriostatik, spektrum antibakteri meliputi gram (+) maupun (-) seperti.

Pyogenes, E.coli, B. anthracis, v. cholerae, C. trachomatis, C. Diphteriae.

Page 8: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

Mekanisme kerja sulfonamide adalah dengan menghabat asam folat yang dibutuhkan

bakteri untuk metabolism sel mikroba, yaitu dengan mengahabat PABA ( p – aminobenzoic )

yang membentuk asam folat, dengan berkopetitifnya sulfonamide untuk menggantikan

PABA, sehingga menyebabkan terbentuknya analog asam folat non fungsional.

2. Kotrimoksazol

Kotrimoksazol merupakan kombinasi 2 macam kemoterapi yakni Trimethoprim dan

Sulfamethoxazole dengan perbandingan 1: 5 yang memberikan efek bakterisid dengan

spektrum luas. Kotrimoksazol menghambat biosintesis asam folat mikroorganisme pada

tahap yang berbeda secara beruntun. Apabila kedua zat aktif tersebut dipergunakan masing-

masing biasanya hanya memberikan hasil yang bakteriostatik.

Berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berrutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam

tetrahidrofolat. Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat.

Trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari hidrofolat menjadi tetrahidrofola  Mikroba yang

peka terhadap kotrimoksazol Salmonella pneumoniae, Corynebacterium diphteriae, Streptococcus

pyogenes, Streptococcus viridans , Serratia , E.coli dan Shigella.

3. Penisilin

Penisilin yang digunakan dalam pengobatan terbagi dalam Penisilin alam dan Penisilin

semisintetik. Penisilin semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia Penisilin

alam atau dengan cara sintesis dari inti Penisilin.

Beberapa Penisilin akan berkurang aktivitas mikrobanya dalam suasana asam sehingga

Penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain hilang aktivitasnya

bila dipengaruhi enzim Betalaktamase (Penisilinase) yang memecah cincin Betalaktam.

Penisilin menghambat pembentukan Mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding

sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, Penisilin akan menghasilkan efek bakterisid

(membunuh kuman) pada mikroba yang sedang aktif membelah. Mikroba dalam keadaan

metabolik tidak aktif (tidak membelah) praktis tidak dipengaruhi oleh Penisilin, kalaupun ada

pengaruhnya hanya bakteriostatik (menghambat perkembangan).

Penggolongan

Penisilin dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut aktivitas dan resistensinya terhadap

laktamase sebagai berikut :

Page 9: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

a.      Zat-zat dengan sepktrum sempit : benzilpenisilin, penisilin V, dan fenetisin. Zat-zat ini

terutama aktif terhadap kuman Gram-positif dan diuraikan oleh penisilinase.

b.      Zat-zat tahan laktamse : metisilin, kloksalin dan flukoksasilin. Zat ini hanya aktif terhadap

stafilokok dan streptokok. Asam clavukanat, sulbaktam dan tazobaktam memblokir

laktamase dan dengan demikian mempertahankan aktivitas penisilin yang diberikan

bersamaan.

c.      Zat-zat dengan spektrum luas : ampisilin dan amoksisilin, aktif terhadap kuman-kuman Gram

positif dan sejumlah kuman Gram-negatif kecuali antara lain  Pseudomonas, Klebsiella dan

B.fragilis. tidak tahan laktamase, maka sering digunakan terkombinasi dengan suatu

laktamase-blocker, umumnya klavulanat.

d.     Zat-zat anti Pseudomonas  : tikarsilin dan piperasilin. Antibiotika berspektrum luas ini

meliputi lebih banyak kuman Gram-negatif, termasuk Pseudomonas, Proteus, Klebsiella, dan

Bacteoides fragilis. Tidak tahan laktamase dan umumnya digunakan bersamaan dengan

laktamse-blocker.

4. Sefarosporin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Aminoglikosid, Tuberkulostatik, Isoniazid,

Rifampisin, Etambutol, dan Leprostatik.

2.3 Prinsip Medikasi dan Kemoterapeutik

Prinsip medikasi dan kemoterapeutik menjadi parameter yang harus diketahui dan

dipahami saat melakukan pengobatan. Penerapan salah satu prinsip medikasi ini yang kurang

sesuai akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan pengobatan, tidak menutup kemungkinan

akan mengakibatkan kegagalan pengobatan. Jenis obat yang sesuai dengan penyakit, obat

mampu mencapai lokasi kerja atau organ sakit, obat tersedia dalam kadar yang cukup dan

obat berada dalam waktu yang cukup, merupakan 4 prinsip yang akan dibahas di bawah.

2.2.1 Obat sesuai dengan jenis penyakit yang menyerang

Setiap obat mempunyai efek yang berbeda dan spesifik terhadap setiap penyakit.

Pemilihan obat yang tepat menjadi tahapan pertama yang menentukan keberhasilan

pengobatan. Bagaimanapun baiknya cara pemberian obat, tetapi bila kita salah dalam

memilih jenis obat, maka bukan suatu keniscayaan efek pengobatan tidak akan optimal.

Page 10: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

Sebagai contoh yaitu tidak semua obat dapat digunakan untuk mengatasi serangan

CRD. Contohnya pemberian ampisilin atau amoksilin tidak dapat mengatasi serangan CRD.

Hal ini disebabkan bakteri CRD, Mycoplasma gallisepticum tidak mempunyai dinding sel

yang berperan sebagai reseptor ampisilin. Sebaliknya, obat yang cocok untuk mengobati

penyakit CRD ialah doksisiklin yang memiliki kemampuan menghambat sintesis protein pada

reseptor yang terdapat pada M. gallisepticum (ribosom 30S).

2.2.2 Obat mampu mencapai lokasi kerja atau organ sakit

Obat yang diberikan harus mampu mencapai target organ, lokasi kerja atau organ

sakit sehingga obat bisa berkerja secara tepat dan optimal. Pemilihan rute pengobatan

menjadi hal yang penting untuk memastikan obat dapat mencapai organ atau lokasi kerja

yang diinginkan. Untuk mengobati penyakit infeksi pernapasan yang parah dengan efek

pengobatan yang segera maka rute parenteral, secara suntikan atau injeksi menjadi pilihan

utama. Namun bila tidak tersedia sediaan parenteral maka sediaan oral melalui cekok atau air

minum dengan kandungan obat yang memiliki efek sistemik dapat menjadi alternatif pilihan,

seperti obat dari golongan fluoroquinolon atau penisilin. Melalui pemilihan dan

pengaplikasian rute pengobatan yang benar akan meminimalisasi kemungkinan obat rusak

maupun tereliminasi dari tubuh ayam sebelum mencapai organ target.

2.2.3 Obat tersedia dalam kadar yang cukup

Obat akan menghasilkan efek pengobatan yang optimal saat konsentrasi atau

kadarnya di dalam tubuh ayam mencapai kadar minimum atau Minimum Inhibitory

Concentration (MIC). Sebelum obat mencapai kadar MIC, obat tidak akan bekerja

menghasilkan efek pengobatan.

Kadar obat di dalam tubuh dipengaruhi oleh kondisi alamiah tubuh ayam sendiri,

dimana ayam mempunyai respon yang berbeda terhadap obat yang dimasukkan ke dalam

tubuhnya. “Nasib” obat di dalam tubuh ayam dapat diketahui melalui uji farmakokinetik.

Hasil uji farmakokinetik tersebut digunakan oleh apoteker dan dokter hewan sebagai dasar

penentuan dosis sehingga obat dapat mencapai organ target dalam jumlah yang cukup melalui

rute pengobatan tertentu.

Page 11: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

2.2.4 Obat berada dalam waktu yang cukup

Secara alami, kadar obat di dalam tubuh akan berkurang dalam jangka waktu tertentu.

Ada parameter penting yang berhubungan dengan kecepatan eliminasi obat, yaitu waktu

paruh.

Waktu paruh yang diberi simbol T1/2 merupakan waktu yang diperlukan tubuh untuk

mengeliminasi obat sebanyak 50% dari kadar semula. Obat dengan T1/2 pendek akan berada

di dalam tubuh lebih singkat dibanding dengan yang mempunyai T1/2 panjang. Pada

aplikasinya, obat dengan T1/2 pendek perlu diberikan dengan interval waktu lebih pendek,

misalnya diberikan 2-3 kali sehari untuk mempertahankan kadar efektif di dalam darah.

Sulfadimethoxine dan sulfamonomethoxine merupakan antibiotik dengan T1/2 yang panjang

sedangkan antibiotik lainnya seperti tetrasiklin, penisilin memiliki T1/2 yang pendek.

Page 12: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN

MENEJEMEN PROGRAM MEDIKASI DAN KEMOTERAPEUTIK PADA PULLET DI SATWA UNGGUL

P.S, SRENGAT, KAB BLITAR, JAWA TIMUR

Oleh:IBNUL RIFA’I DANO

NIM.0911313025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWANPROGRAM KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG

2012

Page 13: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

LEMBAR PENGESAHANPROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN

SATWA UNGGUL P.S SRENGAT,KABUPATEN BLITAR, JAWA TIMURMANAJEMEN PROGRAM MEDIKASI DAN KEMOTERPEUTIK PADA PULLET

Malang, 27 November 2012

Oleh :

I BNUL RIFA’I DANO NIM. 0911313025

MenyetujuiKomisi Pembimbing PKL

Pembimbing I Pembimbing II

drh. Analis Wisnu Wardhana drh. Dyah Ayu Oktavianie AP., M.Biotech NIP. 198009042008122004 NIP.198410262008122004

Mengetahui,Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Hewan

Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Aulanni’am, drh., DESNIP. 19600903 198802 2 001

Page 14: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

BAB III

METODE KEGIATAN

3.1 Waktu dan Lokasi Kegiatan

Kegiatan Praktek Kerja Lapangan akan dilaksanakan di Satwa Unggul P.S,

Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Pelaksanaan PKL direncanakan akan

dilaksanakan selama 6 minggu dimulai dari bulan November 2012- Desember 2012.

Kegiatan yang akan dilaksanakan pada praktek kerja lapangan ini adalah mengenai

manajemen program medikasi dan kemoterapeutik pada pullet.

3.2 Metode Pelaksanaan PKL

Kegiatan Praktek Kerja Lapang menggunakan metode – metode magang di Satwa

Unggul PS, Srengat Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Diantaranya :

Observasi partisipasi yaitu mahasiswa melakukan pengamatan dan pekerjaan

secara langsung Kegiatan ini memperoleh data primer dan data sekunder yang

selanjutnya diolah lebih lanjut dalam laporan Praktek Kerja Lapang. Data primer

diperoleh dari pihak – pihak terkait mengenai manajemen program medikasi dan

kemoterapeutik pada pullet. Data sekunder diperoleh dari pencatatan dan dokumentasi

yang mendukung penyusunan laporan Praktek Kerja Lapang.

Partisipasi merupakan metode pengembangan data dengan ikut aktif dalam

kegiatan yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap

semua aspek yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan program medikasi dan

kemoterapeutik.

Page 15: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

3.3 Biodata Peserta Praktek Kerja Lapang

Peserta yang akan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di Satwa Unggul P.S,

Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah :

Nama individu :Ibnul Rifa’i Dano

Program Studi : Pendidikan dokter hewan

Universitas : Brawijaya

Nim : 0911313025

Alamat : Jl. Tidar Utara no. 20 Malang, Jawa Timur.

Nomor telepon : 085646416402

Email : [email protected]

Page 16: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

3.4 Jadwal Praktek Kerja Lapangan

No

Waktu Kegiatan

1. November 2012 Pengajuan Proposal Rencana Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang di Satwa Unggul P.S Srengat, Blitar Jawa Timur

2. November 2012 – Desember 2012

Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang di Satwa Unggul P.S Srengat, Blitar Jawa Timur

3. Desember 2012 Pembuatan Laporan Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang di Satwa Unggul P.S, Blitar Jawa Timur

NO KEGIATAN Minggu Ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 Penulisan proposal Praktek Kerja Lapang dan bimbingan pembuatan proposal Praktek Kerja Lapang

2 Pengesahan proposal Praktek Kerja Lapang oleh pembimbing dan pimpinan instansi

3 Pelaksanaan PKL

4 Penyusunan laporan PKL

5 Revisi Laporan PKL

6 Presentasi hasil PKL

Page 17: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

BAB IV

PENUTUP

Demikian proposal praktek kerja lapang yang dilaksanakan pada tanggal 27 November 2012 sampai dengan tanggal 30 Desember 2012 di KUD Semen Blitar.Saya berharap pada Ibu untuk dapat membantu mewujudkan rencana kegiatan saya tersebut. Atas perhatian dan kerja samanya saya ucapkan terima kasih.Semoga kegiatanPKL kami bermanfaat.

Page 18: Copy of Lap Pkl Ibnu Revisi

DAFTAR PUSTAKA

Akoso (1998). Kesehatan Unggas : Panduan bagi petugas teknis, penyuluhan dan

peternakan. Jogyakarta: Kanisius,

Doyle ME. 2006. Veterinary drug residues in processed meats-potensial health risk. Food

Research Institute University of Wisconsin-Madison.

http://fri.wisc.edu/docs/pdf/FRIBrief_VetDrgRes.pdf [21 Nopember 2011].

Info Medion. 2011. Mencermati Prinsip Pengobatan. Info Medion edisi Febuari 2009

Info Medion. 2011. Membentuk Pullet Berkualitas. Info Medion edisi November 2009

Pelczar Michael J, & E.C.S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Edisi Revisi. UI-Press:

Jakarta

Subronto.1989. Ilmu Penyakit Ternak I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Subronto dan Tjahjati. 2001. Pedoman Pengobatan pada Hewan Ternak. Bentang Pustaka.

Hal: 137, 145-147.

.