23
1 CERITA RAKYAT NUSANTARA 1 No Judul Cerita Hal 1 Jaka Budug Dan Putri Kemuning 2 2 Putri Siluman 6 3 Keramat Riak 11 4 Raja Empedu 16 5 Legenda Bukit Fafinesu 20 Sumber : http://ceritarakyatnusantara.com

Cerita rakyat nusantara 1

Embed Size (px)

Citation preview

1

CERITA RAKYAT NUSANTARA 1

No Judul Cerita Hal

1 Jaka Budug Dan Putri Kemuning 2

2 Putri Siluman 6

3 Keramat Riak 11

4 Raja Empedu 16

5 Legenda Bukit Fafinesu 20

Sumber : http://ceritarakyatnusantara.com

2

JAKA BUDUG DAN PUTRI KEMUNING Asal cerita : Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

Alkisah, di daerah Ngawi, Jawa Timur, tersebutlah seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di Kerajaan Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Baginda mempunyai seorang putri yang rupawan bernama Putri Kemuning. Sesuai namanya, tubuh sang Putri sangat harum bagaikan bunga kemuning. Suatu hari, Putri Kemuning tiba-tiba terserang penyakit aneh. Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba-tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Sang Prabu menjadi sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda

yang mau menikahi putrinya itu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh baginda, seperti memberikan putrinya obat-obatan tradisional berupa daun kemangi dan beluntas, namun penyakit sang putri belum juga sembuh. Sang Prabu juga telah mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan sang Putri. Hati Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering duduk melamun seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata wayangnya. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat disembuhkan. Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat baginda larut dalam semedi, tiba-tiba terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya. “Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit putrimu adalah daun sirna ganda. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya,” demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu.

3

Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun untuk mengadakan sayembara. “Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku.” ujar Sang Prabu di depan rakyatnya. Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja. Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut adalah Jaka Budug. Jaka Budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubuk reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam wilayah Kerajaan Ringin Anom. Ia dipanggil “Jaka Budug” karena mempunyai penyakit langka, yaitu seluruh tubuhnya dipenuhi oleh penyakit budug. Penyakit aneh itu sudah dideritanya sejak masih kecil. Meski demikian, Jaka Budug adalah seorang pemuda yang sakti. Ia sangat mahir dan gesit memainkan keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Namun, ia merasa malu dengan keadaan dirinya. Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga hari keenam sayembara itu dilangsungkan, belum satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka Budug pun semakin gelisah mendengar kabar itu. Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri datang menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu. “Ampun, Baginda! Izinkan hamba untuk mengikuti sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri,” kata Jaka Budug.

4

Prabu Aryo Seto tidak menjawab. Ia terdiam sejenak sambil memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik-bintik merah. “Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa mengalahkan naga sakti itu?” tanya Sang Prabu. “Hamba Jaka Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris pusaka hamba ini,” jawab Jaka Budug seraya memperlihatkan keris pusakanya kepada Sang Prabu. Pada mulanya, Prabu Aryo Seto ragu-ragu dengan kemampuan Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris pusakanya dan tekadnya yang kuat, akhirnya Sang Prabu menyetujuinya. “Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat, maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil!” ucap Sang Prabu. Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusakanya. Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan sangat hati-hati. Begitu ia mendekat, tiba-tiba naga itu menyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus bertubi-tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat sedikit kewalahan. Lama-kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun habis. Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari penyakit budug. Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka Budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya yang terkena penyakit budug. Seketika itu pula seluruh badannya menjadi bersih dan halus. Tak sedikit pun bintik-bintik merah yang tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan.

5

Setelah memetik beberapa lembar daun sirna ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setibanya di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya berseri-seri. Sang Prabu hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, barulah Sang Prabu percaya dan terkagum-kagum. Jaka Budug kemudian mempersembahkan daun sirna ganda yang diperolehnya kepada Sang Prabu. Sungguh ajaib, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan daun sirna ganda itu. Kini, tubuh Sang Putri kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning. Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Selang berapa lama setelah mereka menikah, Prabu Aryo Seto meninggal dunia. Setelah itu, Jaka Budug pun dinobatkan menjadi pewaris tahta Kerajaan Ringin Anom. Jaka Budug dan Putri Kemuning pun hidup berbahagia.

6

PUTRI SILUMAN Asal cerita : Lampung

Alkisah, di sebuah negeri di daerah Lampung, Indonesia, ada seorang raja yang sudah puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama permaisurinya, namun belum dikaruniai seorang anak. Sang raja tidak sabar lagi ingin segera mempunyai putra yang kelak akan menggantikan kedudukannya. Ia pun mulai putus asa karena berbagai macam usaha telah dilakukannya, tetapi belum satu membuahkan hasil. Suatu hari, ketika sang raja sedang duduk termenung seorang diri di singgasananya, tiba-tiba seorang pengawal istana datang menghadap. “Ampun Baginda, jika kedatangan hamba mengganggu ketenangan Baginda!” lapor pengawal itu. “Kabar apa yang akan kamu sampaikan pengawal?” tanya sang raja. “Ampun, Baginda! Semoga berita yang hamba bawa ini adalah berita gembira buat Baginda,” kata si pengawal. “Kabar apakah itu, hai pengawal? Cepat katakan kepadaku!” seru sang raja. “Ampun, Baginda! Hamba baru saja mendengar kabar bahwa siapa pun yang ingin mempunyai anak hendaknya datang ke sebuah sumur yang dijaga oleh Putri Siluman,” lapor pengawal itu. “Di mana sumur itu berada?” tanya sang raja dengan tidak sabar.

7

“Ampun, Baginda! Sumur itu berada di ujung negeri ini,” jawab pengawal itu. Tanpa berpikir panjang, sang raja segera menuju ke tempat itu untuk menemui Putri Siluman. Alangkah terkejutnya saat ia tiba di sana karena wanita yang ditemuinya berbeda dari apa yang ada di dalam pikirannya. Sebelumnya, ia mengira bahwa wajah Putri Siluman itu sangat jelek dan menyeramkan. Namun, tanpa diduganya ternyata Putri Siluman adalah seorang wanita cantik yang mempesona. Tak ayal lagi, sang raja pun terpesona kepada kecantikan Putri Siluman itu. Niatnya yang semula ingin meminta pertolongan agar ia dan permaisurinya dikaruniai anak kini berubah menjadi ingin menikahi wanita penunggu sumur itu. Putri Siluman itu pun tidak langsung menerima ajakan sang raja karena ia tahu bahwa raja itu masih mempunyai permaisuri di istana. Oleh karena itulah, ia menuntut kepada sang raja agar menceraikan permaisurinya. “Jika Tuan ingin menikahi hamba, maka ceraikanlah permaisuri Tuan terlebih dahulu karena hamba tidak rela diduakan!” pinta Putri Siluman. Sang raja yang telah dibutakan oleh cinta itu bersedia memenuhi tuntutan Putri Siluman. Apalagi ia menyadari bahwa selama ini permaisurinya tidak mampu memberikannya keturunan. Akhirnya, sang Raja bergegas kembali ke istana untuk menceraikan permaisurinya lalu mengasingkannya ke suatu tempat yang jauh. Setelah itu, ia pun menikahi Putri Siluman dan memboyongnya ke istana. Beberapa bulan kemudian, Putri Siluman diketahui sedang mengandung. Alangkah senangnya hati sang raja mendengar kabar tersebut. Kehadiran putra penerus tahta kerajaan yang sudah bertahun-tahun dinantikannya tidak lama lagi akan menjadi kenyataan. Namun, sang raja lupa jika pemaisuri barunya adalah seorang siluman. Keadaan itu baru disadarinya ketika Putri Siluman mengidam kepala manusia untuk lauk makan setiap hari. Tentu saja hal tersebut membuat sang raja bingung. Jika ia menolak permintaan Putri Siluman itu, maka keselamatan bayinya bisa terancam. Sang paja pun terpaksa menuruti semua permintaan Putri Siluman. Akibatnya, banyak rakyat yang menjadi korban. Keadaan itu membuat seluruh rakyat di negeri itu menjadi resah karena mereka tinggal menunggu giliran kepala mereka yang akan menjadi santapan Putri Siluman. Berita tentang keresahan rakyat di negeri itu pun sampai ke telinga seorang pertapa sakti. Oleh karena prihatin terhadap nasib penduduk negeri itu, maka segeralah ia turun gunung dan kemudian menuju ke istana untuk menguji

8

kesaktian Putri Siluman. Pertapa itu datang ke istana membawa seekor kepala kambing yang sudah disulap menjadi kepala manusia untuk dipersembahkan kepada Putri Siluman. Namun, tipu muslihat pertapa itu diketahui oleh Putri Siluman. Akhirnya wanita siluman itu menjadi murka dan seketika itu pula berubah menjadi setan yang menakutkan. Meski demikian, pertapa itu tetap saja tenang dan bahkan menawarkan tubuhnya untuk dimakan Putri Siluman. “Baiklah, Putri Siluman! Jika kamu memang sudah kelaparan, aku bersedia mengorbankan seluruh tubuhku untuk kamu santap. Silakan sembelihlah aku!” seru pertapa itu. Tanpa berpikir panjang, Putri Siluman segera menyembelih dan kemudian memotong-motong tubuh pertapa itu hingga menjadi beberapa bagian. Begitu ia hendak menyantapnya, tiba-tiba potongan-potongan tubuh pertapa itu menyatu kembali. Tentu saja hal itu membuat Putri Siluman semakin murka. Dalam sekejap, seluruh tubuhnya berubah menjadi setan. Pertarungan sengit antara Putri Siluman dengan pertapa itu pun tak terelakkan lagi. Pertarungan yang berlangsung cukup lama itu akhirnya dimenangkan oleh sang pertapa, sedangkan Putri Siluman melarikan diri entah ke mana dalam keadaan hamil. Sementara itu, sang raja harus menjalani kehidupannya sebagai raja tanpa didampingi permasuri. Dua puluh tahun kemudian, di tempat pengasingannya, permaisuri raja hidup bersama dengan seorang pemuda gagah yang bernama Putra Mayang. Dia adalah putra sang raja dan sang permaisuri. Rupanya, ketika diasingkan oleh raja, sang permaisuri sedang mengandung tujuh hari. Ketika itu, jangankan sang raja, ia sendiri baru mengetahui hal itu setelah berada di tempat pengasingan. Setelah melahirkan, ia pun merawat putra semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang. Putra Mayang pun tumbuh menjadi pemuda yang sakti mandraguna karena sejak kecil ia berguru ilmu kesaktian kepada seorang kakek di tempat pengasingan itu. Pada suatu hari, sang permaisuri bercerita kepada Putra Mayang bahwa ayahandanya adalah seorang raja yang sangat terkenal. Mendengar cerita itu, Putra Mayang berpamitan kepada ibundanya untuk mencari sang ayah. Setelah berhari-hari berjalan menyusuri hutan belantara, tibalah ia di kota kerajaan. Putra Mayang tidak ingin terburu-buru menemui ayahandanya karena khawatir tidak diakui sebagai anak. Oleh karena itu, ia menyamar sebagai juru masak istana untuk mengetahui suasana istana dan ayahandanya.

9

Pada suatu malam, ketika Putra Mayang sedang beristirahat tiba-tiba seisi istana menjadi gempar. Seorang bayi hilang diculik oleh seseorang yang misterius. Setelah diusut ternyata peristiwa itu bukan kali pertama terjadi di istana. Beberapa malam yang lalu, bayi seorang menteri juga menjadi korban penculikan. Mengetahui situasi tersebut, Putra Mayang mulai melakukan pengintaian secara diam-diam. Alhasil, pada malam berikutnya ia berhasil memergoki penculik tersebut dan kemudian mengejarnya hingga terpojok di sudut benteng istana. “Hai keparat, berhenti!” seru Putra Mayang. Penculik itu pun terpaksa berhenti karena terpojok. Sambil menggendong seorang bayi, penculik itu balik menantang Putra Mayang untuk mengadu kesaktian. “Hai, anak muda! Ambillah bayi ini jika kamu berani!” tantang penculik itu. “Hai, Penculik! Siapa kamu dan kenapa kamu menculik bayi yang tidak berdosa itu?” tanya Putra Mayang. “Ketahuilah, aku ini adalah anak Putri Siluman dan raja negeri ini! Ha… ha… ha…!!!” jawab penculik itu seraya tertawa terbahak-bahak. Rupanya, beberapa hari sebelum kedatangan Putra Mayang ke istana, anak Putri Siluman itu terlebih dahulu tiba di istana untuk mencari ayahandanya dan ternyata sang raja mengakuinya sebagai putra. Namun, tanpa sepengetahuan sang Raja, anak Putri Siluman itu menuruni tabiat ibunya sebagai siluman yang suka memangsa manusia. Mendengar pengakuan tersebut, Putra Mayang menjadi tidak sabar ingin melenyapkan manusia siluman itu. Pertarungan antara kedua pemuda yang bersaudara seayah itu tidak terelakkan lagi. Dalam pertarungan tersebut, Putra Mayang berhasil mengalahkan anak Putri Siluman. Sementara itu, Putri Siluman yang mengetahui hal tersebut menjadi murka. Ia pun mendatangi Putra Mayang di istana untuk membalaskan dendam anaknya sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara keduanya. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Putra Mayang berhasil membinasakan Putri Siluman. Kematian wanita siluman dan putranya itu disambut gembira oleh sang raja dan seluruh rakyatnya. Negeri itu pun kembali aman dan damai. Sementara itu, Putra Mayang segera menghadap sang raja untuk menyampaikan maksud kedatangannya ke istana.

10

“Ampun, Baginda! Apakah Baginda masih ingat dengan permaisuri yang pernah Baginda ansingkan dua puluh tahun lalu?” tanya Putra Mayang. Mendengar pertanyaan itu, sang raja langsung tersentak kaget. “Hai, anak muda! Apakah kamu mengenalnya? Apakah permaisuriku itu masih hidup?” tanya sang Raja secara bertubi-tubi. Betapa terkejutnya sang raja ketika pemuda itu mengaku bahwa dia adalah putra dari permaisuri yang malang itu. “Apa katamu? Kamu jangan mengada-ada, wahai anak muda! Bukankah permaisuriku itu mandul?” tanya sang raja. Putra Mayang pun menceritakan semua peristiwa yang dialami bersama ibundanya di tempat pengasingan hingga ia bisa sampai ke istana. Mendengar cerita itu, sang raja menjadi terharu dan kemudian lansung merangkul Putra Mayang. “Oh Putraku, maafkan ayah nak! Ayah sangat menyesal karena telah menyia-nyiakan kalian,” ucap sang Raja sambil meneteskan air mata dalam pelukan putranya. “Sudahlah, Ayahanda! Lupakanlah semua yang sudah terjadi,” ujar Putra Mayang dengan penuh bijaksana. “Terima kasih Putraku karena kalian sudah memaafkan kesalahan ayah,” kata sang raja. “Baiklah, ayahanda! Sebaiknya kita segera menjemput ibunda. Beliau sudah lama sekali merindukan ayahanda,” kata Putra Mayang. Setelah menyiapkan segala perlengkapan dan sejumlah pengawal istana, berangkatlah sang raja bersama Putra Mayang untuk menjemput permaisurinya di tempat pengasingan untuk diboyong ke istana. Akhirnya, sang raja dapat berkumpul kembali bersama permaisuri dan putranya. Mereka pun hidup rukun dan bahagia.

11

KERAMAT RIAK Asal cerita : Bengkulu

Suatu siang yang terik, tampak seorang kakek misterius berjalan terseok-seok sambil menggendong sebuah jala di depan paseba (pendapa) istana Keramat Riak. Kakek itu tampak begitu lelah. Rupanya, ia baru saja pulang dari sungai mencari ikan. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di depan paseba yang selalu dijaga ketat oleh dua orang prajurit. Jalanya yang memakai pemberat dari rantai emas diletakkan begitu saja di tanah. Rantai jala itu berkilau diterpa sinar matahari sehingga menarik perhatian kedua prajurit itu. Akhirnya, kedua prajurit itu menghampiri dan menyapa si kakek dengan ramah. “Wah, jala Kakek bagus sekali,” sapa salah seorang prajurit dengan perasaan kagum. “Iya, Tuan! Jala ini warisan nenek moyang Kakek. Setiap hari Kakek menggunakannya sebagai alat mata pencaharian Kakek,” jawab kakek itu. “O ya, Tuan! Bolehkah saya menumpang shalat dhuhur di paseba ini,” pinta kakek itu. “Boleh… boleh… Silakan Kek!” jawab kedua prajurit itu serentak. Kakek itu pun masuk ke dalam paseba. Jalanya dibiarkan tergeletak di luar paseba. Saat kakek itu sedang shalat, kedua prajurit yang sejak tadi merasa penasaran segera mendekati jala itu. Setelah dicermati secara seksama, ternyata benar bahwa rantai jala itu terbuat dari emas. Namun, betapa terkejutnya mereka saat hendak mengangkat jala itu yang ternyata sangat berat dan seolah-olah menempel di tanah. “Aneh, kenapa rantai jala ini berat sekali?” gumam salah seorang prajurit yang mencoba mengangkat jala itu. “Ayo kawan, bantu aku mengangkat jala ini!” serunya.

12

Kedua prajurit tersebut berusaha mengangkat jala milik si kakek secara bersama-sama. Apa yang terjadi? Jangankan terangkat, jala itu tidak bergeser sedikit pun. Melihat keanehan itu, salah seorang dari prajurit tersebut bergegas melaporkan kejadian aneh itu kepada Raja Riak Bakau di istana. Raja Riak Bakau dikenal sebagai raja yang kejam. Ia tidak segan-segan menghukum bagi siapa saja yang menentangnya. Mendengar laporan dari prajurit itu, Raja Riak Bakau yang diiringi beberapa pengawalnya segera menemui si pemilik jala itu. Setibanya di depan paseba, kakek itu telah selesai shalat dhuhur dan bersiap-siap untuk pulang. “Tunggu, Kek!” cegah Raja Riak Bakau. Menyadari bahwa orang yang menegurnya itu adalah sang Raja, kakek itu segera memberi hormat seraya menjawab: “Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba pergi!” pinta kakek itu. “Jangan pergi dulu, Kek! Aku ada perlu dengan Kakek,” kata Raja Riak Bakau. “Ampun, Baginda! Ada yang bisa hamba bantu?” tanya kakek itu. “Hai, Kakek yang budiman. Bolehkah aku memiliki jala rantai emasmu itu?” pinta Raja Riak Bakau. “Maafkan hamba Baginda! Bukannya hamba bermaksud mengecewakan hati Baginda. Hamba belum bisa memenuhi permintaan Baginda. Jala ini satu-satunya harta warisan hamba,” ungkap kakek itu. Mendengar jawaban itu, Raja Riak Bakau mulai kesal karena baru kali ada orang di negeri itu yang berani menolak permintaannya. “Hai, Kakek! Ketahuilah, akulah penguasa di negeri ini. Siapa pun yang memijak tanah negeri ini harus tunduk padaku. Jika tidak, maka tahu sendirilah akibatnya,” ancam Raja Riak Bakau. Kakek itu tidak takut terhadap ancaman itu. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyerahkan jala emasnya kepada Raja Riak Bakau. Sikap kakek itu membuat Raja Riak Bakau bertambah kesal. “Hai, Kakek! Serahkan jalamu itu sekarang juga atau aku sendiri yang akan mengambilnya!” seru Raja Riak Bakau.

13

“Silakan, jika Baginda sanggup mengangkatnya,” kata kakek itu. Raja Riak Bakau yang merasa diremehkan oleh kakek itu segera mengangkat jala rantai emas dengan segenap kekuatannya. Namun, jala itu tidak bergerak sedikit pun. Meskipun ia telah memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengangkatnya, jala itu tetap saja tidak bisa diangkat. Akhirnya, Raja Riak Bakau mengakui kesaktian kakek itu. Namun, Raja Riak Bakau tidak kehabisan akal. “Baiklah, Kek! Aku mengakui kesaktianmu. Tapi, bagaimana kalau kita mengadu ayam saja. Jika ayamku kalah, kamu boleh memiliki semua harta dan kekuasaanku. Tapi, jika ayammu kalah, jala rantai emas itu menjadi milikku,” tantang Raja Riak Bakau. Semula kakek itu menolak, namun karena terus didesak oleh Raja Riak Bakau akhirnya ia pun menerima tantangan itu. Akhirnya disepakati bahwa pertandingan sabung ayam akan dilaksanakan di depan istana tiga hari kemudian. Kabar tentang pertandingan sabung ayam itu tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Pada hari yang telah ditentukan, pertandingan sabung ayam segera dimulai dan disaksikan oleh seluruh rakyat Negeri Keramat Riak. Kakek misterius itu membawa seekor ayam aduan bertubuh kurus, sedangkan ayam aduan milik Raja Riak Bakau bertubuh besar dan gagah. Melihat ayam aduan kakek itu, Raja Riak Bakau merasa yakin akan memenangkan pertandingan tersebut. Begitu gong dibunyikan sebagai tanda pertandingan sabung ayam dimulai, Raja Riak Bakau dan kakek itu segera melepaskan ayam aduan mereka di arena pertarungan. Kedua ayam aduan itu pun langsung berhadap-hadapan dan selanjutnya bertarung. Ayam aduan Raja Riak Bakau langsung menyerang secara bertubi-tubi sehingga ayam aduan kakek itu harus melompat ke sana-kemari untuk menghindar dan sesekali jatuh terkena tendangan kaki ayam aduan Raja Riak Bakau. Setelah beberapa lama pertarungan itu berlangsung, ayam aduan Raja Riak Bakau mulai kelelahan. Kini, giliran ayam aduan kakek itu yang menyerang. Hanya sekali tendang, ayam aduan Raja Riak Bakau langsung jatuh dan tidak bisa melanjutkan pertarungan. Walaupun ayam aduannya kalah, Raja Riak Bakau tidak terima atas kekalahan itu karena tidak ingin kehilangan seluruh harta dan kekuasaannya. Akhirnya, ia menantang kakek itu untuk bertarung. Namun, kakek itu kembali menolak tantangan tersebut.

14

“Ampun, Baginda! Hamba tidak ingin bertarung karena itu tidak ada manfaatnya. Bagaimana kalau hasil pertandingan tadi kita anggap impas. Hamba tidak akan menuntut apapun dari Baginda, tapi izinkanlah hamba pergi membawa jala rantai emas hamba ini,” pinta kakek itu dengan kata-kata bijaksana. Raja Riak Bakau pun mengambulkan permintaan kakek itu. Sebelum pergi, kakek itu mampir shalat di paseba dan jalanya diletakkan di depan paseba. Rupanya, Raja Riak Bakau bersama pengawalnya membuntuti kakek itu secara diam-diam karena masih berninat untuk memiliki jala rantai emas itu. Ketika melihat kakek itu sedang khusyuk shalat, Raja Riak Bakau segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya lalu menusuk tubuh kakek itu dari belakang. Sungguh ajaib, walaupun dalam keadaan terluka parah, kakek itu masih dapat menyelesaikan shalatnya. Usai mengucapkan salam, kakek misterius itu segera mengambil lidi lalu ditancapkan di empat sudut paseban dan kemudian pergi meninggalkan negeri itu. Begitu kakek itu berlalu, beberapa prajurit berusaha mencabut lidi itu, namun tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya, terpaksa Raja Riak Bakau sendiri yang mencabutnya. Begitu lidi-lidi tersebut tercabut, air menyembur keluar dengan derasnya. Makin lama semburan air semakin deras sehingga dalam waktu sekejap air menggenangi seluruh negeri itu. Seluruh penduduk berusaha menyelamatkan diri. Ada yang berlari ke gunung, sedangkan Raja Riak Bakau beserta pengikutnya berusaha memanjat pohon yang tinggi agar tidak terkena luapan air yang hampir menenggelamkan seluruh negeri itu. Raja Riak Bakau beserta pengikutnya yang berada di atas pohon masih selamat. Namun, Tuhan terlanjur murka kepada mereka. Tiba-tiba, langit menjadi gelap. Beberapa saat kemudian, hujan deras turun disertai angin kencang. Raja Riak Bakau yang berada di atas pohon beserta pengikutnya terombang-ambing diterpa angin kencang. Pada saat itulah terdengar suara menggema dari balik awan. “Wahai, Raja Riak Bakau dan seluruh rakyat Keramat Biak! Kalian itu bergelantungan seperti kera saja!” demikian pesan dari suara misterius itu. Begitu suara itu hilang, tiba-tiba Raja Riak Bakau dan seluruh warganya yang selamat menjelma menjadi kera. Setelah itu, hujan deras kembali reda dan cuaca kembali cerah. Air pun mulai surut sehingga yang terlihat hanya kera-kera yang bergelantungan di atas pohon. Lama-kelamaan negeri itu menjadi hutan rimba dan dihuni oleh kawanan kera. Sementara itu, kakek yang misterius itu menghilang entah ke mana.

15

Beberapa tahun kemudian, beberapa awak kapal dari Cina mendarat di hutan lebat itu. Konon, mereka itu adalah pedagang yang pernah ditolong oleh si kakek misterius. Mereka datang untuk memenuhi pesan sang kakek agar dibuatkan makam di Keramat Riak. Mereka pun membuat sebuah makam yang cukup megah di daerah itu. Pada nisan makam itu tertulis Syekh Abdullatif, yaitu nama dari kakek misterius itu. Selanjutnya, makam itu dinamakan makam Keramat Riak.

16

RAJA EMPEDU Asal cerita : Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan

Pada zaman dahulu kala, Kecamatan Rawas Ulu yang merupakan wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, terbagi ke dalam tiga wilayah pemerintahan yaitu Hulu Sungai Nusa, Lesung Batu, dan Kampung Suku Kubu. Ketiga wilayah tersebut masing-masing diperintah oleh seorang raja. Negeri Hulu Sungai diperintah oleh Raja Empedu yang masih muda dan terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya. Rakyatnya hidup aman dan makmur karena pertanian di daerah itu maju dengan pesat. Sementara itu, Negeri Lesung

Batu diperintah oleh Pangeran Mas yang terkenal kaya raya dan mempunyai banyak ternak kerbau. Adapun Negeri Kampung Suku Kubu diperintah oleh Raja Kubu yang memiliki kesaktian yang tinggi. Negeri Kampung Kubu dikenal paling tertinggal dibanding dua negeri yang lain meskipun wilayahnya cukup subur. Suatu ketika, Pangeran Mas mengalami kesulitan memelihara ternaknya yang semakin hari semakin berkembangbiak. Oleh karenanya, ia berniat untuk menyerahkan sebagian ternaknya kepada siapa pun yang berminat memeliharanya dengan syarat kerbau-kerbau yang diserahkan tetap menjadi miliknya, hasil dari pengembangbiakan itulah nantinya akan dibagi bersama secara adil. Raja Kubu yang mendengar kabar tersebut sangat berminat untuk menerima tawaran Pangeran Mas. Ia segera mengirim utusannya ke Negeri Lesung Batu untuk menghadap Pangeran Mas. “Ampun, Tuan! Hamba adalah utusan Raja Kubu dari Negeri Kampung Suku Kubu. Kedatangan hamba kemari untuk menyampaikan keinginan Raja hamba yang berminat menerima tawaran Tuan dan bersedia menaati persyaratannya,” lapor utusan Raja Kubu.

17

“Baiklah, kalau begitu! Pulanglah dan sampaikan kepada Raja-mu bahwa aku menyetujui keinginannya. Besok aku akan mengirimkannya puluhan ekor kerbau. Sampaikan juga kepada Raja-mu bahwa jika kerbau-kerbau tersebut telah berkembangbiak, aku akan datang untuk mengambil pembagian hasilnya,” jelas Pangeran Mas. “Baik, Tuan! Pesan Tuan akan hamba sampaikan kepada Raja hamba,” kata utusan itu seraya mohon diri. Keesokan harinya, Pangeran Mas mengirim berpuluh-puluh ekor kerbau jantan dan betina kepada Raja Kubu. Raja Kubu pun menerimanya dengan senang hati. Ia memelihara dan merawat kerbau-kerbau tersebut dengan baik. Kerbau-kerbau tersebut ia gembalakan dan membiarkannya berkubang di sawah-sawah yang terhampar luas di daerahnya. Kerbau peliharaannya pun berkembangbiak dengan cepat dan hampir seluruh daerahnya telah menjadi kubangan kerbau. Sejak itu, negeri tersebut kemudian dikenal dengan nama Negeri Kubang dan Raja Kubu dipanggil Raja Kubang. Beberapa tahun kemudian, Pangeran Mas merasa bahwa tibalah saatnya untuk mengambil pembagian atas ternaknya yang dipelihara oleh Raja Kubang. Maka dikirimlah utusannya untuk menghadap Raja Kubang. Setibanya di sana, Raja Kubang mengikari janjinya dan menolak untuk berbagi hasil dengan Pangeran Mas. Bahkan, ia menganggap bahwa semua kerbau yang dipeliharanya adalah miliknya. “Hai, utusan! Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Raja Kubang. “Ampun, Tuan! Hamba diutus Raja Pangeran Mas kemari untuk menagih pembagian hasil dari ternak kerbau yang Tuan pelihara,” jawab utusan Raja Pangeran Mas. “Apa katamu, pembagian hasil? Tidak, semua kerbau tersebut sudah menjadi milikku karena akulah yang merawat dan mengembangbiakkannya,” kata Raja Kubang. “Tapi, Tuan! Bukankah hal itu sesuai dengan perjanjian yang telah Tuan sepakati bersama Raja Pangeran Mas?” ujar utusan itu. “Cuihhh… persetan dengan perjanjian itu! Perjanjian itu hanya berlaku pada waktu itu, tapi sekarang tidak lagi,” Raja Kubang menyangkal. Beberapa kali utusan Raja Pangeran Mas berusaha membujuk dan memberinya pengertian, namun Raja Kubang tetap mengingkari janjinya. Lama kelamaan Raja Kubang merasa muak dengan bujukan-bujukan itu. Ia

18

pun memerintahkan pengawalnya agar mengusir utusan itu. Akhirnya, utusan Raja Pangeran Mas pulang dengan tangan hampa. Mendengar laporan dari utusannya, Raja Pangeran Mas sangat marah atas sikap dan tindakan Raja Kubang. Penguasa Negeri Lesung Batu itu berniat untuk menyerang Raja Kubang, namun apa daya Raja Kubang terkenal sakti dan mempunyai banyak pengawal yang tangguh. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Raja Empedu. Berangkatlah ia bersama beberapa pengawalnya ke Negeri Hulu Sungai Nusa. Setibanya di sana, kedatangan mereka disambut baik oleh Raja Empedu. Raja Pangeran Mas kemudian mengutarakan maksud kedatangannya. Tanpa berpikir panjang, Raja Empedu pun menyatakan kesediaannya untuk membantu Pangeran Mas. “Baiklah, Pangeran Mas! Aku akan membantu mengembalikan kerbau-kerbaumu. Raja Kubang yang suka ingkar janji itu harus diberi pelajaran,” ujar Raja Empedu. “Tapi, bagaimana caranya Raja Empedu? Bukankah Raja Kubang itu sangat sakti?” tanya Pangeran Mas bingung. “Tenang Pangeran Mas! Kita perlu strategi untuk bisa mengalahkannya,” ujar Raja Empedu. Akhirnya, Raja Empedu bekerjasama dengan Pangeran Mas membangun strategi. Pertama-tama mereka membagi dua pasukan mereka. Pasukan pertama bertugas membuat hiruk pikuk seluruh rakyat Raja Kubang dengan mengadakan pertunjukan seni dan tari pedang di Negeri Kubang. Pasukan kedua bertugas untuk mengepung dan membakar seluruh pemukiman penduduk Negeri Kubang. Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah pasukan pertama ke Negeri Kubang untuk mengadakan pertunjukan. Mereka masuk wilayah negeri itu sambil membawakan lagu-lagu merdu dan tari-tarian pedang. Penduduk Negeri Kubang pun berbondong-bondong untuk menyaksikan pertunjukkan itu, tidak terkecuali Raja Kubang dan para pengawalnya. Pada saat itulah, pasukan kedua yang dipimpin oleh Raja Empedu dan Pangeran Mas segera memanfaatkan kesempatan untuk mengepung dan membakar seluruh permukiman warga. Para penduduk pun berlarian untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Raja Kubang baru menyadari bahwa mereka telah dikepung oleh pasukan dari dua kerajaan. Ia pun tak berdaya untuk melakukan perlawanan karena jumlah pasukan Raja Empedu dan Pangeran Mas jauh lebih banyak daripada pasukannya. Akhirnya, Raja Kubang menyerah dan mengembalikan seluruh kerbau yang ada di negerinya kepada Pangeran Mas.

19

Pangeran Mas dan Raja Empedu beserta seluruh pasukannya menggiring kerbau-kerbau tersebut menuju Negeri Lesung Batu. Betapa senangnya hati Pangeran Mas karena ternak kerbaunya dapat direbut kembali dari tangan Raja Kubang atas bantuan Raja Empedu. Sebagai ucapan terima kasih dan balas jasa, Pangeran Mas menyerahkan putri semata wayangnya yang bernama Putri Darah Putih kepada Raja Empedu untuk dijadikan permaisuri. Setelah menikah, Raja Empedu mengajak Putri Darah Putih tinggal di Negeri Hulu Sungai Nusa. Sejak itulah, Raja Pangeran Mas merasa kesepian dan selalu merindukan putrinya. Untuk melepas keriduannya, ia sering pergi ke Tebing Ajam, yaitu suatu tempat yang tinggi untuk meninjau dari kejauhan Negeri Hulu Sungai, tempat tinggal putrinya dan Raja Empedu. Hingga kini, tebing itu terkenal dengan nama Tebing Peninjauan.

20

LEGENDA BUKIT FAFINESU Asal cerita : Kabupaten Timor Tengah Utara,Nusa Tenggara Timur

Alkisah, di pedalaman Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, ada tiga orang anak yatim piatu. Mereka adalah Saku dan dua orang adiknya Abatan dan Seko. Ayah mereka meninggal dunia karena terguling ke jurang ketika sedang berburu babi hutan beberapa tahun yang lalu. Selang tujuh bulan kemudian, ibu mereka menyusul sang Ayah karena kehabisan darah ketika sedang melahirkan si Bungsu. Untungnya, nenek mereka masih hidup sehingga ada yang merawat Seko. Namun, ketika Seko berumur dua tahun, sang Nenek pun meninggal dunia karena dimakan usia.

Sejak itulah, ketiga anak yatim tersebut harus menghidupi diri mereka. Meskipun masih ada keluarga ibunya yang bersedia memelihara si Bungsu, namun lantaran memiliki rasa tanggung jawab, si Sulung mengambil alih peran orang tuanya untuk merawat dan mendidik kedua adiknya. Mereka ingin belajar hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. Waktu terus berjalan. Abatan tumbuh menjadi remaja yang rajin dan cerdas. Tanpa disuruh oleh kakaknya, ia rajin menanam jagung dan ketela di ladang. Ia juga rajin mencari kayu bakar dan memasak untuk kakak dan adiknya. Si Bungsu pun kini telah berumur lima tahun dan menjadi anak yang penurut. Ia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sungguh bahagia hati Saku melihat kedua adiknya tumbuh menjadi orang yang baik. Walaupun hidup miskin, mereka senantiasa rukun dan bahagia. Suatu malam yang sunyi, si Bungsu tidak bisa memejamkan matanya. Tiba-tiba hatinya diselimuti kerinduan yang mendalam terhadap kedua orang tuanya. Sejak bayi, ia tidak pernah merasakan sentuhan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ia pun bertanya kepada kakak sulungnya tentang keberadaan kedua orang tua mereka.

21

“Kaka Saku, ke manakah ayah dan ibu pergi? Kapan mereka akan pulang? Adik sangat merindukan mereka.” Wajar memang jika si Bungsu bertanya demikian karena kedua kakaknya tidak pernah menceritakan mengenai keberadaan kedua orang tuanya. Mereka tidak ingin melihat si Bungsu menjadi sedih lantaran mengetahui keberadaan kedua orang tua mereka. Untuk itulah, Saku pun berusaha menghibur adiknya. “Ayah dan ibu sedang pergi jauh, Adikku! Sebentar lagi mereka pulang membawa daging rusa yang lezat dan anak-anak babi,” kata Saku seraya mendongeng hingga si Bungsu tertidur pulas. Setelah itu, giliran Saku yang tidak bisa memejamkan mata. Ia sedih melihat adik bungsunya. Malam itu, langit di angkasa tampak cerah. Rembulan bersinar terang dan bintang-bintang pun berkelap-kelip. Saku mengambil serulingnya lalu berjalan menuju ke sebuah bukit tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Suara-suara binatang malam mengiringi perjalanannya hingga tiba di puncak bukit. Di atas bukit itu, Saku berdiri sambil memandang langit. “Ayah, Ibu! Kami sangat merindukan kalian. Mengapa begitu cepat kalian meninggalkan kami,” keluh Saku sambil mendesah. Tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya dan mengalir membasahi kedua pipinya. Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kemudian meniup serulingnya dan menyanyikan lagu kesukaannya. Ama ma aim honi Kios man ho an honi Nem nek han a amnaut Masi ho mu lo’o Au fe toit nek amanekat Masi hom naoben me au toit Ha ho mumaof kau ma hanik kau Artinya: Ayah dan Ibu Lihatlah anakmu yang datang Membawa setumpuk kerinduan Walau kamu jauh Aku butuh sentuhan kasihmu Walau kalian telah tiada, aku minta

22

Supaya Ayah dan Ibu melindungi dan memberi rezeki Saku menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Tanpa sepengetahuannya, ternyata ayah dan ibunya mendengar lagu yang indah itu. Roh kedua orang tuanya pun turun dari langit menuju ke bukit itu. Melalui angin malam, roh sang Ayah berkata kepada Saku. “Anakku, ayah dan ibumu mendengarkanmu. Kami mencintaimu. Meskipun kita berada di dunia yang berbeda, kita tetap dekat.” Seketika itu, Saku jadi terperangah. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara itu. Namun ia tahu kalau itu suara ayahnya. Selang beberapa saat kemudian, suara itu terdengar lagi. “Anakku, besok malam sebelum ayam berkokok, ajaklah adik-adikmu menemui ayah dan ibu kalian di tempat ini. Jangan lupa membawa seekor ayam jantan merah untuk dijadikan korban!” pesan suara gaib itu. Setelah suara itu lenyap, Saku bergegas kembali ke rumahnya dan tidur. Keesokan harinya, ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya semalam kepada adik-adiknya. Betapa gembiranya hati si Bungsu mendengar cerita itu. Ia tidak sabar lagi ingin bertemu dengan kedua orangtuanya yang selama ini dirindukannya. Pada saat tengah malam, Saku bersama kedua adiknya berangkat ke puncak bukit. Tidak lupa pula mereka membawa seekor ayam jantan merah pesanan kedua orangtua mereka. Tak berapa lama setelah mereka tiba di bukit itu, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Pepohonan meliuk-liuk dan dedaunan rontok pun beterbangan sehingga menimbulkan suara menderu-deru. Rambut dan pakaian ketiga anak itu melambai-lambai seolah-olah hendak diterbangkan angin. Begitu tiupan angin berhenti, tiba-tiba dua sosok bayangan berdiri di hadapan mereka. “Ayah, Ibu!” seru Saku saat melihat bayangan itu. Mengerti kedua bayangan itu adalah orangtuanya, si Bungsu segera mendekat ke salah satu bayangan itu dan memeluknya erat-erat. “Ibu, saya sangat merindukanmu,” kata si Bungsu. ‘Iya, Anakku! Kami juga sangat merindukan kalian. Ibu tidak pernah melupakanmu,” jawab sang Ibu.

23

Suasana di puncak bukit itu menjadi hening. Pertemuan seluruh anggota kelurga kecil itu membawa perasaan haru di hati mereka. Setelah mereka selesai melepaskan kerinduan, sang Ayah mengajak istri dan ketiga anaknya untuk ke dasar jurang. “Sekarang marilah kita turun ke jurang. Di sana kita akan mengorbankan ayam jantan merah yang kalian bawa dan kemudian mengambil dua ekor babi,” ujar sang Ayah. Setibanya di dasar jurang, Seko segera menyembelih ayam jantan itu. Tatkala darah ayam itu menyentuh bumi, tiba-tiba dua ekor babi gemuk muncul di tengah-tengah mereka. Betapa senangnya ketiga anak itu. Mereka segera mendekati kedua babi itu dan mengelus-elusnya. “Terima kasih, Ayah, Ibu,” ucap ketiga anak itu serentak. “Dengarlah wahai, anak-anakku! Peliharalah kedua babi itu baik-baik sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah mempertemukan kita di tempat ini,” ujar sang Ayah. Selang beberapa setelah sang Ayah berpesan, ayam jantan mulai berkokok. Cahaya kemerahan-merahan mulai tampak di ufuk timur pertanda pagi menjelang. Angin pun kembali berbertiup kencang. Pada saat yang bersamaan, bayangan kedua orang tua mereka tiba-tiba lenyap. Saku dan kedua adiknya segera menggiring kedua babi itu pulang ke gubuknya dengan perasaan gembira untuk dipelihara. Sejak itu, ketiga anak yatim piatu itu dan keturunannya menjadikan babi sebagai salah satu hewan peliharaan. Untuk mengenang peristiwa tersebut ketiga anak yatim tersebut menamai bukit itu dengan nama Bukit Fafinesu, yang berarti bukit babi gemuk. Hingga saat ini, Bukit Fafinesu masih dapat disaksikan di sebelah utara Kota Kefamenanu, Kabupaten Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.