71
.CERITA RAKYAT DAERAH CIANJUR Sasakala Talaga Warna (Kec. Pacet) Sinopsis Syahdan, dahulu Talaga Warna merupakan sebuah kerajaan yang bernama Prambonan. Rajanya memiliki putri bernama Mayangsari, yang terkenal sangat cantik. Karena kecantikannya itulah Mayangsari sangat terkenal ke segala penjuru dunia, sehingga banyak raja-raja yang hendak menjadikannya sebagai premeswari, tapi tak satupun lamaran dari raja-raja tersebut yang diterima. Salah seorang yang melamar adalah Prabu Manyir dari kerajaan Argabelah. Dia terkenal sebagai raja yang gagah, sakti, bengis dan alim. Lamaran Prabu Manyir disampaikan oleh patihnya, Aria Kalasusela. Sebelum lamarannya dari Prabu Manyir tiba, telah datang pula lamaran dari Raden Layung Kumendung, anak angkat dari Mahawiku Dewi Centringnmanik dari padepokan Buana Pancatengah. Lamaran layung Kumendung tidak disampaikan secara langsung, melainkan meminta bantuan dan mewakilkan kepada Patih Gajah Panambur dari kerajaan Batungampar (rajanya Dewi Gelanggading). Hal itudilakukan karena Layung Kumendung merasa dirinya tidak sederajat dan tidak seimbang dengan Dewi Meyangsari. Lamaran dari Layung Kumendung tidak diterima, dan ketika Patih Gajah Panambur

Cerita Rakyat Cianjur

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cerita Rakyat Cianjur

.CERITA RAKYAT DAERAH CIANJUR

Sasakala Talaga Warna (Kec. Pacet)

Sinopsis

Syahdan, dahulu Talaga Warna merupakan sebuah kerajaan yang bernama

Prambonan. Rajanya memiliki putri bernama Mayangsari, yang terkenal sangat cantik.

Karena kecantikannya itulah Mayangsari sangat terkenal ke segala penjuru dunia, sehingga

banyak raja-raja yang hendak menjadikannya sebagai premeswari, tapi tak satupun lamaran

dari raja-raja tersebut yang diterima.

Salah seorang yang melamar adalah Prabu Manyir dari kerajaan Argabelah. Dia

terkenal sebagai raja yang gagah, sakti, bengis dan alim. Lamaran Prabu Manyir

disampaikan oleh patihnya, Aria Kalasusela.

Sebelum lamarannya dari Prabu Manyir tiba, telah datang pula lamaran dari Raden

Layung Kumendung, anak angkat dari Mahawiku Dewi Centringnmanik dari padepokan

Buana Pancatengah. Lamaran layung Kumendung tidak disampaikan secara langsung,

melainkan meminta bantuan dan mewakilkan kepada Patih Gajah Panambur dari kerajaan

Batungampar (rajanya Dewi Gelanggading). Hal itudilakukan karena Layung

Kumendung merasa dirinya tidak sederajat dan tidak seimbang dengan Dewi Meyangsari.

Lamaran dari Layung Kumendung tidak diterima, dan ketika Patih Gajah Panambur

hendak undur diri dari Keraj aan Prambonan, datanglah Patih Kalasusela yang membawa

lamaran Prabu Manyir, lamarannya pun ditolak. Kalasusela merasa terhina dan murka,

karena dikira lamarannya ditolak disebabkan Putri Dewi Mayangsari telah menerima

lamaran dari Layung Kumendung. Akhirnya Patih Kalasusela bertarung dengan Patih Gaj

ah Panambur.

Melihat kej adian itu, Raja Prambonan melerai nyadengan bij aksana, lalu

mengumumkan sayembara bahwa siapapun akan diterima menjadi menantunya asal sanggup

membuat dua telaga “Talaga Waena” yang dikerjakan dalam semalam. Sayembara

tersebut disambut baik oleh kedua patih yang berseteru.

Page 2: Cerita Rakyat Cianjur

Untuk mewujudkan persyaratan tersebut, Dewi Centrikmanik memohon bantuan

kepada Raden Suryakencana, putra kajian Dewi Citrawati. Berkat bantuan Suryakencana,

pembuatan telaga kembar pun dapat dirampungkan. Bersamaan dengan selesainya pengerj

aan telaga tersebut, datanglah Prabu Manyir dengan patih dan rakyatnya, untuk memulai

pengerj aan pembuatan talaga.

Melihat pesaingnya telah selesai membuat telaga, Prabu Manyir berang, dan terj adi

lah peperangan sampai akhirnyaPatih Gaj ah Panambur dapat mengalahkannya.

Setelah perang usai, Raden Layung Kumendung datang lagi ke Prambonan untuk

mengukuhkan lamarannya, tapi alangkah terkejutnya Layung Kumendung karena ketika

tiba di kerajaan disodori persyaratan tambahan, yaitu harus membawa sebikul permata.

Melalui Patih Gajah Panambur, Layung Kumendung meminta bantuan lagi kepada Raden

Suryakencana, dan setelah permata tersebut tersedia, dia

berangkat lagi ke Prambonan untuk mempersenbahkan persyaratan tersebut. Akhirnya

lamarannya diterima.

Kerana sudah gagal melamar Dewi Mayangsari, Prabu Manyir berbalik arah melamar

Dewi Gelanggading, ratu Batungampar, tapi juga ditolak. Tidak kepalang murkanya Prabu

Manyir, kemudian kerajaan Batungampar diporakporandakannya berubah bentuk menjadi

gunung. Datang Gajah Panambur. Melihat negerinya hancur, Gajah Panambur menjadi

garam, kemudian Prabu Manyir ditangkap dan dilemparkannya pula, kemudian menjelama

menjadi sebuah gunung.

Setelah kedaan aman, Gajah Panambur pergi ke Buana Pancatengah untuk

menyaksikan pernikahan Layung Kumendung dengan Dewi Mayangsari. Tanpa diduga,

saat pernikahan berlangsung Dewi Mayangsari berbuat ulah, dia menghias setiap helai

rambutnya dengan permata. Kemudian raja menasehatinya, karena disamping jelek juga

memperlihatkan keserakahan, tapi Dewi Mayangsari bukannya menerima teguran dari

ayahnya tersebut, melainkan malah marah dan melempari wajah ayahnya dengan bakul

tempat permata tersebut.

Page 3: Cerita Rakyat Cianjur

Sontak kejadian tersebut itu membuat raja marah, kemudian raja berdiri dari tempat

duduknya keluarlah air memancur. Alangkah kecewanya pula Dewi Centringmanik

yang menyaksikan kejadian tersebut, dan tanpa disadari dari mulutnya keluar kutukan

bahwa kerajaan Prambonan akan berubah menjadi telaga yang airnya berkilauan seperti

permata.

Setelah itu, Dewi Centringmanik, Patih Gajah Panambur, dan Raden Layung

Kumendung kembali ke pertapaan. Layung Kumendung kemudian dikenal dengan

nama Eyang Nagasari . Sepeninggal mereka keraj aan Prambonan berubah menj adi telaga

yang sekarang disebut “Talaga Warna”.

Alur/Plot

Alur cerita Sasakala Talaga Warna dapat diskemakan sebagai berikut : Maharaja

Prambonan mempunyai seorang putri yang sangat cantik, Dewi Mayangsari. Banyak

raja-raja yang hendak menj adikannya sebagai prameswari . Dewi Mayangsari selalu

menolak. Datang lamaran dari Raden Layung Kumendung. Dewi Mayangsari j uga menolak.

Kemudian datang pula lamaran dari Prabu Manyir, juga ditolak. Terjadi pertarungan antara

utusan Layung Kumendung dengan utusan Prabu Manyir. Raja Prambonan mengadakan

sayembara (pemenangnya berhak mempersunting Dewi Mayangsari). Pemenangnya

Layung Kumendung. Dewi Mayang sari mengajukan persyaratan tambahan (sebakul

permata). Layung Kumendung dapat memenuhinya. Saat pernikahan berlangsung, Dewi

Mayangsari menghias setiap helai rambutnya dengan permata. Raja melarangnya. Dewi

Mayangsari marah dan melempari raja dengan bakul tempat permata. Raja murka. Dewi

Centringmanik mengutuknya. Layung Kumendung, Dewi Centringmanik, dan Gj ah

Panambur kembali ke pertapaan. Keraj aan Prambonan menj adi telaga.

Adapun peristiwa yang dialami Dewi Mayangsari adalah sebagai berikut : - Dewi

Mayangsari selalu menolak lamaran raja-raja – datang lamaran dari Raden Layung

Kumendung – ditolak – datang pula lamaran dari Prabu Manyir – juga ditolak – raja

mengadakan sayembara – pemenangnya Layung Kumendung – Dewi Mayangsari menghiasi

Page 4: Cerita Rakyat Cianjur

tiap helai rambutnya dengan permata – raja melarangnya –Dewi Mayangsari melempari

raja dengan bakul tempat permata – raja murka – ti mbul kutukan dari Dewi

Centringmanik – pernikahan tidak terj adi .

Layung Kumendung dapat melewati beberapa rintangan dalam hidupnya. Peristiwa

yang dialaminya adalah sebagai berikut : -- Layung Kumendung merindukan Dewi

Mayangsari – Mahawiku Dewi Centringmanik bingung karena Layung Kumendung

tidak sederajat dengan Dewi Mayangsari – Dewi Centringmanik maminta bantuan

Eyang Uj a – Eyang Uj a memohon pertolongan Pati h Gaj ah Mada Panambur dari keraj

aan Batu Ngampar – Gaj ah Panambur menyampaikan lamaran Layung Kumendung –

Lamaran ditolak – Gajah Panambur bertarung dengan Patih Aria menang – Layung

Kumendung diberi syarat tambahan (sebakul permata) – Layung Kumendung berhasil

memenuhinya – Dewi Mayangsari menghias tiap helai rambutnya dengan permata –

Raja Prambonan murka – Dewi Centringmanik mengutuknya – Layung Kumendung,

Dewi Centringmanik, dan Gaj ah Panambur kembali ke pertapaan – Keraj aan Prambonan

menj adi telaga – pernikahan tidak terj adi .

Pertalian antar bagian-bagian alur tersebut merupakan hubungan sebab-akibat, sebagai

penanda hubugan yang logis, yang juga disertai dengan permainan aksioma, yaitu bahwa

perilaku tidak tepuj i dan serakah akan mendatangkan bahaya dan keburukan. Hal

tersebut muncul terutama disebabkan oleh prilaku Dewi Mayangsari yang menghias

rambutnya gengan permata, serta tidak menerima nasehat ayahnya, malah melempari waj

ah ayahnya dengan bakul permata. Kej adian tersebut telah meni mbulkan kekecewaan

Mahawiku Dewi Centringmanik, sehingga tanpa disadarinya keluarlah kutukan untuk Keraj

aan Prambonan.

Pelaku/Penokohan

Pelaku pada Sasakala TalagaWarna terdiri atas :

1. Raja Prambonan (tidak disebutkan namanya), seorang yang arif dan bijaksana.

2. Dewi Mayangsari, putri raja Prambonan, sangat cantik, jelek perangainya.

3. Layung Kumendung, anak angkat Mahawiku Dewi Centringmanik.

Page 5: Cerita Rakyat Cianjur

4. Dewi Centringmanik, seorang mahawiku, seorang pertapa yang sakti di Buana

Pancatengah.

5. Eyang Uja, seorang maharesi yang sering dimintai pertolongannya.

6. Dewi Gelanggading, raja Batungampar.

7. Gajah Panambur, patih kerajaan Batunagmpar, seorang panglima perang yang sangat

digjaya.

8. Raden Suryakencana, putra Dewi Citrawati dari negara Kajinan, sangat sakti dan

sering dimintai pertolongan.

9. Dewi Citrawati, ibunda Raden Suryakencana dari negara jin.

10.Prabu Manyir, raja Argabelah, seorang yang gagah, berani, sakti, bengis dan lalim.

11. Aria Kalasusela, patih Kerajaan Argabelah, seorang yang sakti dan bengis.

Berdasarkan peranannya dalam struktur alur, pelaku utama dalam Sasakala Talaga

Warna adalah Layung Kumendung dan Dewi Mayangsari. Kedua pelaku itulah yang

terlibat dalam pokok peristiwa cerita. Pelaku-pelaku lainnya berperan sebagai pelaku

tambahan atau pembantu.

Adapun berdasarkan wataknya, Layung Kumendung sebagai tokoh yang memiliki

tabiat baik, merupakan tokoh protagonis, sedangkan Prabu Manyir dan Patih Aria

Kalasusela sebagai lawannya, merupakan tokoh antagonis.

Latar/Setting

Kejadian dalam cerita ini berlatarkan beberapa tempat, yaitu :

1. Prambonan, kerajaan yang dikutuk oleh Dewi Centringmanik menjadi telaga.

2. Buana Pancatengah, padepokan tempat belajar dan betapa Raden Layung

Kumendung dan Mahawiku Dewi Centringmanik.

3. Argabelah, kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Manyir dan patihnya Aria

Kalasusela.

4. Batungampar, kerajaan yang dipimpin oleh Dewi Gelanggading dan patinya Gajah

Panabur.

5. Kerajaan jin, tempat Raden Suryakencana dan Dewi Citrawati.

Page 6: Cerita Rakyat Cianjur

6. Hutan, tempat bertempur antara Gajah Panambur dengan Aria Kalasusela.

7. Talaga (talaga warna), penjelmaan dari kerajaan Prambonan yang dikutuk.

Penyebutan nama tempat tersebut tidak disertai dengan gambaran atau deskripsi

konkret tentang keadaan (situasi), serta tidak pula digambarkan suasana saat peristiwa

cerita berlangsung. Demikian juga latar waktu, tidak disebutkan sama sekali dan tidak tertera

sepanjang jalinan cerita.

Tema dan Amanat

Tema yang tersirat dalam legenda ini adalah percintaan atau asmara yang

terbingkai dalam struktur kekuasaan. Bagi seorang putra non-kerajaan atau

masyarakat umum, bukan hal yang mudah untuk memilih pasangan hidup atau jatuh cinta

kepada seorang putri raja, karena tidak sederajat. Hal ini dialami oleh Layung Kumendung,

yang terpaksa meminta bantuan Patih Gajah Panambur dari kerajaan Batungampar untuk

menyampaikan lamarannya kepada Dewi Mayangsari, putri kerajaan Prambonan. Dalam

hal ini, putri raja jodohnya adalah putra raja, atau malah sekalian raja. Hal yang sering

muncul dalam cerita-cerita klasik, yaitu diselenggarakannya sayembara untuk menentukan

pendamping putri raja jika pelamrnya banyak. Sayembara ini pun beragam jenisnya,

mulai dari kesanggupan membuat membuat atau mengadakan sesuatu, danau atau gunung

misalnya, atau ajimat dan erhiasan tertentu, sampai duel maut dalam sebuah pertarungan.

Ini pun terjadi dalam cerita Talaga Warna. Tentu saja yang berhak bersanding dengan

putri raja adalah pemenangnya, yaitu sang hero. Tema lainnya yang menjiwai cerita ini

adalah tema moral, yang juga sekaligus sebagai amanat cerita. Amanat seperti ini pun kerap

dijumpai dalam ksah-kisah klasik: bahwa yangjujur dan baik akan selamat serta

mendapatkan kebahagaiaan, serta yang perilakunya menyimpang dan nista, akan

mengalami penderitaan dan siksaan. Hal tersebut di antaranya dialami oleh Dewi

Mayangsari yang dikutuk oleh Dewi Centringmanik setelah melempar ayahnya dengan

bakul permata.Cerita ini mengandung nilai kemasyarakatan (di samping legenda sebagai

salah satu genre sastra), yaitu penggambaran strata sosial yang dilestarikan dalam

perjodohan. Hal tersebut pernah dianut oleh sebagian masyarakat pada masa lampau,

Page 7: Cerita Rakyat Cianjur

seperti tergambar dalam ungkapan : emas jeung emas, perak jeung perak,

tambaga jeung tambaga, artinya harus sebanding dan sederajat dan sederajat, orang kaya

jodohnya dengan orang kaya, ningrat dengan ningrat, dan dalam cerita ini anak raja

harus dengan anak raja.

Nilai sosial atau kemasyarakatan yang tergambar dalam konteks tersebut juga

digradasikan dengan nilai moral yang disimbolkan melalui prilaku dan watak tokohnya

yang menyimpang seperti disebutkan diatas.

Sasakala Batununggal (Desa Cihea)

Sinopsis

Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Tumenggung

Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya beristirahat di sebuah hutan yang dikenal angker,

dengan disertai dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti. Saking lelahnya kedua

Tumenggung tersebut tertidur pulas di atas batu. Ketika itu, terjadi hujan deras dan

menimbulkan banjir besar, tapi karena sangat kelelahan, mereka terus lelap. Di tengah

malam, kedua pengawalnya terbangun, alangkah mereka terkejutnya ketika menyaksikan

junjungannya sudah tidak ada di tempat. Kemudia mereka berteriak-berteriak dan menangis.

Sementara itu, kedua tumenggung sama sekali tidak menyadari bahwa mereka telah

terbawa banjir, dan ketika terbangun, keduanya merasa heran karena sudah berada di

bawah pohon pinang di atas parung. Setelah mengamati daerah sekelilingnya,

barulah mereka menyadari bahwa dirinya telah terbawa air bah. Mereka dapat selamat

karena keduanya memiliki ilmu Kleneng Putih.

Ketika mereka tertidur lelap, keduanya bermimpi didatangi seorang lelaki bertubuh

tinggi besar dan berjanggut. Lelaki itu berkata bahwa mereka harus kembali ke tempat

semula. Kedua bersaudara itu dinasehati bahwa bila di perjalanan menemukan

sebuah jejak besar, agar diikuti, dan jika jejak tersebut berakhir di jalan buntu, akan

menemukan sebuah benda (pusaka) yang sangat berguna bagi raja. Barang tersebut dapat

menyebabkan sangat dicintai oleh raja. Setelah menyampaikan petuahnya, lelaki tua itu

menghilang kembali.

Page 8: Cerita Rakyat Cianjur

Setelah peristiwa itu, batu besar tempat Tumenggung Nampabaya dan

Tumenggung Lirbaya tertidur disebut Batununggal oleh masyarakat Cihea, lokasinya

berada di kecamatan Bojongpicung.

Alur/Plot

Alur pada Sasakala Batununggal dapat diskemakan sebagai berikut :

Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya dengan disertai dua orang

pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti, menempuh perjalanan panjang yang sangat

melelahkan. Keduanya beristirahat di hutan dan tertidur di atas sebuah batu. Dating hujan dan

banjir besar. Kedua Tumenggung tersebut hanyut terbawa banjir. Dalam tidurnya mereka

bermimpi bertemu seorang lelaki. Lelaki itu menasehati agar kedua Tumenggung tersebut

kembali, dan jika menemukan sebuah jejak yang besar harus diikuti karena jejak tersebut

merupakan petunjuk tentang sebuah benda (pusaka) yang sangat berguna bagi raja.

Lelaki tersebut kemudian menghilang kembali. Sejak peristiwa itu, batu besar tempat

Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya tertidur disebut Batununggal.

Laju alur dalam legenda ini sangat linear sehingga mudah untuk diikuti serta tidak

menimbulkan banyak tafsir. Di samping itu, alur yang digunakan pun merupakan alur

tunggal, yang tidak memiliki persimpangn atau anak alur lainnya. Hal tersebut dapat

menunjukan bahwa legenda ini sebenarnya merupakan fragmen dari keseluruhan cerita

yang mengisahkan Tumenggung Nampabaya dan Lirbaya (bandingakan dengan Sasakala

Pasir Asahan), artinya cerita ini hanya merupakan sebagian kisaha yang menceritakan

kejadian yang dialami oleh kedua tokoh tersebut, dengan berlatar di sekitar atau

meliputi terjadinya penamaan daerah Batununggal.

Pelaku/Penokohan

Pelaku pada legenda Batununggal terdiri atas :

1. Nampabaya, seorang tumenggung

2. Lirbaya, seorang tumenggung

Page 9: Cerita Rakyat Cianjur

3. Nayakerta, seorang pengawal

4. Nayakerti, seorang pengawal

5. Lelaki tua, tinggi besar dan berjanggut, merupakan sosok yang hadir dan memberi

nasehat dalam mimpi Nampabaya dan Lirbaya.

6. Tokoh sentral dalam cerita ini adalah Nampabaya dan Lirbaya. Kedua tokoh tersebut

merupakan pusat pengisahan sehingga apapun yang dilakukannya termasuk bekas

tempat tidur mereka (batu) menjadi monumental. Adapun Nayakerta, Nayakerti, dan

lelaki tua, merupakan tokoh pembantu atau tokoh tambahan.

Latar/Setting

Latar atau tempat kejadian dalam cerita ini yaitu di hutan, tempat beristirahat dan

tertidurnya Nampabaya dan Lirbaya. Tempat lain yang terasa yaitu sebuah area yang disebut

parung, yang ada pohon pinangnya, ketika kedua tumenggung tersebut terjaga kembali dari

tidurnya setelah terbawa dan dihanyutkan banjir.

Tidak ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, hanya suasana yang jelas

tergambar sepanjang cerita, misalnya ketika dua pengawal (Nayakerta dan

Nayakerti) kehilangan tuannya; tergambar sangat pilu, bahkan menangis dan berteriak-

teriak. Suasana lain juga tampak ketika Nampabaya dan Lirbaya dinasehati oleh

seorang lelaki tua dalam mimpinya. Kedua tumenggung tersebut sangat khidmat

menyimak petuah lelaki tua tersebut.

Tema dan Amanat

Tema dalam cerita ini adalah kepatuhan dalam menjalankan tugas yang dikemas

dalam bingkai petualangan atau ekspedisi. Pengemban tugas dan petualang dalam kisah ini

yaitu Nampabaya dan Lirbaya yang secara bertanggung jawab menjalankan tugasnya

sampai suatu hari sangat kelelahan dan beristirahat di sebuah hutan, bukan hanya kepada

kepada raja, kepatuhan kedua tumenggung ini pun tampak ketika dinasehati oleh lelaki

tua dalam mimpinya, yaitu agar segera kembali ke tempat semula, serta jika dalam

perjalanan kembali tersebut mendapatkan sebuah benda pusaka, maka serahkanlah kepada

Page 10: Cerita Rakyat Cianjur

raja, niscaya akan semakin disayang oleh raja. Tampak sekali bahwa kedua tumenggung

itu sangat setuju terhadap nasehat

lelaki tua itu, dan sedikitpun tidak tersirat bahwa mereka akan melanggarnya, termasuk

menyerahkan benda (pusaka) kepada raja jika menemukannya.

Kepatuhan inilah, di samping sebagai tema, juga amanat yang dikndung dalam cerita ini,

bahkan sekaligus merupkan nilai, yaitu nilai etis yang harus dilakukan oleh setiap

pengemban amanah atau tugas. Selain tema, amanat, atau nilai yang terkandung secara

implicit, cerita ini merupakan kisah tentang penamaan suatu tempat yang dalam genre

sastra disebut lagenda. Oleh karma itu, cerita ini dari segi bentuknya memiliki nilai sastra,

walaupun dari segi teknik membangun konflik dan suasana cerita tidak begitu unggul bahkan

mungkin sangat lemah, sehingga secdara keseluruhan nilai sastranya memang tidak cukup

baik.

Sasakala Pasir Asahan (Desa Cihea)

Sinopsis

Nampabaya dan Lirbaya serta dua orang pengawalnya, Nayakerta dan Nayakerti,

sempat mengambil beberapa sarang burung wallet dalam melanjutkan perjalanan

panjangnya untuk menyusuri jalan yang dianjurkan oleh lelaki tua dalam mimpinya, menuju

arah selatan.

Sesampainya di daerah perbukitan, tepat di jalan buntu seperti yang

diamanatkan lelaki tua dalam mimpinya tersebut, mereka menemukan bebatuan yang

bentuknya bermacam-macam, di antaranya ada yang menyerupai batu asahan. Kemudian

Nampabaya dan Lirbaya mengambil satu yang paling besar, lalu dipatahkannya. Begitu

terpotong, tampak di dalamnya terdapat sebuah permata. Permata itu kemudian dipakai

untuk mengasah pedang Nayakerta. Setelah diasah,

oleh Nampabaya pedang tersebut dicobatebaskan ke paha Nayakerti, dan ternyata Nayakerti

terluka hingga mengeluarkan banyak darah. Segeralah Nampabaya mengusap paha

Nayakerti. Sekejap itu pula luka Nayakerti sembuh kembali.

Page 11: Cerita Rakyat Cianjur

Atas peristiwa itu, mereka menjadi was-was, sebab sebelumnya mereka terkenal,

terutama di Mataram, sebagai orang sakti yang tidak mempan senjata tajam, tapi

sekarang kenyataannnya lain, setelah pedannya diasah dengan batu permata. Kemudian

Nampabaya mengambil dan membawa pulang beberapa batu asahan dan menyuruh agar

yang lainnya dibuang ke curug (air terjun) Cihea. Setelah itu mereka segera kembali

ke Mataram untuk menyerahkan barang temuannya tersebut.

Alangkah senangnya Sultan Agung ketika menerima persembahan tersebut, dan

sebagai penghargaan atas pengabdian kedua tumenggung itu, Sultan

menganugrahkan kekuasaan kepada Nampabaya sebagai Dalem Cihea, sedangkan Lirbaya

diangkat menjadi patihnya. Mereka pun dilengkapi dengan pakaian kebesaran,

gamelan, senjata pusaka, perlengkapan rumah tangga, serta bebrapa pengawal dan

pasukannya.

Kini, tempat ditemukannya batui berbentuk asahan tersebut oleh masyarakat

sekitarnya dinamakan Pasir Asahan, terletak di Desa Kemang. Sebagian

masyarakat beranggapan bahwa tempat tersebut keramat, serta dipercaya pula bahwa

bebatuannya memiliki banyak khasiat.

Alur/Plot

Alur cerita SasakalaPasir Asahan dapat diskemakan sebagai berikut :

Nampabaya, Lirbaya, Nayakerta, dan Nayakerti melanjutkan perjalanan. Di jalan buntu

menemukan bebatuan yang bentuknya menyerupai batu asahan. Nampabaya dan Lirbaya

mengambil satu dan mematahkannya. Di dalam patahan batu tersebut terdapat permata.

Pedang Nayakerta diasah dengan permata. Pedang ditebaskan ke paha Nayakerti. Nayakerti

terluka dan mengeluarkan banyak darah. Nampabaya mengusap paha Nayakerti. Sekejap

luka Nayakerti sembuh kembali.

Nampabaya, Lirbaya Nayakerta, Nayakerti dikenal sebagai orang yang tak mempan

senjata tajam. Setelah pedang diasah dengan batu permata, jadi tembus. Meraka was-was.

Nampabaya mengambil dan membawa pulang beberapa batu asahan. Nampabaya

Page 12: Cerita Rakyat Cianjur

menyuruh membuang batu asahan sisanya ke curug (air terjun) Cihea. Mereka segera kembali

ke Mataram untuk menyerahkan barang temuannya tersebut. Sultan Agung senang

menerima persembahan itu. Nampaknya diangkat menjadi Dalem Cihea. Tempat

ditemukannya batu berbentuk asahan dinamakan Pasir Asahan.

Alur dalam legenda ini hampir mirip dengan alur pada cerita Sasakala

Batununggal (SB). Selain datar, juga tidak ada gejolak yang menimbulkan kejutan cerita,

walaupun memang ada beberapa peristiwa luar biasa atau ajaib, di antaranya ketika

Nayakerti ditebas pahanya dan terluka, kemudian luka itu diusap oleh Nampabaya serta

seketika itu sembuh kembalai, tapi penyajian peristiwa itu dinarasikan secara verbal

sekali, sehingga tidak ada teknik maupun segi intrisik cerita yang disampaikan melalui

kepekatan ikonisitas. Bisa jadi, keseluruhan pengaluran dalam cerita ini tidak jauh

berbeda dengan SB karena memang kisah ini

merupakan kelanjutan, sehingga semestinya secara keseluruhan merupakan satu cerita,

karena baik tokoh maupun jalinan peristiwanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi

karena cerita ini penyebarannya secara lisan, maka terjadi pemenggalan

pengisahannya, sesuai dengan latar tempat yang dikisahkannya.

Pelaku/Penokohan

Pelaku pada Sasakala Pasir Asahan terdiri atas:

1. Nampabaya, seorang tumenggung

2. Lirbaya, seorang tumenggung

3. Nayakerta, seorang pengawal

4. Nayakerti, seorang pengawal

5. Lelaki tua, tinggi besar dan berjanggut,k merupakan sosok yang hadir dan memberi

nasehat dalam mimpi Nampabaya dan Lirbaya.

6. Sultan Agung, Raja Mataram.

Page 13: Cerita Rakyat Cianjur

Latar/Setting

Beberapa nama tempat yang disebutkan dan menjadi latar dalam cerita ini, antara

lain:

1. Cihea, yaitu sebuah wilayah kadeleman yang dipimpin oleh Nampabaya.

2. Curug Cihea, adalah sebuah air terjun yang terletak di Cihea, tempat dibuangnya

sebagian batu yang menyerupai asahan.

3. Mataram, nama sebuah kerajaan di Jawa, yang kerap menarik upeti dari kerajaan-

kerajaan kecil atau kedaleman.

4. Perbukitan, sebuah kawasan yang dilalui oleh rombongan Nampabaya dan kawan-

kawan.

5. Arah selatan, yaitu arah yang harus ditempuh oleh Nampabaya dan kawankawan

dalam meneruskan perjalannnya sesuai petunjuk lelaki tua dalam mimpinya.

6. Jalan buntu, sebuah jalan sebagai tanda atau tempat ditemukannya jenis bebatuan

yang menyerupai asahan serta di dalamnya mengandung batu permata.

Tidak ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, tetapi gambaran suasana cerita

sangat jelas kentara, misalanya kegembiraan Nampabaya dan kawan-kawan ketika

menemukan bebatuan seperti yang disebutkan oleh lelaki tua dalam mimpinya. Begitu

pun kegembiraan raja Mataram ketika menerima persembahan dari Nampabaya, yaitu

batu hasil penemuan tersebut. Tergambar pula bagaimana was-wasnya perasaan

Nampabaya dan kawan-kawan ketika mengetahui bahwa permata yang terdapat dalam

batu tersebut jika dipakai untuk mengasah pedang, maka pedang tersebut akan dapat

menembus tubuh mereka, padahal selama ini mereka, khususnya di Mataram, sangat

dikenal tidak mempan senjata tajam.

Keseluruhan suasana cerita tersebut menyatu dalam jalinan peristiwa yang intern

serta sekaligus menimbulkan multi tafsir, misalnya kegembiraan raja Mataram ketika

menerima persenbahan bebatuan (batu asahan), tampak gembira. Hal tersebut dapaty

ditafsirkan karena memang merasa bahagia memiliki bawahan yang taat dan patuh, atau bisa

pula karena dia mengetahui bahwa jika batu tersebut dipatahkan, di dalamnya terdapat batu

Page 14: Cerita Rakyat Cianjur

permata yang dapat dipakai untuk mengasah

pedang, serta jika pedang telah diasah dengan batu permata tersebut, maka pedang itu

dapat menembus menembus tubuh Nampabaya dan Kawan-kawan, yang selama ini dikenal

kebal senjata tajam. Demikian juga tindakan Nampabaya dan kawankawan yang

menyerahkan batu temuannya tersebut kepada raja Mataram, dapat ditafsirkan beragam.

Bisa jadi satu sisi hal tersebut menunjukan sikap ketaatan dan kepatuhan Nampabaya dan

Kawan-kawan dalam menjalankan tugas, tapi dapat pula berarti bahwa mereka sangat

konyol dan sembrono, karena mereka sudah mengetahui bahwa batu (permata) tersebut

dapat menyebabkan kekebalan mereka hilang, tetapi tetap saja batu tersebut

dipersembahkan kepada Sultan Agung Mataram, yang jika suatu saat terjadi konflik antar

mereka, akan mudah Nampabaya dan kawan-kawan ditangani dan terkalahkan.

Tema dan Amanat

Tema yang termaktub dalam cerita ini adalah tentang pengabdian dan kepatuhan

dala menjalankan tugas, yang dimajemukan dengan kisah petualangan atau ekspedisi.

Adalah Nampabaya dan Lirbaya serta dua orang pengawalnya, yang secara terus-menerus

melakukan pencarian terhadap barang (benda) pusaka. Ternyata barang bertuah

tersebut diiperolehnya di sebuah jalan buntu dekat perbukitan. Hal itu bisa

didapatkannya berdasarkan petunjuk seorang lelaki tua dalam mimpinya.

Benda yang dicari-cari, dan ternyata (sebenarnya), membahayakan dirinya karena

dapat menghilangkan kekebalan terhadap senjata tajam, mereka serahkan kepada Sulata

Agung Mataram. Tentu saja Sultan Agung sangat senang dan gembira, karena

mungkin dia merasa mempunyai bawahan yang sangat taat dan

patuh terhadap segala perintahnya, atau bisa juga dia senang karena disamping

persembahan tersebut sebagai pertanda kepatuhan, juga kasiat benda itu yang dapat digunakan

untuk mengatasi sekaligus mencari titik lemah Nampabaya dan kawankawan.

Ketaatan dan kepatuhan inilah, amanat yang tersirat dari kisah ini, apalagi biarpun

hatinya was-was, Nampabaya dan kawan-kawan tetap saja dengan tulus dan tanpa

berprasangka buruk menyerahkan barang temuannya tersebut. Hal itulah yang menunjukan

Page 15: Cerita Rakyat Cianjur

bahwa mereka memang benar-benar loyal dan penuh dedikasi dalam mengemban sebuah

misi.

Eyang Saparantu (Kp. Saparantu Ds. Kademangan)

Sinopsis

Di Cibalagung ada sebuah kadaleman yang disebut Kadaleman Cikadu, dipimpin

oleh R.A. Natamanggala I. dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga

disayangi rakyatnya.

Di daerah lain, di wilayah Cirebon, hidup seorang pemuda berbadan tegap, tampan,

gagah, dan sakti, bernama Longgar jaya./ pada suatu hari terbesit dalam pikiran Longgar

Jaya untuk mengembara guna menambah ilmunya.

Bertahun-tahun ia mengembara, hingga suatu hari tiba di sebuah hutan, dan

dilihatnya ada sebuah gua, kemudian ia masak dan bersemedi di situ. Setelah

berhari-hari bersemedi, pada suatu malam, ia didatangi seorang kakek berpakaian putih-

putih dan berjanggut panjang. Kakek tersebut berpesan agar Longgar jaya segera

menghentikan pengembaraannya untuk kemudian mengabdi pada Negara dan

mengamalkan ilmunya. Ia disuruh pergi kea rah barat, di sana ia akan menemukan

sebuah kadaleman. Ketika Longngar Jaya membuka matanya, di hadapannya telah ada

sebuah tongakat. Dengan berbekal tongkat itulah, Longgar Jaya berangkat menuju arah

yang ditunjukan oleh si kakek tersebut. Kelak, ia sampai di sebuah kadaleman, kemudian

ia mengabdikan diri di situ.

Longgar Jaya terbilang seorang yang jujur dan cakap serta sakti, oleh sebab itu ia

diangkat menjadi pengikut R.A. Natamanggala I. Di akhir hayatnya, Longgar Jaya

mengubah namanya menjadi Eyang Saparantu. Kata saparantu berasal dari kata

samporang dan ratu, artinya tempat melakukan musyawarah.

Eyang Saparantu kemudian menancapkan tongkatnya hingga tumbuh menjadi pohon

besar dan berbuah, serta buahnya berkhasiat dan sangat ajaib. Kata saparantu kemudian

diabadikan menjadi nama sebuah wilayah, yaitu Kampung Saparantu, serta menjadi nama

sebuah pohon, yaitu pohon Saparantu.

Page 16: Cerita Rakyat Cianjur

Alur/Plot

Alur dalam cerita ini dapat diskemakan sebagai berikut. R.A. Natamanggala I. dalem

Cikadu, terkenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, sehingga disayangi

rakyatnya. Di daerah, ada seorang pemuda bernama Longgar jaya. Ia bertekad untuk

mengembara guna menambah ilmunya. Dalam pengembaraannya ia bersemedi di sebuah gua.

Dalam persemediaannya Longgar Jaya didatangi seorang

kakek berpakaian putih-putih dan berj anggut panj ang. Longgar Jaya disuruh segera

menghentikan pengembaraannya untuk kemudian mengabdi kepada Negara dan

mengamalkan ilmunya. Kakek tersebut meninggalkan sebuah tongkat untuk Longgar

Jaya.Longgar Jaya menempuh perjalanan hingga sampai di kadaleman Cikadu. Ia

mengabdikan diri di situ. Ia diangkat menj adi pengikut Natamanggala I karena dianggap

cakap dan j uj ur. Di akhir hayatnya Longgar Jaya berganti nama menj adi Eyang Saparantu.

Nama tersebut diabadikan menj adi nama sebuah daerah, yaitu Kampung Saparantu, dan

nama sebuah pohon, yaitu pohon Saparantu.

Adapun peristiwa yang dialami oleh Longgar Jaya, yaitu : -- ia berniat untuk

mengambara – ia bersemedi di sebuah gua – mendapatkan petunj uk – melakukan perj

alanan kembalai – tiba di Kabupaten Cikadu – ia mengabdikan diri dan diangkat menj adi

pengikut Natamanggala I – Longgar Jaya berganti nama menj adi Eyang Saparantu – nama

tersebut diabadikan menj adi nama sebuah daerah dan nama pepohonan.

Pelaku/Penokohan

Pelaku dalam cerita ini terdiri atas :

1. Natamanggala I, Dalem Cikadu yang terkenal arif dan bijaksana.

2. Longgar Jaya, seorang yang j uj ur dan cakap serta gemar mencari ilmu dan semedi ,

pada akhirnya sempat berganti nama menj adi Eyang Saparantu.

3. Kakek, berpakaian putih-putih dan berj anggut panj ang, merupakan sosok yang

hadir dalam mimpi Longgar j aya ketika sedang bersemedi di sebuah gua.

Tokoh utama yang menjadi pusat pengisahan pada cerita ini adalah Lomgar Jaya.

Page 17: Cerita Rakyat Cianjur

Hampir seluruh jalinan cerita dan bagian-bagian peristiwa mengisahkan tokoh

ini bahkan penamaan daerah yang kemudian disebut sebagai Kampung Saparantu, berasal

dari nama tokoh ini. Adapun tokoh lainnya seperti Natamanggala I dan kakek tua yang

hadir dalam mimpi Loanggar jaya, merupakan tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

Latar/Setting

Ada beberapa penyebutan nama tempat dalam cerita ini, yaitu :

1. Cibalagung, nama sebuah wilayah yang didalamnya terdapat Kadaleman Cikadu.

2. Cikadu, nama sebuah kadaleman yang dipimpin oleh Natamanggala I.

3. Cirebon, nama sebuah daerah yang menjadi kampong halaman Longgar jaya.

4. Kampung saparantu, yaitu nama sebuah kampong yang penamaannya diambil dari

nama Eyang Saparantu alias Longgar jaya.

Di samping itu, ada juga penyebutan nama tempat lain yang memiliki arti umum,

yaitu hutan, tempat tinggal Longgar jaya dalam pengembaraannya; gua, tempat

bersemedinya Longgar Jaya; arah barat, arah mata angin yang harus ditelusuri

longgar jaya berdasarkan petunjuk kakek tua dalam mimpinya; kadaleman, tempa

tujuan yang harus dicari oleh Longgar Jaya untuk mengabdikan diri.

Latar waktu yang disebut dalam cerita ini, antara lain :

1. Malam, yaitu ketika Longgar Jaya menerima ilham atau petunjuk dalam tidur dan

mimpiny, agar ia segera menghentikan pengembaraannya dan kemudian mengabdikan

diri kepada Negara.

2. siang dan malam, yaitu rentang dan silih bergantinya waktu yang harus dilalui Longgar

jaya untuk menemukan sebuah kadaleman guna mengabdikan diri.

3. Akhir hayat, menunjukan akhir masa hidup Longgar jaya, ketika (sebelumnya) dirinya

sempat berganti nama menjadi Eyang Saparantu.

Gambaran suasana cerita sejak awal hingga akhir relative datar, tanpa ada konflik

atau gejolak yang berarti, walaupun tidak dapat dinafikan munculnya suasana tertentu

pada bagian cerita tertentu pula, misalnya suasana khusuk dan khidmat ketika Longgar

jaya bersemedi di gua dan menerima petunjuk dari kakek tua dalam mimpinya. Suasana

Page 18: Cerita Rakyat Cianjur

lainnya yaitu sikap tenang pada diri Longgar Jaya, baik ketika dia berangkat untuk

mengembara maupun ketika dia berhenti semedi untuk kemudian mencari kadaleman guna

mengabdikan diri.

Tema dan Amanat

Tema pokok yang mewarnai cerita ini adalah pengabdian dan kesejatian hidup,

hal tersebut tergambar terutama dari seluruh kisah yang dialami Longgar jaya. Inti pesan

yang bisa ditangkap adalah bahwa hidup memang harus berguna. Tidak cukup banyak

ilmu, keahlian dan kecakapan, jiak tidak diamalkan dan tidak dirasakan manfaatnya oleh

orang banyak. Oleh karena itu, pengabdian merupakan lading amal yang melimpah dan

sekaligus mulia, jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesungguhan. Dan, tentu,

keharuman nama setelah seseorang tiada, akan terus mewangi seiring dengan manfaat

yang dipetik oleh masyarakat banyak dari

yang pernah diamalkan semasa hidupnya, sehingga pepatah yang menyatakan “gajah

mati meninggalakan gading, harimau mati meninggalakan belang‟ merupakan

sebuah kado istimewa yang semestinya diterima oleh orang seperti itu, semisal Longgar Jaya.

Sanghyang Tapak (Kp. Babakan Ds. Leuwikoja)

Sinopsis

Alkisah, seorang tokoh bernama Eyang haji Manggurat Datar, beristrikan Candra W

ulan. Sepasang suami istri ini memimpin sebuah wilayah kekuasaan serta memiliki pengaruh

sangat kuat di masyarakat. Mereka menj adi pelindung dan tumpuan hati warga. Semasa

pemerintahannya, Haji Manggurat Datar memiliki seorang pembantu utama dengan pangkat

demang. Orang kepercayaannya tersebut bernama Eyang Demang Candra Manggala. Segala

sikap dan tindakan demang inisangat arif, bij aksana, serta mampu menj aga wibawa. Hal

tersebut menimbulkan rasa tentram dan kenyamanan bagi warga.

Semasa pemerintahannya, Haji Manggurat Datar membuat dua tanda

peninggalan, yaitu sebuah batu panj ang yang diatasnya terdapat telapak kaki kirinya,

sedangkan telapak kai kanannya terdapat pada sebuah pohon. Tapak kai tersebut timbul

Page 19: Cerita Rakyat Cianjur

sebagai titik pijakan ketika Haji manggurat datar terbang menuju Bogor. Di kawasan Bogor

pun terdapat tapak kaki Haji Manggurat Datar pada sebuah batu besar. Peninggalan kedua

yaitu sebuah batu besar menyerupai kasur. Batu tersebut bekas Candra Wulan, istri Haji

Manggurat datar, melahirkan.

Berawal dari peninggalannya tersebut, berupa tapak kaki, Haji Manggurat Datar

dijuluki Syanghyang Tapak. Nama tersebut kemudian diabaikan menjadi nama sebuah

wilayah yang terletak di tangah hutan. Oleh sebagaian masyarakat, tempat itu dianggap

keramat. Untuk mencapai tempat tersebut terlebih dahulu harus mendaki gunung, kemudian

melewati semak-semak dan pepohonan besar.

Alur/Plot

Alur cerita Sanghyang Tapak dapat diskemakan sebagai berikut : Eyang Haji

Manggurat Datar bersama Candra Wulan, istrinya, memimpin sebuah wilayah serta memiliki

pengaruh sangat kuat di masyarakat. Rakyat merasa terlindungi dan diayomi oleh

kepemimpinannya. Haji Manggurat Datar memiliki seorang pembantu utama yaitu Eyang

Demang Candra manggala. Haji Manggurat datar membuat dua tanda peninggalan, yaitu

telapak kaki dan sebuah batu besar menyerupai kasur, bekas Candra Wulan melahirkan.

Berkat peninggalannya tersebut Haji Manggurat datar dijuluki Sanghyang Tapak.

Alur kisah ini, seperti rentetan peristiwa yang sering diceritakan warga Desa

Leuwikoja, merupakan alur sorot balik. Pengisahan terlebih dahulu menceritakan sebuah

lokasi yang disebut Sanghyang Tapak. Tempat tersebut terletak di tengah hutan dengan

medan tempuh yang cukup sulit dilalui. Setelah penggambaran tentang daerah

Sanghyang Tapak, barulah kisah dimulai dengan menceritakan Ikhwal haji Manggurat

Datar berkaitan dengan kiprahnya dalam mengelola daerah kekuasaannya yang dipandang

sangat berhasil, karena di samping sikapnya yang arif dan bijaksana, juga mampu

menjadikan daerahnya makmur dan sejahtera.

Setelah penjabaran cerita itu, ditimpali dengan kisah berikutnya tentang pemberian gelar

Sanghyang Tapak kepada Haji Manggurat Datar, dengan latar belakang bahwa Haji

Manggurat Datar telah meninggalkan beberapa bekas telapak kakinya di beberapa

Page 20: Cerita Rakyat Cianjur

tempat.

Pelaku/Penokohan

Beberapa pelaku yang menggerakan cerita Sanghyang Tapak, yaitu :

1. Haji Manggurat Datar, seorang yang arif dan bijaksana, yang mampu membawa rakyatnya

menjadi makmur dan sejahtera, dijuluki sebagai Sanghyang Tapak.

2. Candra Wulan, istri Haji manggurat Datar, yang turut menjadikan daerah pimpinan

Haji Manggurat Datar menjadi tentram.

3. Eyang Demang Candra Manggala, orang kepercayaan Haji Manggurat Datar

berpangkat demang.

4. Rakyat, pelaku kolektif, masyarakat yang dipimpin oleh Haji Manggurat Datar.

Latar/Setting

Latar tempat sebagai arena berlangsungnya peristiwa cerita dalam legenda

Sanghyang Tapak antara lain :

1. Hutan, tempat (beradanya0 sebuah kawasan yang disebut Sanghyang Tapak sebagai

tempat yang dianggap keramat.

2. Gunung, kawasan yang mengitari wilayah Sanghyang Tapak, jalan yang harus dilalui

menuju Sanghyang Tapak.

3. Bogor, nama tempat yang dituju Haji Manggurat Datar dengan cara terbang,

serta meninggalkan sebuah jejak di tempat tersebut, yaitu sebuah tapak kaki.

Tidaka ada penyebutan latar waktu dalam cerita ini, sedangkan suasana cerita

berlangsung dalam sebuah kedaan yang tentram, adem, dan tenang. Hal tersebut antara

lain disebabkan karena Haji Manggurat Datar yang dibantu Eyang Demang Candra

Manggala, memerintah dan mengelola wilayahnya dengan arif dan bijaksana,

sehingga ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercipta.

Tema dan Amanat

Tema dan sekaligus amanat yang diusung ini adalah pemerintahan yang adil dan

makmur, dengan berlandaskan kepada sikap pemimpinnya yang arif dan bijaksana.

Page 21: Cerita Rakyat Cianjur

Menghormati sesame dan menyayangi seluruh rakyatnya, merupakan, merupakan

cerminan figure seorang pemimpin yang layak menjadi panutan rakyatnya, seperti

tergambar dalam prilaku Haji Manggurat Dtar beserta istrinya, Candra Wulan, serta Eyang

Demang Candra Manggala, seorang demang, orang kepercayaan Haji Manggurat Datar.

Surya Kancana (Kec. Cikalong Wetan)

Sinopsis

Prabu Siliwangi mempunyai anak bernama Mundingsari. Mundingsari

mempunyai anak diberinama Mundingsari Leutik. Mundingsari Leutik mempunyai

anak bernama Pucuk Umum, yang tinggal di Banten Girang. Pucuk Umum

mempunyai anak bernama Sunan Parnggangsa. Putra sulung Sunan Parunggangsa seorang

laki-laki bernama Sunan Wanafsi.

Sunan Wanafsi menjadi raja di Talaga (Majalengka). Ia mempunyai anak di antaranya

Sunan Ciburang. Sunan Ciburang terkenal dengan kesaktiannya, ia kebal terhadap senjata

tajam serta taat beribadat. Sunan Ciburang mempunyai anak bernama Raden Arya.

Raden Arya terkenal sebagai orang yang taat beragama. Suatu hari ia

meninggalkan ayahnya untuk berkelana menuju arah barat, hingga akhirnya sampai di

Sagaraherang. Sambil bermukim di sana, ia terus memperdalam ilmu agama. Kemudian

ia mempunyai seorang anak yang diberi nama Arya Wiratanudatar. Kelak, dialah yang

menjadi Dalem Cikundul.

Arya Wiratanundatar tumbuh menjadi dewasa sebagai seorang anak laki-laki yang

gagah, tampan, dan suka bertapa. Benyak perempuan yang mengharapkan dirinya, tap

selalu ditolak. Suatu ketika ia bertapa di atas Batu Agung (Pucuk Batu Agung) dengan

khusuk tanpa tergoda, siang malam senantiasa memuji Tuhan. Ada tiga hal yang

diinginkannya dari tapa tersebut, yaitu ingin diberi ketetapan hati dalam keimanannya,

ingin mendapatkan kebahagiaan di alam baqa, dan ingin mendapatkan keturunan yang

kelak menjadi pemimpin Negara.

Selesai bertapa selama empat puluh malam, datanglah seorang wanita yang sangat

cantik, yang membuat Arya Wiratanudatar merasa tak percaya atas yang dilihatnya, sebab

Page 22: Cerita Rakyat Cianjur

baru kali itu ia melihat wanita secantik itu. Kemudian ia bertanya tentang nama, alamat,

dan tujuan perempuan itu mendatanginya. Tanpa tedeng

aling-aling perempuan tersebut menjelaskan jati dirinya, bahwa dia seorang putrid jin

bernama Indang Sukesih, dengan maksud hendak menyerahkan diri untuk menjadi istri

Wiratanudatar.

Akhirnya pernikahan terjadi, Arya Wiratanudatar masuk kea lam jin. Dari

pernikahan ini Wiratanudatar mempunyai dua orang anak, yaitu Indang Kancana dan

Surya Kancana. Kedua anak ini tumbuh dengan baik, tetapi sangat nakal sehingga

orang tuanya kewalahan. Oleh sebab itu, keduanya dibuang, Indang Kancana

dilemparkan kea rah timur dan jatuh di Gunung Kumbang, sedangkan Surya Kancana

dilemparkan kea rah selatan dan jatuh di Gunung Gede.

Alur/Plot

Alur cerita Surya Kancana dapat diskemakan menjadi sebagai berikut. Raden Arya

Wiratanudatar, Dalem Cikundul, merupakan keturunan kedelapan dari Prabu Siliwangi. Dia

seorang pertapa dan taat beragama. Ketika menginjak dewasa dia merupakan seorang lelaki

yang tamoan dan gagah. Banyak perempuan yang ingin diperistri. Dalam sebuah pertapaan

dia di datangi seorang perempuan dari negeri kajinan, Indang Sukesih. Arya Wiratanudatar

menikah dengan Indang Sukesih di Negara jin. Mereka mempunyai anak dua, Indang

Kancana dan Surya Kancana. Kedua anaknya tersebut sangat nakal. Indang Sukesih dan

Wiratanudatar kewalahan mengurus anaknya tersebut. Anaknya dibuang. Indang

Kancana ke Gunung Kumbang dan Surya Kancana ke Gunung Gede.

Alur yang digunakan dalam cerita ini merupakan alur maju. Cerita ini dimulai dengan

silsilah keluarga, mulai dari Prabu Siliwangi sampai Aria Wiratanudatar,

sampai akhirnya mempunyai anak Surya Kancana. Alur kisah ini sangat linear sehingga

mudah diikuti, walaupun ada kemungkinan pendengar atau pembaca cerita akan mempunyai

kesulitan dalam mengingat nama tokoh-tokoh, terutama tokohtokoh keturunan Prabu

Siliwangi yang cukup banyak disebutkan dalam kisah ini.

Page 23: Cerita Rakyat Cianjur

Pelaku/Penokohan

Nama pelaku dalam legenda Surya Kancana adalah sebagai berikut :

1. Prabu Siliwangi, merupakan titik tolak pengisahan, sebagai leluhur dari tokohtokoh

dalam cerita ini.

2. Mundingsari, putra Prabu Siliwangi.

3. Mundingsari Leutik, putra Mundingsari.

4. Pucuk Umum, putra Mundingsari Leutik, tinggal di Banten Girang.

5. Sunan Parunggangsa, putra Pucuk Umum

6. Sunan Wanafsi, raja Talaga, putra sulung Sunan Parunggangsa.

7. Sunan Ciburang, putra Sunan Wanafsi, terkenal sakti, ia kebal terhadap senjata tajam dan

sangat taat beribadah.

8. Raden Arya, putra Sunan Ciburang, seorang yang taat beragama dan seorang pertapa.

9. Arya Wiratanudatar, putra Raden Arya, Dalem Cikundul, menikah dengan putrid jin,

Indang Sukesih.

10. Indang Sukesih, putri kajinan, istri Arya Wiratanudatar.

11. Indang Kancana, anak Wiratanudatar dari Indang Sukesih, sangat nakal.

12. Surya Kancana, anak Wiratanudatar dari Indang Sukesih, sangat nakal.

Tokoh yang paling banyak dikisahkan dalam legenda ini adalah Arya

Wiratanudatar, sejak dia remaja dan rajin bertapa, samapai menemukan jodohnya dengan

putrid jin. Oleh sebab itu, wlaupun yang diangkat menjadi bahan cerita ini adalah tokoh

Surya Kancana, tetapi segala latar belakang kehidupan Arya Wiratanudatar paling

menonjol dan banyak dikedepankan, karena persoalan tersebut sekaligus merupakan

latar belakang kelahiran dan kehidupan Surya Kancana. Hal tersebut malah menjadi

simpul yang dapat dinurut: mengapa Surya Kancana lahir? Dan turunan darimana dia? Serta

mengapa pula perilakunya sangat nakal sehingga perlu diasingkan ke Guinung Gede?.

Adapun tokoh lainnya yang cukup banyak jumlahnya, mulai dari prabu Siliwangi

hingga Raden Arya, memiliki peranan yang relative sama dalam jalinan peristiwa cerita.

Mereka hanyalah pelaku pelengkap dan tambahan, yang berfungsi mendukung dan

Page 24: Cerita Rakyat Cianjur

mengukuhkan posisi pelaku utama.

Latar/Setting

Beberapa nama tempat sempat disebutkan dalam legenda ini, antara lain :

1. Pajajaran, nama sebuah kerajaan di Tatar Sunda yang dalam legenda ini rajanya bernama

Prabu Siliwangi.

2. Banten Girang, tempat tinggalnya Prabu Pucuk Umum, anaknya Mundingsari Leutik.

3. Talaga, nama sebuah kerajaan kecil yang terletak di Majalengka.

4. Barat, arah mata angina sebagai arah jalan yang harus ditempuh oleh Raden Arya.

5. Sagaraherang, tempat bermukim (sementara) Raden arya.

6. Cikundul, yaitu suatu daerah administrative (kadaleman) yang terletak di wilayah

Cianjur.

7. Gunung Kumbang, tempat dibuang atau diungsikannya Indang Kancana.

8. Gunung Gede, tempat dibuangnya Surya kancana.

Tidak terdapat dan tidak disebutkan latar waktu dalam cerita ini, tetapi suasana

cerita jelas tergambar sepanjang jalan cerita. Ada suasana khusuk dan khidmat, seperti

adegan bertapa, ada juga suasana jengkel, misalnya ketika Arya Wiratanudatar dan Indang

Sukesih menghadapi kenakalan Surya Kancana dan Indang Kancana.

Tema dan Amanat

Tema yang diangkat dalam legenda ini yaitu tentang silsilah keturunan yang

berimplikasi terhadap pemegang kekuasaan di sebuah kerajaan. Sebuah legitimasi rupanya

menjadi suatu hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan imej atau citra seseorang

di masyarakat. Oleh sebab itu tak pelak jika mengurai asal muasal atau silsilah seorang

penguasa atau raja, puncaknya dapat ditentukan akan mengambil simpul keturunan

dari Prabu Siliwangi, seperti pada legenda ini.

Tema cerita tersebut sekaligus menyiratkan amanat, bahwa jika dalam sebuah rantai

ada yang berprilaku ganjil, maka ia hendaknya rela menjalani hukuman, seberat apapun,

sesuai serta sebanding dengan tingkat kesalahannya, seperti diasingkannya Indang

kancana dan Surya Kancana karena dianggap terlalu nakal oleh ibu-bapaknya.

Page 25: Cerita Rakyat Cianjur

Kadaleman Cikadu (Kp. Cikadu, Ds. Jamali, Kec. Mande)

Sinopsis

Cikadu merupakan sebuah wilayah yang terletak di daerah Cibalagung, dengan

dalemnya Raden Aria Natamanggala, seorang yang gagah perkasa, cicit Sunan Wanafri

Cirebon dan cucu Pangeran Girilaya.

Semenjak remaja hingga dewasa, Natamanggala mempunyai kebiasaan

mengembara dan bertapa. Dalam sebuah semedinya, ia mendapat petunjuk harus berangkat

kea rah timur, maka sampailah ia ke Kerajaan Mataram. Setiap ia singgah di suatu tempat, ia

selalu mengganti namanya, mula-mula ia mengganti namanya dengan Babad Angsa,

kemudian ganti lagi menjadi Babad Kinayungan.

Sesampainya di Mataram, ia mengabdikan diri di situ, sambil ditugaskan

menyebarkan agama Islam. Walupun ia dipercaya, ia tidak merasa puas, tetapi ingin

mengembara lagi. Kemudian ia laksanakan niatnya tersebut ketika pulang dari sebuah

kegiatan penyebaran agama, ia tidak pulang ke Mataram, melainkan langsung

meloloskan diri kea rah barat, hingga sampai di kadaleman Cipamingkis (Bogor sekarang)

yang dipimpin oleh Eyang Cipamingkis, pamannya sendiri. Setelah lama tinggal di

kadaleman, Natamanggala dinikahkan dengan putrid dalem, kemudian ia disuruh mencari

tempat untuk membuka kadaleman baru.

Sampailah Natamanggala dan istri di sebuah hutan. Kemudian ia membuka hutan

tersebut menjadi sebuah perkampungan (Cikadu sekarang), dan berdatanglah orang-orang

untuk bermukim di daerah itu.

Suatu hari ia kedatangan sembilan orang Bugis, pelarian dari Cipamingkis. Orang-

orang tersebut pernah mengacau di Cipamingkis karena gagal mendapatkan pusaka dalem

dan urung niatnya untuk memperistri putri dalem. Maksud kedatangan mereka pun

tiada lain untuk meminta kembali putrid dalem. Tentu saja Kinayungan geram, hingga

akhirnya terjadi pertarungan, dan orang-orang Bugis tersebut dapat dikalahkan dengan

senjata pusaka Dalem Cipamingkis. Seusai pertarungan, Kinayungan bermaksud

mengembalikan pusaka tersebut kepada Dalem Cipamingkis, tetapi malah

Page 26: Cerita Rakyat Cianjur

dihadiahkannya kepada istrinya.

Setelah peristiwa itu, Kinayungan meneruskan pembangunan Cikadu hingga menjadi

kadaleman yang besar dan makmur. Demikian juga penyebaran agama Islam sangat pesat

di kadaleman ini.

Tersiarlah kabar ke Mataram bahwa ada sebuah kadaleman baru yang dipimpin

oleh Kinayungan. Alangkah tersinggungnya sultan, kemudian ia mengirimkan

utusannya untuk menangkap Babad Kinayungan. Ketika utusan tiba di Cikadu,

Kinayungan segera tahu dan segeralah ia mengganti namanya menjadi Prabu

Sacakusumah, maka niscaya orang yang dicari oleh utusan tersebut yaitu babad

Kinayungan tidak terdapat di cikadu, maka kembalilah utusan itu ke Mataram. Dari

Mataram utusan tersebut disuruh kembali ke Cikadu untuk menangkap Prabu

Sacakusumah. Kabar itupun segera sampai kepada Prabu Sacakusuma, maka segeralah

ia mengganti namanya menjadi Sukma Muda. Ketika utusan sampai dan mencari nama

Prabu Sacakusumah, tidak ia dapatkan di Cikadu, maka kembalilah ia ke Mataram. Dari

Mataram ia disuruh kembali dan harus menangkap Sukma Muda, karena Sukma

Muda diyakini sebagai Babad

Kinayungan. Kali ini Natamanggala tidak dapat mengelak, ia hanya berpesan bahwa ia

akan dating ke Mataram dengan dikirimnya sebuah tombak pusaka dari Mataram.

Dengan mengendarai tombak pusaka tersebut pergilah Natamanggala ke Mataram.

Sesampainya di kadaleman ia tidak disambut dengan kemarahan, melainkan dengan

penuh rasa senang dan keramahan Sultan. Kemudian ia diajak berbincang tentang asal-

usul dan silsilah, yang ternyata ia memiliki tali persaudaraan dengan Sultan. Setelah

itu Kinayungan diberi gelar menjadi Aria Natamanggala I. kemudian ia kembali lagi ke

Cikadu.

Dala menjalankan roda pemerintahannya, Natamanggala I dibantu oleh dua orang

patih, yaitu Eyang Singkerta dan Eyang Singakerti, serta seorang penasehat, yaitu Kiai

Penghulu Muhammad Soleh. Dibawah kepemimpinannya, kadaleman Cikadu berkembang

sangat pesat, sampai akhiranya Natamanggala I wafat, dan dimakamkan di Cikadu,

sehingga terkenal dengan sebutan Dalem Cikadu.

Page 27: Cerita Rakyat Cianjur

Alur/Plot

Alur cerita Sasakala Kadaleman Cikadu dapat diskemakan sebagai berikut

Raden Aria Natamanggala merupakan cucu Pangeran Girilaya atau cicit Sunan

Wanafri Cirebon. Kesukaannya adalah mengembara dan bertapa. Ia mendapatkan

petunjuk untuk pergi kea rah timur. Mengabdi di Kerajaan Mataram. Ia sempat mengganti

namanya menjadi Babad Angsa, kemudian ganti lagi menjadi Babad Kinayungan.

Ia minggat dari mataram. Pergi ke kadaleman Cipamingkis. Nikah dengan putrid

dalem. Mendirikan kadaleman baru (Cikadu). Dating sembilan orang BVugis hendak

mengambil istrinya. Terjadi pertarungan. Orang-orang Bugis tewas. Cikadu menjadi

kadaleman yang besar dan makmur.

Sultan Mataram mengetahui keberadaan Kinayungan dengan kadaleman barunya.

Sultan mengirimkan utusan menangkapnya. Kinayungan mengganti nama menjadi Prabu

Sacakusumah. Utusan tidak menemukan Kinayungan dan kembali ke Mataram. Utusan

kembalkai dating untuk menangkap Prabu Sacakusumah. Kinayungan mengganti

namanya lagi menjadi Sukma Muda. Utusan tidak menemukan Prabu Scakusumah dan

kembali ke Mtaram. Utusan dating lagi untuk menangkap Sukma Muda karena diyakini

sebagai babad Kinayungan. Natamanggala tidak dapat mengelak. Ia dating ke Mataram

dengan menunggangi tombak pusaka. Ia ternyata memiliki tali persaudaraan dengan sultan. Ia

diberi gelar Natamanggala I.

Pelaku/Penokohan

Tokoh atau pelaku pada cerita ini adalah :

1. Natamanggala, demang Cikadu, seorang petapa dan gemar mengembara, sering berganti

nama diantaranya menjadi Babad Angsa, Babad Kinayungan, Prabu Sacakusumah, dan

Sukma Muda.

2. Sunan Wanafri, buyut Natamanggala.

3. Pangeran Girilaya, kakek Natamanggala.

4. Eyang Cipamingkis, paman Natamanggala.

Page 28: Cerita Rakyat Cianjur

5. Putri dalem, istri Natamanggala, anak Eyang Cipamingkis.

6. Sultan, raja Mataram.

7. Hulubalang, utusan Sultan Mataram untuk menangkap Natamanggala.

8. Eyang Singakerta, patih Kadaleman Cikadu.

9. Eyang Singakerti, patih Kadaleman Cikadu.

10. Kyai Penghulu Muhammad Soleh, penasehat Kadaleman Cikadu.

11. Orang Bugis, berjumlah sembilan orang, buronan yang pernah mengacau di

Kadaleman Cipamingkis.

Latar/Setting

Beberapa nama temapat yang disebutkan dalam cerita ini adalah :

1. Cikadu, sebuah kadaleman yang terletak di kawasan Cibalagung (Kec. Mande).

2. Cirebon, tempat asal Sunan Wanafri.

3. Kerajaan Mataram, sebuah kerajaan yang dikunjungi natamanggala berdasarkan petunjuk

dalam semedinya.

4. Cipamingkis, sebuah kadaleman (sekarang Bogor) yang dipimpin oleh Eyang

Cipamingkis, paman Natamanggala.

5. Gua dan Hutan, tempat mengembara dan bertapanya Natamanggala.

6. Arah timur, arah perjalanan yang harus ditempuh oleh Natamanggala

berdasarkan petunjuk semedinya.

Seperti pada legenda lainnya, tidak ada penyebutan latar waktu dalam

keseluruhan jalinan cerita. Seluruh peristiwa walaupun berlangsung dalam hitungan tahunan,

semenjak Natamanggala remaja hingga beristri dan menjadi dalem Cikadu,

tapi secara eksplisit tidak terdapat keterangan waktu, baik penyebutan nama hari, bulan,

maupun tahun, juga tidak disebutkan terjadinya peristiwa cerita yang merujuk pada

keterangan waktu seperti pagi, siang, malam, dan lainnya.

Suasana cerita yang tergambar dalam legenda ini cukup beragam, ada suasana khusuk

dan khidmat, yaitu ketika Natamanggala bersemadi, ada suasana tertantang dan penasaran,

yaitu ketika Natamanggala kabur dari Mataram, ada pula suasana marah dan garam, yaitu

Page 29: Cerita Rakyat Cianjur

ketika Natamanggala disatroni sembilan orang Bugis yang hendak mengambil istrinya hingga

terjadi pertarungan yang menewaskan sembilan orang Bugis tersebut, ada juga suasana

tegang dan was-was, yaitu ketika Natamanggala dicari dan hendak ditangkap oleh

hulubalang utusan Sultan, serta ada suasana senang dan gembira, yaitu ketika diketahui

bahwa silsilah Natamanggala dan Sultan Mataram ternyata memiliki pertalian

persaudaraan.

Tema dan Amanat

Pokok cerita yang menjiwai seluruh peristiwa dalam leginda ini adalah

berpadunya antara jiwa petualang dan petapa dengan tekad untuk mengabdi serta

keteguhan hati untuk mempertahankan dan menjaga harga diri. Hal tersebut tergambar

semenjak Natamanggala bersemedi, kemudian mengabdi ke Mataram dan kembali kabur

untuk bertualang, mengabdikan diri di kadaleman Cipamingkis, serta bertarung dengan

sembilan orang Bugis yang hendak merampas istrinya, hingga menewaskan orang Bugis

tersebut.

Eyang Jambalan (Kp. Jamali, Ds. Jamali. Kec. Mande)

Sinopsis

Setelah Natamanggala I wafat, pimpinan kadaleman dilanjutkan oleh putranya,

yaitu Natamanggala II. Dia memerintah sangat arif dan bijaksana. Di samping

memfokuskan pada bidang pemerintahan, juga melanjutkan program ayahnya, yaitu

syiar agama. Dalam melaksanakan tugasnya, Natamanggala II dibantu oleh dua orang

Patih, yaitu Eyang Patih Mangku Nagara dan Eyang Patih Manggung Nagara.

Selama pemerintahannya, kedaleman Cikadu pernah disatroni tujuh orang Bugis

yang hendak membalas dendam atas kematian rekannya sewaktu bertarung dengan

Natamanggala I. oaring Bugis tersebut maksudnya hendak mencari Natamanggala I,

tetapi karena sudah wafat, rasa dendam tersebut mereka lampiaskan kepada putranya,

Natamanggala II.

Betapa murka kedua patihnya mendengar tantangan dari orang Bugis itu. Mereka

Page 30: Cerita Rakyat Cianjur

bersiaga untuk menghadang tantangan tersebut, tetapi Natamanggala II melarangnya

karena dia dianggap bahwa dendam tersebut ditunjukan kepada ayahnya, dan bahwa

ayahnya telah wafat, maka putranyalah yang harus menanggungnya.

Natamanggala II segera melesat ke suatu tempat yang sekarang disebut Jamban,

diikuti ketujuh orang Bugis. Pertarungan berlangsung cukup lama, namun

akhirnya orang-orang Bugis tersebut kewalahan dan tewas. Konon ceceran darah mereka

masih terlihat segar di daerah Jamban sampai tahun tiga puluhan.

Setelah itu, Natamanggla II meneruskan pembangunan kadaleman disertai dengan

syiar Islam, sehingga banyak bermunculan pondok-pondok pesantren, di antaranya di

Kanayakan yang dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Soleh atau dikenal Eyang

Kanayakan.

Natamanggala II wafat pada usia lanjut. Ia dimakamkan di Cibalagung.

Kecamatan Mande, sesuai keinginannya. Kini ia dikenal dengan sebutan Eyang Jamban.

Alur/Plot

Alur cerita Eyang Jamban dapat diskemakan sebagai berikut. Natamanggala I wafat.

Pimpinan kadaleman dilanjutkan Natamanggala II. Dia dibantu oleh dua orang Patih,

yaitu Eyang Patih Mangku Nagara dan Eyang Patih Manggung Nagara. Dating tujuh orang

Bugis yang hendak membalas dendam atas kematian rekannya sewaktu bertarung dengan

rekannya sewaktu bertarung dengan Natamanggala I. kedua patih hendak menghadangnya.

Natamanggala II menghadapinya seorang diri. Ketujuh orang Bugis tersebut tewas. Ceceran

darahnya terlihat segar di daerah Jamban sampai tahun tiga puluhan. Natamanggala II

meneruskan pembangunan kadaleman dan syiar Islam. Bermunculan pondok-pondok

pesantren, di antaranya di Kanayakan yang dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Soleh atau

dikenal Eyang Kanayakan. Natamanggala II wafat, dimakamkan di Cibalagung Kecamatan

mande. Kini ia dikenal dengan sebutan Eyang jamban.

Peristiwa yang dialami Natamanggala II meliputi : - naik tahta menj adi dalem

menggantikan ayahnya – dia menj alankan pemeri ntahan dengan arif dan bij aksana –

dating tujuh orang Bugis yang hendak membalas dendam – kedua patihnya bermaksud

Page 31: Cerita Rakyat Cianjur

menghadangnya – Natamanggala II menghadapi nya sendiri – ketuj uh orang Bugis

tersebut tewas – Natamanggala II melanjutkan pembangunan kadaleman dan syiar

agama – bermunculan pondok pesantren termasuk di Kanayakan – Natamanggala II

wafat – dimakamkan di Cibalagung – ia dikenal dengan sebutan Eyang Jamban.

Alur cerita legenda Eyang Jamban merupakan alur maju. Cerita dimulai ketika

Natamanggla I, kemudian datang orang Bugis yang hendak membalas dendam sampai

akhirnyamereka tewas, Natamanggala II meneruskan pembangunan di akdaleman, hingga

akhirnya dia wafat.

Munculnya kelompok orang bugis yang hendak membalas dendam,

merupakan „penyedap‟ cerita yang memberikan rasa „pedas‟ pada legenda ini,

sehingga ceritanya tidak datar, apalagi dalam mengatasinya, Natamanggala II

mengahadapinya secara kesatria. Hal tersebut mampu memberikan rasa takj ub dan tamasya

pada batin pembaca atau apresiator kisah ini .

Pelaku/Penokohan

Tokoh atau pelaku pada cerita ini adalah sebagai berikut :

1. Natamanggala I, Dalem Cibalagung, ayah Natamanggala II.

2. Natamanggala II, penerus tahta kadaleman Cibalagung, seoranmg pemimpin yang berj

iwa kesatria, dij uluki sebagai eyang Jamban.

3. Eyang Patih Mangku nagara, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintaha

Natamanggala II.

4. Eyang Patih Manggung Nagara, Patih Kadaleman Cibalagung masa

Pemerintaha Natamanggala II.

5. Kyai Muhammad Soleh, penasehat kadaleman sejak masa pemerintahan

Natamanggala I, pemimpin Pondok Pesantren Kanayakan, disebut juga Eyang

Kanayakan.

6. Tujuh orang Bugis, merupakan kawan dari sembilan orang bugis yang tewas ketika

bertarung melawan Natamanggala I.

Pusat pengisahan dan tokoh utama pada cerita ini adalah Natamanggala II. Adapun

Page 32: Cerita Rakyat Cianjur

tokoh-tokoh lainnya seperti Natamanggala I, Eyang Patih Mangku Nagara, dan Kyai

Muhammad Soleh, merupakan tokoh pembantu atau tokoh tambahan.

Berdasarkan watak dan perilakunya, Natamanggala II merupakan tokoh

protagonist. Ia merupakan sosok yang memperjuangkan hak dan nilaki kebenaran,

sedangkan tujuh orang Bugis merupakan tokoh antagonis, yang datang ke

Kadaleman Cibalagung dianggap ingin mengacau, yaitu membalas dendam atas kematian

sembilan orang rekannya pada masa pemerintahan Natamanggala I.

Latar/Setting

Beberapa nama tempat yang disebutkan dalam kisah ini adalah :

1. Cibalagung, kedaleman yang dipimpin oleh Natamanggala II atau Eyang Jamban.

2. Jamban, tempat bertarungnya antara Natamanggala II dengan tujuh orang Bugis.

3. Kanayakan, (kawasan) Pondok Pesantren yang dipimpin oleh Kyai Muhammad Soleh

alias Eyang kanayakan

Suasana yang tergambar dalam cerita ini antara lain rasa kemarahan dan geram dari

Eyang Patih Mangku nagara dan Eyang Patih Manggung nagara, ketika ke Cibalagung

datang tuj uh orang Bugis yang hendak membalas dendam. Selain itu, j uga ada suasana

semangat dan rasa damai di masyarakat ketika mereka melakukan pembangunan di kadaleman,

termasuk membangun pondok-pondok pesantren.

Tidak terdapat penyebutan latar waktu, baik hari, bulan, tahun, jam dan yang lainnya

dalam cerita ini.

Tema dan Amanat

Ide pokok dalam cerita cerita ini adalah tentang rasa tanggung j awab yang

diwujudkan dalam bentuk pengabdian dan kepemimpinan. Hal tersebut terutama tergambar

dalam tokoh Natamanggala II. Bahwa mengemban suatu kepercayaan, terutama menj adi

pemimpin, hendaknya dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan aturan dan norma

serta bersandar kepada ajaran agama. Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan,

khususnya di Kadaleman Cibalagung, disamping mengej ar segi j asmaniah —material, j uga

Page 33: Cerita Rakyat Cianjur

aspek rihaniah-spiritual . Hal tersebut di antaranya terwujud selain masyarakat menjadi

makmur dan damai, juga merasa tentram dan damai , j uga merasa tentram dan tenang.

Hal lainnya yang tergambar dari cerita ini adalah bahwa rasa tanggung jawab tidak

bisa dilemparkan kepada pihak lain, tetapi harus dihadapi sendiri apapun resikonya. Hal

tersebut tergambar ketika ke Cibalagung datang orang Bugis yang

hendak membalas dendam kepada Natamanggala I, dan ternyata telah wafat, maka

Natamanggala II sebagai putranya dengan mantap dan siap menghadapinya, walupun

patihnya menghalangi dan mengkhawatirkan keselamatannya. Dalam al i ni Natamanggala II

beranggapan bahwa dendam yang ditunjukan kepada ayahnya, tentu saja harus dihadapi

oleh putranya, bukan oleh orang lain. Dari peristiwa itu terlihatlah rasa tanggung j awab

pribadi Natamanggala II sebagai dalem Cibalagung, yang tidak mengorbankan orang lain

untuk keselamatan dirinya, melainkan menghadapi berbagai ancaman dari luar dengan j

iwa ksatria.

Dalem Pulo (Kp. Kaum Kaler Ds. Kademangan)

Sinopsis

Kadaleman Cibalagung berakhi r ketika masa pemerintahan Natamanggala IV. Ketika itu

wilayahnya meliputi bagian barat Muka Cianj ur, bagian timur Sungai Citarum, bagian

selatan Cirata Kec. Karang Tengah, dan Bagian utara daerah Nyampay Kabupaten

Cianjur.

Pemerintahan Natamnggala IV dibantu oleh dua orang patih, yaitu Eyang Nurbayan

dan Eyang Nurbayin, serta penasehat kadaleman yaitu Kyai Panghulu Muhammad Sobari.

Pada masa pemerintahan Natamanggala IV terjadi “Perang Pangawelan”, yaitu

perang melawan Cina. Pada waktu yang telah ditentukan, yaitu hari Sabtu, Natamanggala

IV beserta balatentaranya menyerbu Cina yang berada di wilayah utara, padahal di

Cibalagung ada kepercayaan pantangan bahwa hari sabtu tidak

boleh pergi kea rah utara, j ika hal tersebut dilakukan sama dengan menj emput

malapetaka.

Natamanggala mempunyai delapan orang putra. Ketika dia wafat, putranya tersebut

Page 34: Cerita Rakyat Cianjur

masih kecil-kecil , sehingga tidak ada yang meneruskan pemerintahan di kadaleman.

Akhirnya kadaleman Cibalagung runtuh kerena tidak ada penerusnya. Natamanggala IV

dimakamkan di daerah Pulo Cibalagung, sehingga disebut Dalem Pulo.

Alur/Plot

Alur cerita Dalem Pulo dapat diskemakan sebagai berikut. Kedaleman

Cibalagung diperintah oleh Natamanggla IV. W ilayahnya meliputi bagian barat derah

muka Cianjur, bagian timur Sungai Citarum, bagian selatan Cirata Kec. Karang

Tangah, dan bagian utara derah Nyampay Kabupaten Cianjur. Natamanggala IV

dibantu oleh patih Eyang Nurbayan dan Eyang Patih Nurbayin, serta penasehatnya Kyai

Penghulu Muhammad Sobari. Terjadi “Perang Pangawelan”, perang melawan Cina.

Pasukan Natamanggala IV menyerbu Cina di wilayah utara pada hari sabtu. Di Cibalagung

ada pantangan bahwa pada hari sabtu tidak boleh pergi kea rah utara. Natamanggala IV

mempunyai delapan orang putra. Putranya masih keci l-kecil . Natamanggala IV wafat. Tidak

ada yang meneruskan di kadaleman. Kadaleman Cibalagung runtuh.

Alur cerita Dalem Pulo merupakan alur sorot balik. Cerita dimulai dengan kisah

runtuhnya Kadaleman Cibalagung. Setelah itu dinarasikan berbagai keadaan

dan peristiwa yang terjadi di kadaleman, mulai dari batas-batas wilayah, struktur

pemerintahan, perang melawan Cina, pantang orang Cibalagung, struktur

pemerintahan, putra Natamanggala IV yang masih kecil-kecil, tidak ada regenerasi di

kadaleman, sampai melingkar kembali pada peristiwa runtuhnya Kadaleman

Cibalagung.

Konflik cerita terletak pada peristiwa perang melawan Cina, walaupun situasi

berlangsungnya peristiwa tersebut tidak digambarkan sama sekali, sehingga kurang

memainkan emosi pembaca ataui apresiator. Hal yang ditonjolkan malah pantangan orang

Cibalagung yang tidak boleh berpergian pada hari sabtu kea rah utara, sehingga seolah-

olah penyerbuan terhadap Cina yang dilakukan pada hari sabtu merupakan penyebab

runtuhnya Kadaleman Cibalagung.

Page 35: Cerita Rakyat Cianjur

Pelaku/Penokohan

Tokoh dalam legenda ini adalah :

1. Natamanggala IV, Dalem terakhir di kedaleman Ciabalagung.

2. Eyang Nurbayan, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintahan

Natamanggala IV.

3. Eyang Nurbayin, Patih Kadaleman Cibalagung masa Pemerintahan

Natamanggala IV.

4. Kyai Penghulu Muhammad Sobari, penasehat Kadaleman Cibalagung masa

Pemerintahan Natamanggala IV.

Tokoh utama yang menajadi pusat pengisahan dalam legenda ini adalah

Natamanggala IV, sedangkan tokoh-tokoh lainnya merupakan tokoh pembantu atau

tokoh tambahan. Oleh sebab itu, segala peristiwa yang terjadi pada kisah ini berasal dan

bermuara pada diri Natamanggala IV .

Latar/Setting

Beberapa latar tempat yang disebutkan dalam legenda ini adalah sebagai berikut

1. Cibalagung, merupakan wilayah kadaleman.

2. Muka Cianj ur, batas sebelah barat kadaleman Cibalagung.

3. Sungai Citarum, batas sebelah timur kadaleman Cibalagung.

4. Cirata Kec./ karang Tengah, batas sebelah selatan kadaleman Cibalagung.

5. Nyampai, batas sebelah utara kadaleman Cibalagung

6. Pulo, nama tempat di wilayah Cibalagung, tempat dimakamkannya

Natamanggala IV sehingga dikenal sebagai D alem Pulo.

7. Utara, merupakan arah mata angina yang tidak boleh dituju oleh warga

Cibalagung pada hari sabtu, sebab diyaki ni dapat mendatangkan malapetaka.

Suasana yang tergambar dalam cerita ini di antaranya suasana korban perang atau

semangat perjuangan/patriotisme, terutama pada adegan “Perang Pangawelan”. Selain itu, j

Page 36: Cerita Rakyat Cianjur

uga ada suasana mistis atau aura supranatural, yaitu pada pendeskripsian pantangn atau

larangan tidak boleh berpergian kea rah utara pada hari asbtu bagi warga Cibalagung.

Suasana lain adalah keprihatinan, yaitu ketika Natamanggala IV wafat, sedangkan anak-

anaknya masih kecil, maka tidak ada yang meneruskan memegang kekuasaan di

kedaleman Cibalagung. Hal tersebut telah menimbulkan runtuhnya kadaleman karena tidak

ada regenerasi kepemimpinan.

Tema dan Amanat

Pokok cerita yang diangkat dalam legenda ini adalah masalah regenerasi

kepemimopinan, khususnya di kedaleman. Tampak kepemimpinan yang diturunkan secara

hirarkis, kekeluargaan, pada akhirnya menemukan jalan bubntu, karena putra dalem yang

seharusnya naik tahta, ternyata belum cukup usia. Keadaan demikian bukan hanya telah

menimbulkan stagnasi kepemimpinan, tetapi malah dapat menimbulkan prahara, yaitu

runtuh atau bubarnya kadaleman. Dalam hal ini, pemilihan kepemimpinan yang dilakukan

secara demokratis lebih dapat menjamin keberlangsungan sebuah system pemerintahan,

dibandingkan dengan system pewarisan kekuasaan.

Ide cerita lain yang terlontar dalam legenda ini adalah tentang mitos atau

kepercayaan masyarakat. Hal tersebut tergambar dari keyakinan warga Cibalagung bahwa

tidak boleh pergi ke arah utara pada hari sabtu. Keyakinan tersebut dikontraskan

dengan terjadinya penyerangan atau perang melawan Cina di wilayah utara yang terjadi

pada hari sabtu. Kendatipun dari perang tersebut tidak menimbulkan kekalahan bagi

pihak kadaleman Cibalagung, tetapi dapat ditafsirkan seolah-olah bahwa runtuhnya

kadaleman pada beberapa waktu kemudian sebagai akibat dari perang tersebut yang terjadi

di wilayah utara pada hari sabtu.

Page 37: Cerita Rakyat Cianjur

Eyang Paninggaran (Kp. Gunung Masigit, Ds. Jamali) 3.3.10.1.

Sinopsis

Alkisah, seorang pemuda yang menaruh minat terhadap ajaran agama, berguru kepada

Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh. Dia dikenal sebagai murid yang rajin, tabah, penuh

rasa tanggung jawab, serta sangat taat, sehingga sangat disayangi gurunya. Selain itu,

dia memiliki hobi berburu, oleh sebab itu masyarakat menyebutnya Eyang

Paninggaran.

Suatu hari Eyang Paninggaran dipanggil oleh gurunya. Dia dinasehati agar segera

mengamalkan ilmunya serta turut membantu syiar agama. Maka berangkatlah

Eyang Paninggran ke arah barat dengan berjalan kaki. Di sepanjang perjalanan dia terus

melakukan dakwah.

Di perjalanan, Eyang Paninggaran bertemu dengan Ariwiratanudatar, Dalem Cikundul.

Ketika Ariawiratanudatar akan kembali ke Cikundul, Eyang Paninggaran meminta untuk

turut ke Cikundul, dia ingin mengabadikan diri di Cikundul.

Belum seberapa lama mengabdikan diri di Kadaleman Cikundul, Eyang

Paninggaran kemudian disuruh mencari daerah baru untuk dijadikan kadaleman. Ia segera

pergi, tanpa merasa kesulitan karena sudah terbiasa keluar masuk hutan. Sampailah ia di

Pasir. Kemudian ia buka Pasir tersebut menjadi perkampungan, lalu mendirikan pondok

pesantren yang ia pimpin sendiri. Berdatanglah orang-orang untuk menuntut ilmu dan

menetap di perkampungan tersebut.

Tahun silih berganti, perkampungan tersebut semakin ramai. Seiring dengan itu, usia

Eyang Paninggaran makin lanjut, hingga akhirnya wafat. Dia dimakamkan di Pasir.

Alur/Plot

Alur cerita legenda ini dapat diskemakan menjadi sebagai berikut : seorang pemuda

berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh. Dia sangat raj in, tabah, penuh rasa

tanggung jawab, serta sangat taat. Dia sangat disayang gurunya. Dia memiliki hobi

Page 38: Cerita Rakyat Cianjur

berburu sehingga disebut Eyang Paninggaran. Gurunya memanggil dan menasehatinya

agar dia segera mengamalkan ilmunya. Dia pergi ke arah barat dengan berjalan kaki. Di

sepanjang perjalanan dia terus berdakwah. Bertemu dengan Ariawiratanudatar,

Dalem Cikundul. Dia ikut ke cikundul untuk mengabdikan diri. Dia disuruh mencari

area baru untuk dijadikan kadaleman. Sampai di Pasir. Pasir tersebut dibukanya dijadikan

perkampungan. Berdatanglah orang yang hendak mengaji dan bermukim. Usia Eyang

Paninggaran semakin lanjut. Dia meninggal. Dimakamkan di daerah Pasir.

Alur yang digunakan dalam cerita ini merupakan alur maju. Cerita dimulai dari

pengisahan tentang seorang pemuda yang dijuluki Syeh Paninggaran, kemudian

diceritakan kebiasaannya, keinginannya untuk mengabdi, membuka kadaleman baru,

sampai wafatnya.

Pelaku/Penokohan

Nama tokoh-tokoh yang disebut dalam legenda ini adalah sebagai berikut :

1. Syeh Maulana Syarif Hidatatulloh, guru Eyang Paninggaran.

2. Eyang Paninggaran, seorang yang menaruh minat tinggi tarhadap bidang agama, pendiri

pesantren.

3. Ariawiratanudatar, Dalem Cikundul.

Eyang Paninggaran merupakan tokoh yang paling banyak disorot dan selalu hadir

dalam setiap adegan cerita. Oleh sebab itu, dia merupakan tokoh utama, yang selalu

menghidupkan peristiwa cerita. Adapun tokoh lainnya, merupakan tokoh tambahan atau

tokoh hiburan.

Latar/Setting

Beberapa tempat yang menjadi latar terjadinya dalam peristiwa dalam kisah ini

adalah:

1. Cikundul, nama sebuah kadaleman yang dipimpin oleh Ariawiratanudatar.

2. Pasir, nama sebuah daerah yang kemudian dijadikan perkampungan oleh Eyang

Paninggaran.

Page 39: Cerita Rakyat Cianjur

3. Pondok Pesantren, tempat menimba ilmu yang didirikan oleh Eyang

Paninggaran.

4. Hutan, wilayah yang harus dilalui oleh Eyang Paninggaran untuk mencari daerah

baru untuk dijadikan padaleman.

5. Arah barat, arah wilayah yang harus dicari oleh Eyang Paninggaran untuk

penyebaran agama Islam.

Tidak terdapat keterangan waktu untuk menunjukan saat-saat berlangsungnya peristiwa

dalam cerita, sedangkan suasana yang tergambar di antaranya ada suasana khusuk dan taat,

yaitu ketika Eyang Paninggaran menuntut Ilmu kepada Syeh Maulana Syarif

Hidayatulloh, suasana tertantang dan petualang, yaitu ketika Eyang Paninggaran diharuskan

mencari daerah baru untuk dijadikan kadaleman, serta

suasana senang dan meriah, yaitu ketika perkampungan yang telah dibuka oleh Eyang

Paninggaran banyak dikunjungi orang untuk mengaji dan bermukim.

Tema dan Amanat

Pokok masalah yang diangkat dan menjiwai legenda ini adalah spirit mencari ilmu

yang disandingkan dengan keikhlasan hati untuk mengabdi. Hal pertama sangat kentara

terutama ketika Eyang Paninggaran berguru kepada Syeh Maulana Syarif Hidayatulloh,

sedangkan yang kedua tampak ketika Eyang Paninggaran harus mengamalkan ilmunya

bagi orang banyak (membuka pesantren), serta ketika dia ikut tinggal di Cikundul untu

mengabdi kepada dalem. Dari hal tersebut tersirat pesan bahwa mencari ilmu memang harus

dijalani dengan sepenuh hati dan jangn tanggung-tanggung, serta ilmu yang sudah diperoleh

hendaknya diamalkan agar bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Page 40: Cerita Rakyat Cianjur

Eyang Kaputihan (Kp. Kaum Kaler Desa Kademangan)

Sinosis

R.A. Natamanggala adalah keturunan Cirebon yang kemudian pindah ke

Cibalagung. Ketika awal kepindahannya, Cibalagung masih merupakan belantara yang

angker dan rawan. Itulah sebabnya Eyang Ratna Komala, ibunda Natamanggala I,

mengutus Eyang Rangga Wijaya, seorang yang sangat sakti serta mampu manaklukan semua

jenis mahkluk halus, untuk membantu Natamanggala I, karena dikhawatirkan akan

mendapatkan kesulitan di tempatnya yang baru.

Atas perintah Eyang Ratna Komala serta anjuran dari Eyang Ratna Wulan, ibunya

sendiri, Eyang Rangga Wijaya menetap di Cibalagung. Dengan menetapnya dia di

Cibalagung, kedaan tempat itu menjadi berubah. Tempat yang semula angker dan rawan,

kini menjadi nyaman menentramkan. Mengingat jasanya itulah, Eyang Rangga Wijaya diberi

gelar sebagai Eyang Kaputihan.

Salah satu atraksi kesaktian Eyang Rangga Wijaya yaitu ketika di tengah lapangan

Cibalagung memancar iar yang besar, sehingga menyebabkan lapangn tersebut tidak dapat

digunakan, Eyang Rangga Wijaya menghentikannya dengan senjata miliknya, yaitu besi

kuning. Cara yang dilakukannya yaitu dengan menancapkan besi kuning tersebut di

tengah lapangan, seketika itu juga air yang memancar tersebut berhenti. Ketika wafat,

Eyang Rangga Wijaya dimakamkan di Cibalagung.

Alur/Plot

Alur cerita Eyang Kaputihan dapat diskemakan sebagai berikut, R.A.

Natamanggala I pindah dari Cirebon ke Cibalagung, Eyang Ratna Komala, Ibunda

Natamanggala I, mengkhawatirkannya karena Cibalagung masih angker dan rawan.

Eyang Rtana Komala mengutus Eyang Rangga Wijaya untuk tinggal di

Cibalagung dan menjaga Natamanggala I, Cibalagung menjadi aman dan tentram.

Eyang Rangga Wijaya digelari sebagai Eyang Kaputihan karena jasanya tersebut.

Page 41: Cerita Rakyat Cianjur

Muncul air yang memancar di tengah lapangan Cibalagung. Eyang Rangga Wijaya

menghentikannya dengan besi kuning, yaitu dengan menancapkannya di tengah

lapangan, air seketika itu j uga berhenti memancar. Eyang Rangga W ij aya

dimakamkan di Cibalagung.

Rangkaian peristwa yang dialami Eyang Rangga Wij aya adalah : - pindah ke

Cibalagung untuk menetap dan menj aga Natamanggala I — mengamankan

Cibalagung yang masih angker dan rawan terutama dari gangguan mahkluk halus — berhasil

menghentikan pancaran air di tengah lapang Cibalagung — digelari Eyang Kaputihan karena j

asanya telah membuat Cibalagung menj adi aman dan tentram — wafat dan dimakamkan di

Cibalagung.

Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur maju. Kronologis cerita

berlangsung dari kepindahan Natamanggala I ke Cibalagung yang diikuti oleh kepindahan

Rangga W ij aya, kemudian perubahan keadaan Cibalagung dari yang semula angker dan

rawan menjadi aman dan tentram, muncul peristiwa air memancar di lapangn

Cibalagung, kemudian dapat diatasi oleh Eyang Rangga Wij aya hingga dia digelari Eyang

Keputihan, sampai dia wafat dan dimakamkan di Ciabalagung.

Pelaku/Tokoh

Pelaku yang menggerakan kisah Eyang Kaputihan adalah :

1. Natamanggala I, seorang putra Cirebon yang pindah ke Cibalagung dan menj adi dalem

pertama di Cibalagung.

2. Eyang Ratna Komala, ibunda Natamanggala I.

3. Eyang Rangga Wijaya, digelari Eyang Kaputihan, seorang yang sangat sakti dan mampu

menaklukan mahkluk halus, pindah dan bermukim di Cibalagung untuk menjaga

Natamanggala I.

4. Eyang Ratna Wulan, ibunda Eyang Rangga Wijaya.

5. Makhluk halus, jenis mahkluk yang diduga banyak terdapat di Cibalagung, yang membuat

daerah tersebut menjadi angker dan rawan.

Tokoh utama yang menjadi pusat pengisahan dan paling banyak mengalami peristiwa

Page 42: Cerita Rakyat Cianjur

dalam cerita adalah Eyang Rangga Wijaya atau Eyang Kaputihan, sedangkan tokoh

lainnya seperti Natamanggala I dan Eyang Ratna Komala, merupakan tokoh tambahan

atau tokoh pembantu. Adapun berdasarkan watak dan perilakunya, Eyang Rangga Wijaya

merupakan tokoh protagonis, sedangkan mahkluk halus yang dianggap sering

mengganggu, merupakan tokoh antagonis.

Latar/Setting

Beberapa tempat yang menjadi latar dalam cerita ini adalah :

1. Cirebon, tempat asal Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.

2. Cibalagung, perkampungan baru yang dibuka dan dikelola oleh Natamanggala I dibantu

Eyang Rangga Wijaya.

3. Hutan belantara, kondisi awal Cibalagung sebelum dibuka menjadi

perkampungan oleh Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.

4. Lapangan, temapat keluarnya air yang memancar di Ciabalagung yang kemudian

dapat diatasi oleh Eyang Ranmgga Wijaya.

Tidak ada penyebutan waktu sebagai latar berlangsungnya cerita, sedangkan suasana

yang tergambar di antaranya terdapat suasana mencekam. Hal tersebut dipengaruhi oleh

aura mistis yang menjiwai sebagian besar cerita, terutama oleh munculnya tokoh

mahkluk halus. Suasana tersebut berlangsung sejak pendeskripsian Cibalagung yang

disebut sebagai belantara yang masih angker dan rawan, sampai munculnya air memancar di

tengah lapangan Cibalagung yang hanya bisa diatasi oleh senjata besi kuning. Suasana lainnya

adalah rasa aman dan tentram, terutama tergambar dari keadaan Cibalagung setelah dikelola

oleh Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya.

Tema dan Amanat

Tema yang diangkat dalam legenda ini adalah tentang keteguhan hati dan rasa percaya

diri. Bahwa manusia merupakan mahkluk yang mulia, hal tersebut merupakan modal

dalam mengatasi berbagai masalah dan rintangan, baik terhadap gangguan yang datang dari

sesamanya maupun dari gangguan mahkluk halus. Dengan berbekal keyakinan bahwa

Page 43: Cerita Rakyat Cianjur

manusia merupakan mahkluk yang unggul, maka segala kesulitan dalam bentuk

apapun, niscaya dapat diatasi asal ada keinginan untuk berusaha. Hal tersebut seperti

dilakukan Natamanggala I dan Eyang Rangga Wijaya yang Mampu menyulap

lahan angker dan rawan (Cibalagung), menjadi daerah yang nyaman dan tentram.

Spirit itulah tema dan amanat yang dikandung dalam legenda Eyang Kaputihan.

Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin (kec. Kadupandak)

Sinopsis

Syahdan, pada tahun 1912 — 1920 Desa Parakantugu dipimpin oleh

Suramanggala, seorang kepala desa yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada masa pemerintahannya, masyarakat Peuntas atau sekarang disebut Pasirdalem, pernah

berinisiatif mambangun saluran irigasi untuk pertanian. Saluran irigasi tersebut kemudian

dinamai Ciaripin.

Hasil pembuatan irigasi tersebut kemudian dilaporkan kepada Dalem Cianjur yang dij

abat oleh R.A.A. W iranatakusumah XII. Mendengar laporan tersebut Dalem berniat

mengunjungi Parakantugu. Kabar kedatangan Dalem disambut oleh masyarakat dengan

membangun tempat macangkrama (tempat pertemuan setengah resmi) di atas bukit. Dari

tempat tersebut terlihat hamparan pemandangan dan gundukan perkampungan serta

pesawahan yang dikeli lingi kali Cibuni . Di sebelah selatan menjulang Gunung

Brengbreng, sebagai batas Kec. Kadupandak dengan Kec. Sindangbarang, yang sekarang

dikenal Kec. Argabinta, memanj ang dari timur ke barat.

Tepat pada waktu yang telah direncanakan, dalem Cianjur yang ke-12 tersebut datang

disertai pej abat lainnya : bupati , wedana, sampai pamong desa beserta warga masyarakat.

Pertemuan tersebut berlangsung tujuh hari tujuh malam.

Kunjungan dan ucapan selamat atas pembuatan irigasi tersebut membuat bahagia

dan bangga warga masyarakat. Sampai sekarang saluran irigasi itu masih berfungsi serta

namanya pun tidak berubah, yaitu Ciaripin, sedangkan nama Pasirdalem kini

diabadikan menj adi nama sebuah desa pemekaran dari Parakantugu.

Page 44: Cerita Rakyat Cianjur

Alur/Plot

Alur cerita Sasakala Pasirdalem dan Irigasi Ciaripin dapat diskemakan sebagai

berikut : masyarakat Peuntas atau Pasirdalem berinisiatif membangun saluran irigasi yang

dinamai Ciaripin. Pembuatan irigasi tersebut dilaporkan kepada Dalem Ciajur, R.A.A.

Wiranatakusumah XII. Dalem mengunjungi Parakantugu. Masyarakat menyambutnya

dengan membangun tempat pertemuan setengah resmi di atas bukit.

Dari temapat tersebut terlihat hamparan pemandangan di sekelilingnya. Dalem datang

disertai pejabat lainnya. Pertemuan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Kunjungan

Dalem membuat bahagia dan bangga warga masyarakat. Saluran irigasi itu masih berfungsi

sampai sekarang. Nama Pasirdalem diabadikan menjadi nama sebuah desa pemekaran.

Alur cerita kisah ini bersifat linear, mudah diikuti serta tidak banyak

mengandung simpangan. Peristiwa-peristiwa cerita dihadirkan secara runut dan beruntun,

mulai dari pengisahan kepala desa Suramanggala sampai pengabdian nama Pasirdalem

menjadi nama sebuah desa.

Pelaku/Penokohan

Tokoh cerita yang terlibat dalam peristiwa legenda Sasakala Pasirdalem dan Irigasi

Ciaripin, adalah sebagai berikut :

1. Suramanggala, kepala desa Parakantugu yang diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda.

2. R.A.A. Wiranatakusumah XII, Dalem Cianjur ke-12, yang meresmikan irigasi Ciaripin.

3. Bupati, wedana, camat, pamong desa, merupakan rombongan yang menyertai

kedatangan Dalem ke Parakantugu, yang juga disertai warga masyarakat.

Hanya ada dua nama orang yang disebutkan dalam legenda ini, yaitu

Wiranatakusumah XII dan Suramanggala, sedangkan bupati, wedana, camat, dan yang

lainnya merupakan nama jabatan. Dari nama-nama tersebut pun tidak ada yang

dominan dikisahkan, tetapi hanpir semuanya memiliki peranan yang merata. Hal tersebut

dapat dimengerti mengingat legenda ini menceritakan tentang asalmuasal suatu tempat,

Page 45: Cerita Rakyat Cianjur

bukan penamaan atau pemberian gelar kepada seseorang. Oleh sebab itu, yang lebih

ditonjolkan adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan nama-nama tempat

dimaksud, bukan dengan nama tokoh atau pelakunya, yang malah hanya diceritakan

sekilas saja.

Latar/Setting

Beberapa nama tempat yang menjadi latar terjadinya peristiwa dalam legenda ini yaitu

:

1. Parakantugu, sebuah desa yang dipimpin oleh Suramanggala.

2. Peuntas, tempat perkampungan yang terletak di sebelah seberang, disebut juga

Pasirdalem.

3. Pasirdalem, nama sebuah desa hasil pemekaran, dahulunya disebut juga Peuntas.

4. Ciaripin, nama saluran irigasi yang dibangun secara swadaya oleh masayarakat

Parakantugu.

5. Cianjur, pernah menjadi nama kadaleman, kemudian manjadi nama kabupaten.

6. Kali Cibuni, kali yang mengitari beberapa perkampungan dan pesawahan.

7. Gunung Brengbreng, batas antara Kec. Kadupandak dengan Kec. Sindangbarang,

pemandangan di sebelah selatan yang dapat dilihat dari Bale Macangkrama.

Latar waktu yang tersurat dalam cerita ini yaitu tahun 1912-1920. angka tersebut

menunjukan masa pemerintahan Desa Parakantugu yang dipimpin oleh Suramanggala.

Adapun suasana yang tergambar dalam cerita ini adalah rasa senang dan gembira,

terutama terlihat ketika Desa Parakantugu dikunjungi Dalem Cianjur beserta

rombongan. Selain itu, juga ada suasana kebersamaan dan rasa gotong royong, yaitu

ketika warga Peuntas membangun saluran irigasi Ciaripin.

Tema dan Amanat

Tema dan amanat yang terkandung dalam legenda ini adalah tentang

kebersamaan hidup dan gotong royong. Hal tersebut tercermin dari perilaku kolektif

masyarakat Peuntas atau Pasirdalem yang secara bersama-sama dan swadaya

Page 46: Cerita Rakyat Cianjur

membangun saluran irigasi. Banyak sekali fungsi dari pembangunan sarana irigasi tersebut,

baik untuk pengairan lahan pertanian, maupun sebagai sumber resapan air bersih. Dengan

demikian, pengerjaan sebuah fasilitas umum yang dilakukan dengan penuh rasa kesadaran

serta didasari keikhlasan, akan membuahkan hasil yang memuaskan serta menimbulkan

rasa cita bagi seluruh warga, seperti yang dialami oleh masyarakat Desa Parakantugu. Hal

itulah di antaranya, benang merah yang dapat ditarik dari amanat legenda Sasakala

Pasidalem dan Irigasi Ciaripin.