Upload
zfirdinal
View
54
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MEMBANGUN EKSISTENSI CONSTITUTIONAL COMPLAINT:
3 (tiga) PRASYARAT DASAR
DR. Bambang WidjojantoPengajar Fakultas Hukum Universitas Hukum Universitas Trisakti;
Legal Advisor Partnership for Governance ReformSenior Lawyer WSA Lawfirm
PENDAHULUAN• Konstitusi menjadi hukum dasar tertulis di hampir
sebagian besar negara;• Konstitusi tidak hanya memuat sistem dan struktur
kekuasaan, tetapi juga merumuskan hak-hak dasar dari warga negara yang perlu dilindungi;
• Tidak seluruh konstitusi memuat mekanisme yang dapat digunakan oleh setiap warga negaranya untuk melindungi fakta dan potensi pelanggaran atas hak-hak dasar setiap warga negara yang seyogianya dilindungi;
• Ada kecendrungan kian menguatnya tuntutan publik agar perwujudan Negara Hukum dilakukan secara konsisten dan lebih berkualitas.
• Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri dan akuntabel serta adanya suatu aturan, instrumen dan mekanisme yang dapat memberikan perlindungan bagi warga negara bilamana hak-hak fundamentalnya dilanggar oleh kekuasaan ataupun pihak lainnya;
KONTEKS KONSTITUSIONALITAS• Konstitusi seyogianya merupakan “the whole aspiration
of the people”;• Konstitusi dalam kaitannya dengan Negara Hukum
seharusnya memuat (3) hal, yaitu:– Terdapat suatu rumusan yang secara eksplisit menegaskan
adanya suatu negara hukum;– Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka;– Adanya rumusan yang secara tegas mengatur dan melindungi
hak asasi manusia;
• UUD 1945 pasca amandemen memuat ketiga hal tersebut di atas, tetapi tidak merumuskan secara komprehensif, bagaimana perlindungan atas hak-hak asasi atau hak dasar manusia.
• Penerapan prinsip check and balances belum cukup diatur?
• Ada 7 (tujuh) hal menarik yang tersebut di dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar alasan diperlukan Constitutional Court dan Constitutional complaint:– Kesatu, Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat sekaligus negara hukum (Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3)};
– Kedua, pada konteks itulah kontitusionalitas meperoleh justifikasi dengan dipadu-padankannya hukum dan demokrasi menjadi Negara Hukum yang Demokratis.
– Ketiga, Kekuasaan kehakiman ditujukan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan {Pasal 24 ayat (1)};
– Keempat, keberpihakan pada kepentingan rakyat seyogianya menjadi recht idee dari proses penegakkan hukum dan keadilan;
– Kelima, ada sekitar 10 Pasal yang memuat 24 ayat yang mengatur rincian hak asasi manusia di bawah BAB Hak Asasi manusia;
– Keenam, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis {Pasal 28I ayat (5)};
– Ketujuh, setiap orang wajib menghormati HAM dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara {Pasal 28J ayat (1)};
• Filsafat Dasar Negara Hukum dalam konteks Indonesia harus berpijak dan berpihak pada daulat rakyat;
• Hal ini dapat dikonfirmasi juga melalui:– Pembukaan Alenia ke 4 pemerintahan negara dibentuk untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia;– Adanya prinsip Negara Hukum yang Demokratis (Pasal 28I ayat
5): – Pada konteks itu setiap orang wajib menghormati HAM; dan
perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM menjadi tanggungjawab negara;
• Filsafat Dasar “Daulat Rakyat” ditransformasikan menjadi Recht Idee sebagai dasar bekerjanya kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan;
• Salah satu bentuk yang paling kongkrit dari “Daulat rakyat” dirumuskan dalam prinsip-prinsip hak asasi manusia yang tersebut pada konstitusi yang seyogianya dapat ditegakan secara konsisten;
• Berdasarkan seluruh uraian di atas, apa yang perlu dilakukan untuk:
• Untuk memastikan Indonesia adalah Negara Hukum!;• Untuk menjamin Negara Hukum dimaksud berpijak pada
“Daulat Rakyat” : • Agar hak dasar dan/atau hak asasi manusia wajib dihormati
dan dilindungi oleh setiap orang; dan menjadi tanggung jawab negara;
• Diperlukan suatu kekuasaan kehakiman yang secara tegas mengatur suatu lembaga penegakan hukum yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang agar hal-hal konstitusionalitas tersebut di atas dapat dilaksanakan;
• Pada konteks itu keberadaan Lembaga MK dan adanaya instrumen Constitusional Complaint menjadi relevan dan justified untuk diajukan dan diadakan.
PRASYARAT PERTAMA• Ada beberapa prasyarat agar Constitutional Court dan
Constitutional Complaint dapat dilakukan:
• Prasyarat Pertama Ada 2 (dua) pendapat yang bisa diajukan:
• Pendapat Kesatu, ada suatu lembaga “Constitutional Court” yang diberikan tugas dan wewenang yang secara ”khusus dan spesifik” memeriksa fundamental rights yang dilanggar;
• Constitutional Court harus diletakkan dan ditujukan untuk mengawal proses konsolidasi demokratik.
• Filasafat keadilan yang sesuai untuk digunakan adalah substantial justice yang berpijak dan berpucuk pada kepentingan “daulat rakyat”
• Pada bentuk yang ekstrim sebagai ilustrasi sesuai Konstitusi di Republik Czech dikemukakan dalam Pasal 83-89 yang lebih kurang menegaskan : – “the Constitutional Court is not a court hierarchically
above the general courts, it is not the court of final appeal, and it reviews “only” constitutionality, not the legality or correctness of judicial decisions. The Constitutional Court’s role is “only” the protection of constitutionally guaranteed fundamental rights and freedoms” (Guide and Proceedings on Constitutional Complaints);
• Pendapat Kedua, ada suatu situasi dimana kebutuhan “constitutional complaint” meningkat karena meningkatnya tindakan pelanggaran yang dilakukan kekuasaan atas hak-hak dasar dan HAM;
• Pada konteks di atas, lembaga kekuasaan kehakiman yang di identikan sebagai “Constitutional Court” dapat melakukan penafsiran rechtvindings;
• Salah satu di dalam kekuasaan kehakiman yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” {Pasal 5 ayat (1)} UU No. 48 Tahun 2009;
• Rechtsvinding secara teleologis dan ekstensif juga dapat dilakukan dengan dasar sumpah jabatan hakim konstitusi, khususnya berdasarkan frasa kata “…menegakkan konstitusi dengan selurus-lurusnya”.
• Tindakan dan “ijtihad” yang dilakukan John Marshall ketika memutuskan melakukan JR tahun 1803 juga dapat dirujuk;
• Dalam kapasitas sebagai Hakim MA Amerika, John Marshall tidak punya wewenang JR sesuai Konstitusi USA, namun melakukan penafsiran ekstensif berdasarkan sumpah jabatannya (Jose H Choper, “Judicial Review & the National Political Process”, Univ. of Chicago Press, London,1980);
• Doctrine Necessities juga dapat digunakan untuk memberikan justifikasi bahwa penafsiran hukum di atas sebagai instrumen untuk mewujutkan filsafat “substantial justice”;
• Legal reasoning yang menjadi dasar argumentasi lembaga di dalam kekuasaan kehakiman wajib menegakan hukum dan keadilan yang berpijak dan berpihak pada kepentingan “daulat rakyat” yang dilanggar hak dasar dan HAM nya;
PRASYARAT KEDUA• Prasyarat Kedua, ada rumusan hak dasar atau HAM
yang telah secara jelas dan tegas diatur di dalam konstitusi;
• Rumusan tersebut juga ditujukan untuk melindungi setiap warga negara;
• Pada konteks Konstitusi di Indonesia BAB XA telah merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia;
• Ada beberapa pasal di dalam BAB dimaksud secara tegas menyatakan “setiap orang wajib menghormati HAM dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; serta negara mempunyai tanggungjawab untuk melindungi dan menegakan HAM”;
• Uraian di atas memberikan justifikasi untuk melegalisasikan diakomodasinya masalah “constitutional complaint”.
• Salah satu asas dalam kekuasaan kehakiman menyatakan Pengadilan dilarang menolak untuk mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya {Pasal 10 ayat (1)} UU No. 48 tahun 2009
PRASYARAT KETIGA• Adanya suatu kelompok masyarakat yg secara
persistent terus mempersoalkan berbagai tindak pelanggaran yg mengingkari atau menegasikan hak-hak fundamental rakyat yang dijamin di dalam konstitusi;
• Kelompok masyarakat tersebut dapat meliputi:– Aktivis HAM;– Akademisi dan Intelektual Progresif;
• Ada media yang secara sustain terus menerus mempersoalkan berbagai pelanggaran atas hak fundamental rakyat;
• Adanya JURIST yang mempunyai keberanian untuk melakukan “IJTIHAD SOSIAL” dengan mengunakan filasfat “Substantial Justice” untuk memimpin gagasan pembaruan hukum guna mewujudkan Negara Hukum yang Demokratis yang sebenar-benarnya;
PENGELOLAAN RESIKO HUKUM
• Mendorong dan memberikan penguatan kepada “Constitutional Court” memiliki kekuatan dan kelemahan sekaligus:
• Keinginan untuk senantiasa berpikir positif dan progresif guna menaklukan masalah adalah supaya yang positif;
• Perluasan kewenangan pada suatu lembaga tanpa disertai kontrol yang memadai potensial menciptakan tendensi “abuse of power” dari lembaga dimaksud;
• Legal corruption dapat terjadi bilamana tidak dirumuskan secara tegas adanya mekanisme check and control dan check and balances diantara lembaga kekuasaan yang ada;
KESIMPULAN• Suatu Negara tidak dapat disebut sebagai Negara
Hukum yang Demokratis yang sebenar-benarnya bilamana tidak mempunyai Constitutional Court serta aturan yang merumuskan instrumen dan mekanisme Constitutional Complaint;
• Secara ideal diperlukan amandemen konstitusi untuk menjustifikasi keberadaan constitutional complaint yang ditujukan untuk melindungi hak dasar yg fundamental dan HAM;
• Negara, kekuasaan kehakiman dan pemerintah wajib untuk melakukan perlindungan dan penegakan HAM; dan
• Bilamana belum dapat dilakukan amandemen atas konstitusi peraturan yang ada maka harus ada keberanian untuk melakukan “IJTIHAD SOSIAL” dari para jurist, akademisi, praktisi dan aktivis untuk melindungi dan menegakan HAM pada proses pencarian keadilan di Constitutional Cout;
• Harus juga dirumuskan upaya untuk meletakan IJTIHAD SOSIAL di dalam sistem kekuasaan yang check and balances untuk menhindari terjadi Legal Corruption melalui abuse of power.