15
Suasana pemakaman sepi, harum bunga kamboja menusuk hidung. Mendung ikut menemani suasana duka. Ah, kematian. Kematian selalu saja datang tiba-tiba. Entah ingin atau tidak kematian selalu datang. Tanah yang masih merah, menandakan baru saja ada orang yang barub di kubur. Bunga-bunga duka masih terlihat segar. Dan, orang-orang yang duduk pastilah si orang yang sangat mencintainya. Bangga as-Salam Wafat : 18-08-2007 “Oh Allah, mengapa cepat Kau panggil dia? Umurnuya masih terlalu muda,” ratap perempuan itu. Sebenarnya, tak ada gunanya menangis dan meratap seperti itu. Hanya akan menambah luka yang sulit terobati. Hanya akan menyulitkan jalan di alam barzakh. Perempuan itu memandang langit yang hiitam. Dengan berlinang air mata, ia mengangkat tangannya dan berdo’a, “ Allahummaghfirlaha warhamha wa’aafiha wa’fu’anha.” Selesai berdo’a, ia dengan susah payah berdirti lalu berjalan tertatih. Apakah semua ini takdir? Apakah ini sudah menjadi kehendak-Nya? Tuhan yang mempertemukan dirinya dengan Bangga . Bangga yang mengubah jalan hidupnya hingga mencapai seratus delapan puluh derajat. Lelaki itu pula yang mampu membuatnya terbaring gelisah di tempat tidur setiap malam, yang menghantui fikirannya. Bangga dan Bangga. Setiap hembusan napasnya ada nama Bangga. Setiap jam, setiap menit, setiap detik, hanya ada Bangga. Kini, pria itu berubah menjadi seonggok daging yang tak bernyawa. Sendirian di alam kubur. Sedang apa

Bercinta dalam Tahajjudku

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kisah cinta islamy

Citation preview

Suasana pemakaman sepi, harum bunga kamboja menusuk hidung. Mendung ikut menemani suasana duka. Ah, kematian. Kematian selalu saja datang tiba-tiba. Entah ingin atau tidak kematian selalu datang.Tanah yang masih merah, menandakan baru saja ada orang yang barub di kubur. Bunga-bunga duka masih terlihat segar. Dan, orang-orang yang duduk pastilah si orang yang sangat mencintainya.Bangga as-SalamWafat : 18-08-2007Oh Allah, mengapa cepat Kau panggil dia? Umurnuya masih terlalu muda, ratap perempuan itu.Sebenarnya, tak ada gunanya menangis dan meratap seperti itu. Hanya akan menambah luka yang sulit terobati. Hanya akan menyulitkan jalan di alam barzakh. Perempuan itu memandang langit yang hiitam. Dengan berlinang air mata, ia mengangkat tangannya dan berdoa, Allahummaghfirlaha warhamha waaafiha wafuanha.Selesai berdoa, ia dengan susah payah berdirti lalu berjalan tertatih. Apakah semua ini takdir? Apakah ini sudah menjadi kehendak-Nya? Tuhan yang mempertemukan dirinya dengan Bangga . Bangga yang mengubah jalan hidupnya hingga mencapai seratus delapan puluh derajat. Lelaki itu pula yang mampu membuatnya terbaring gelisah di tempat tidur setiap malam, yang menghantui fikirannya. Bangga dan Bangga. Setiap hembusan napasnya ada nama Bangga. Setiap jam, setiap menit, setiap detik, hanya ada Bangga.Kini, pria itu berubah menjadi seonggok daging yang tak bernyawa. Sendirian di alam kubur. Sedang apa dia di alam sana? Apa mendapat siksa atau kenikmatan/ kalau boleh memilih, lebih baik yang kedua saja.Andai tak ada kematian. Andai Allah tak mencabut nyawa manusia, pasti indah hidup ini. Pasti tak ada tangis kesedihan dari orang yang ditnggalkan.Sejak berpulangnya Bangga kemarin sore, perut perempuanitub belum terisi apapun. Dari pagi hingga sore, ia terus berada di deakat makam Bangga. Enggan rasanya meninggalkan tempat itu. Ia tak ingin apa-apa selain berada di dekat Bangga. Mengelus dan mengusap nisan Bangga sepanjang hari. Nafsu untuk hidup hilang sudah. Ia tak ingin apa-apa selain mati menyusul Bangga.Langkah kakinya mencapai jalan raya yang penuh lau lalang mobil tak beraturan. Pikirannya melayang dan matanya nyalang. Hatinya pun tak karuan. Hingga ia2Seorang mobil telah menabrak seorang wanita yang sedang menyebrang jalan. Korban adalah Kisi Carissa. Menurut para saksi, korban menyebrang sambil melamun. Hingga saat ini, korban masih dalam penanganan media di RSUD indah.Kisi Carissa terbaring lemah. Setelah ia bersedih di makan, kini ganti ia yang mengundang kesedihan keluarganya. Oh begitu cepatkah takdir Tuhan? Tadi, sejam yang lalu, ia menyalahkan takdir Tuhan dan sekarang ia malah tak berani menantang Tuhannya dengan tubuh yang remuk redam. Kini, ia hanya bias menanti kemurahan Tuhannya agar memberinya kesemapatan kedua menjalani hidupnya. Apakah masih bias di teruskan scenario Tuhan yang rumit ini/Napasnya terputus dan jantungnya berhenti berdenyut. Para dokter mengerumuninya bagai tersebut sepotong kue. Keluarganya ppun pasrah. Malaikat Izrail memanggil namanya berulang kali lewat kidung kematian yang bergema pada setiap sudut dinding rumah sakit. Apa ia akan mati? Senangkah ia bertemu dengan orang yang di cintainya? Siapkah ia dengan segala amal yang perbuatannya? Siapkah ia bertemu dengan Rabb-nya yang MahaAgung?Oh Allah, apakah aku akan mati? pekiknya sedih dan senang.Dan pikirannya kembali ke masa itu***Pagi-pagi kisi sudah marah-marah. Wah, wah, bias gawat nih!Aduh papa mana sih, Ma? Kok belum pulang juga? Kisi kan mau sekolah. Nanti telat! omel kisi sambil mondar-mandir di depan pintu rumah. Matanya kembali melirik jam tangan tweety pemberian papa pada ulang tahun ke tiga belasnya. Lucu memang kalau anak SMA masih pakai jam yang model begituan.Sabar dong. Papa kan shift tiga, saying. Pulangnya baru lima menit lagi. Lagian baru pukul enam. Bel masuk kan pukul tujuh,bujuk mama seraya mendekati anak gadisnya itu.Ah, mama! Kisi ada janji dengan Agus mau menyebarkan majalah baru sebelum pelajran di mulai. Udah deh, kisi naik angkot aja! kata Kisi lalu mencangklong tasnya di meja.Tapi, Kis.Nggak ada waktu lagi, Ma. Nanti pak Slamet marah lagi sama Kisi karena nggak menepati janji. Kisi berangkat ya, Ma. Bye!bye juga.Dengan bergegas Kisi menuju depan gang. Aduh udah sepi. Kok aneh ya? batinnya. Ekor matanya kembali melirik jam tangan.Astaganaga kecebur kali! ia berseru kaget. Tweety-ku mati! pantas dari tadi jam enam terus. Waduh, pasti mama belum liat jam dinding nih! Pasti papa lembur. Mana angkotnya ya?Dengan bingung, Kisi muter-muter kayak angin tornado di depan gang. Dan sejenak, ia berhenti di depan wartel milik pak Toni yang baru di buka. Terlihat disana mbak Nona lagi menata jualannya.Pagi mbak Nona, sapa Kisi sambil mendekat. Yang di sapa pun tersenyum manis.Pagi juga, Kis. Nggak sekolah? Tanya mbak Nona heran. Tumben ini bocah mampir kesini. Biasanya melirik aja nggak, batin mbak Nona.Sekolah sih, cuma jamku rusak. Mau numpang lihat jam.Boleh-bolrh saja, Kis. Masa melihat jam nggak boleh? Tuh! rujuk mbak Nona kearah dinding.Hah?! Jam setengah tujuh?! Ya amplop! Agus pasti marah-marah nih! Udah ya, mbak, makasih!Secepat kilat kembali ke depan gang dan langsung menyetop sebuah angkot. Ah, syukur masih ada angkot lewat. Ia bernapas lega. Tapi tunggu, angkot itu bukan jurusan kesekolah. Ke mana? Oh rupanya ke terminal!Lho pak, kok belok sini sih? Tanya Kisi.Kemana lagi, mbak? Ini pelabuhan terakhir, canda si sopir. Tapi, Kisi tak berniat untuk bergurau.nngnggak ke Tunas Bangsa? Tanya Kisi diluar angkot.mbak, kalau mau ke Tunas Bangsa pakai angkot warna putih abu-abu itu. Kalau ini sih, kesini saja, Mbak. Bensin irit!Ah, aku kan biasanya di antar papa! Nih, uangnya, makasih, Pak! Jalannya kemana ya, Pak?Lurus saja mbak. Ada gang terus masuk, belok kiri lurus.Makasih, Pak!Kisi berlari dengan cepat. Kalau lebih teliti, ia bias sajanaik angkot yang berhenti tepat di depan sekolah. Dan, itu lebih hemat tenaga, tapi menguras dompet juga sih. Lho? Ya ialah, mana mau abang sopir ngasih gratisan? Ya mesti bayar donk! Tapi, Kisi nggak ambil psuing dengan hal itu. Kini, ia sampai di depan SMA Tunas Bangsa dengan napas ngos-ngosan. Eh, tunggu deh,makhluk kece yang tadi duduk di depan Kisi ternyata turun di depan sekolahnya. Mereka hamper saja bertabrakan.Aduh sori, maaf ya! kata Kisi. Badannya limbung, namun cepat-cepat ia peganangan pada gerbang sekolah.. ia mengatur napasnya baik-baik.nggak apa-apa kok. Daripada kamu lari-lari lebih baik tadi naik angkot warna oranye, permisi.Kisi tertegun. Suara itu begitu dalam dan tulus. Kisi memandang punggung pria itu. Siapa sih dia? Jadi penasaran deh. Ah masa bodoh. Yang terpenting sekarang menemui Agus dan pak Slamet. Pasti mereka marah besar nih.Kisi tiba di depan ruang majalah. Hatinya deg-degan karena takut. Bel masuk pun sudah berbunyi dari tadio. Tapi, ia nggak peduli. Ia harus tetap menemui Agus. Dengan pelan, Kisi membuka pintu dan masuk.Dari mana saja kamu?! teriak Agus marah. Nah liat, majalah belum didistribusikan padahal udah banyak yang antre di depan pintu! Di mana tanggung jawabmu sebagai kepala pendistribusian dan kepala jurnalistik?Aduh, Agus kalau marah serem! Kisi jadi mengkeret. Pakai menunjuk-nunjuk lagi! Untung pak Slamet lagi nggak di tempat. Coba kalau ada disitu juga, wah, bias berabe!Sori Gus, tadi salah naik angkot.nggak ada yang mengantar. Tweety-ku rusak. Dan..dankamu kan tahu aku nggak pernah naik angkot, ucap Kisi lirih. Agus jadi tersentuh. Bagaimana juga, Kisi udah seperti saudaranya sendiri. Udah bersahaabt sejak lama.Oke deh, aku maklum. Kamu kan anak papa. Nggak pernah tau jalan. Sekarang, kamu mesti buat rubric khusus tentang kegiatan rohis di sekolah kita. Suara Agus melunak dan Kisi bernapas lega. Kemudian ia duduk di depan Agus. Tapi, matanya terbelalak saat telinganya mendengar kata rohis. Makanan jenis apa itu?Apaan tuh, kok baru dengar?Kegiatan ekskul baru di sekolah kita. Berdiri baru beberapa hari. Kegiatannya tentang kajian Islam kepada remaja.Terus, aku mesti ngapain?Kamu tulis segala kegiatannya, apa yang dibicarakan setiap jumat. Mengerti nggak sih?! Agus kembali gemas.Tadi kan kamu udah ngomong kalau kegiatannya tentang agama Islam. Terus kenapa mesti di buat rubric khusus?Itukan Cuma intinya doing. Secara garis besar belum. Kajian agama Islamkan banyak, Kis. Sekalian kamu bikin kuisioner. Buat, alas an kenapa meraka ikut ekskul itu, oke?Oke bos. Aku ke kelas dulu ya! Jumat besok aku beroperasi. Kisi membuka pintu. Tapi, sebelum ia menutupnya, ia berbalik dan menatap Agus. Agus jadi heran.Ada yang perlu ditanyakan?Eanuiitutempat ekskulnya di mana?Ya di masjid sekolah dong! Dimana lagi? Masa di kantin? Namanya juga kajian Islam. Kamu Islam kan?Hehehejelas dong! Cuma kalau kajian Islam aku nggak tahu. See you!Brak!!! Pintu pun tertutup dengan keras. Kisi melenggang santai ke kelas. Kegiatan apa tadi? Mukhlis? Rukhis? Aduh apa ya tadi? Rorohis. Ya, rohis. Kok aneh ya? Di ujung lorong, hati Kisi tambah deg-degan begitu akan melewati kelas 1.6. lho apa hubungannya dengan hatinya? Karena, itu kelas cowok impiannya. Dengan gugup, Kisi berjalan melewati kelas itu. Kisi melirik dari jendela kaca. Ia bisa melihat si idaman hati. Ahkuch-kuch hota hai! Kisi menatapnya dan.Braaakkk!!!Bug!!!Maaf!***Malamnya, Kisi sedang asyik duduk-duduk di depan rumah bersama papa.Pa, Kisi itu manja banget ya? Tanya Kisi bersandar di pundak papanya.Nggak usah di omongin pun kamu tuh udah manja. Memang kenapa? Tumben Tanya-tanya? papa membelai rambut Kisi.Nggak kenapa-kenapa sih. Begini, tadi kan papa telat datang, eh Kisi juga ikutan telat. Mana salah naik angkot lagi. Jadinya, Kisi ngos-ngosan saat sampai di sekolah. Kisi mulai besok berangkat sendiri saja, ya, biar bisa mandiri. Nggak manja terus.Nah gitu dong! Kalau begini kan m, Papa kalau pergi bisa tenang.Maksud Papa? Kisi menegakkan tubuhnya dan menatap Papanya.Dengan begini, kalau Papa nggak ada, kamu bisa menjaga mama.Iya, iya, Kisi bakal menjaga mama. Eh, Pa, masa Kisi di sekolah di tabrak sama orang. Jatuh deh!makanya kalau jalan liat-liat. Nggak boleh banyak melamun. Untungnya bukan truk. Lagi pula, mata kamu pasti kelayapan kemana-mana., jadinya nggal l;ihat di depan ada orang.Ye, nggak salah di Kisi semua dong, Pa! mungkin itu orang juga lagi melamun. Tapi, amta Kisi nggak kelayapan kemana-mana kok pa, tetap di rongga mata, elak Kisi.mata kamu emang masih situ, maksud papa, kamu pasti lagi meleng. Melihat cowok-cowok lagi belajar di kelas. Iya kan?Iya, iya Kisi yang meleng. Kisi salah. Udah deh, Pa, nggak usah di bahas lagi. Kisi mau tidur, capek!Kisi pun langsung menuju kamarnya meninggalkan papa seorang diri di teras rumah yang kemudian di temani mama hingga larut. Di kamar, Kisi nggak langsung tidur. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan membuka buku hariannya dan jemarinya mulai menari diatas buku hariannya itu.***330 Oktober 2006.Papa, sosok yang baik, beruntung jika aku punya seorang yang seperti dia. Dilengkapi mama yang nggak kalah bijaksana juga.Semoga aku bahagia selalu. Bersama papa dan mama yang menyayangiku hingga kini. SertaHoah!Belum selesai Kisi menulis, ia menguap dan jatuh tertidur. Kepalanya berada diatas buku harian. Dan tanpa sepengatuan Kisi, papa masuk kedalam kamarnya. Ia membaca tulisan Kisi dan tersenyum simpul. Kemudian, di taruhnya buku harian putrinya ke dalam laci dan menyelimuti tubuh Kisi, mencium keningnya, menatapnya sejenak lalu beranjak keluar dengan suara sepelan mungkin.***Hari Jumat di masjid sekolah.kisi, kamu nggak masuk? Tanya Riris, pengurus rohis bagian putrid sekaligus teman sekelasnya. Dengan enggan, Kisi menggeleng. Riris tersenyum lembut dan duduk disamping Kisi.Kenapa? Nama kamu kan sudah terdaftar. Mubazir kan sudah sampai disini, tapi nggak masuk, cuap Riris bijak. Kisi menatap wajah Riris.Aduh betpa ayunya wajahmu, Ris. Kamu pakai kosmetik apa sih? Tiap hari wajahmu cerah. Dan, hiasan kepalamu. Hush! Kisi jangan kurang ajar! Itu namanya jilbab, batinnya.Hei kok bengong sih? lanjut Riris.Eh, begini, Ris, bukannya aku nggak mau ikut ekskul ini, tapi aku ikut gara-gara dapat tugas dari Agus buat bikin rubric khusus. Jadi,untuk saat ini aku males, Ris. Nanti sore aku ke rumahmu saja ya buat nanya-nanya. Dan sekalian please, tolong aku buat menyebarkan kuisioner ini. Tolong ya!Oke, Cuma ini saja? Tanya Riris dengan menerima kuisioner. Kisi menganggug senang.Jam tujuh aku ke rumahmu ya?Aku tunggu di rumah lho, Kis.Kisi beergegas memakai sepatunya dan berlari meninggalkan masjid menuju tempart lain. Di mana? Ya mana lagi kalau bukan perpustakaan sekolah. Kenapa? Selain meminjam buku, disana juga bercokol cowok manis dengan lesung pipinya yang menawan. Siapa lagi kalau bukan Muaricio, cowok incarannya sekaligus adik kelsasnya.Cowok keren jebolan Pueto Rico ini memang di gandrungi cewek- cewek di SMU Tunas Bangsa. Nggak heran kalau Kisi juga ikut. Tapi, demi jaga image, ia mesti menyimpan rapat rasa itu didalam hati saja. Malu dong kalau ketahuan suka sama adik kelas.Tapi, meski banyak fans, Mauris, begitu ia biasa di panggil, tetap tampil apa adanya. Bisa bergaul dengan siapa saja, nggak macam-macam.Bu, saya mau pinjam ini, kata Mauris pelan. Bu Tika, si jutek penjaga perpustakaan tersenyum manis pada cowok yang asli keturunan Texas-Jawa itu. Ia langsung mencatatnya. Bagi bu Tika yang sedikit ganjen, sosok Mauris mirip seorang koboi yang sedang menaklukan kuda yang menandak liar. Gagah.Melihat Mauris ada di Meja peminjaman, Kisi langsung mencopot buku seadanya dan menyodorkan kepada Bu Tika. Haitnya kayak kendang India, dag dig dug, berdiri disamping Mauris. Oh, Tuhan,inikah rasanya cinta? Berjauhan tapi takut akan meninggalkan syak wasangka? Berdekatan, tapi akan meninggalkan bekas hati penasaran? Anugerah indah yang kini kurasakan terasa perih di hatiku. Nyeri.Penyakit Cinta?Bu Tika menyebutkan buku yang di pinjam Kisi, Kamu mau pinjakm ini, Kis? lanjutnya terus.Kisi tersandar dalam lamunannya dan di lihatnya ke samping. Oh, Mauris sudah pergi.Kisi, kamu mau pinjam ini? ulang Bu Tika tambah kerus.Iingnggak jadi dehmaaf, Bu, permisi Kisi pun hilang dari pandangan. Bu Tika hanya bisa bersungut-sungut marah.Dasar anak zaman sekarang. Mengambil buku malah nggak jadi pinjam. Kalau begini aku yang repot. Mesti mengembalikkan ulang ke rak yang benar. Dasar, nasib, nasib, dari dulu nggak naik jabatan. Buku saja yang di jaga!Nah lo, Bu Tika kalau marah memang suka gitu. Ujung-ujungnya pasti menyangkut jabatan. Tapi, Kisi nggak ambil pusing sama omelan Bu Tika. Kini hatinya berbunga-bunga.Ia menuju kelasnya sambil memasang muka ceria. Asyik, meski sejenak, tapi hatinya bahagia banget bisa berdiri disamping Mauris. Si cowok keren yang memang terbukti cool. Kisi memang benar-benar suka sama dia. Kuch kuch hota hai sama dia. Saat dibelokan, Kisi kembali bertabrakan dengan seseorang. Mereka sama-sama terjatuh.Kemarin tabrakan, sekarang juga tabrakan. Apes nih! ungut Kisi seraya berdiri dan memberihkan roknya.Maaf ya.Kisi tertegun. Eeh suara itu lagi. Sudah tiga kali Kisi mendengarnya. Matanya pun menatap sosok yang telah pergi menjauh. Siapa sih dia? Jadi penasaran nih. Kisi pun mengikuti dari belakang. Lho, kok dia ke arah masjid sekolah ya? Wah, perlui di selidiki nih!Kisi kehilangan jejak. Dimana dia? Tadi jelas-jelas kulihat dia masuk sini. Tapi, sekarang kok udah nggak ada? Penasaran banget Kisi ini. Saat Kisi lagi mencari-cari orang misterius itu, nggak menyangka matanya malah melihat si Mauris lagi duduk mengikuti kajian yang sedang oleh guru agama, pak Sirait. Kisi jadi asyik menatap Mauris dari pintu masjid.Assalamualaikum, kamu nggak masuk? Tanya sebuah suara. Ah, Kisi mendengarnya lagi. Cepat-cepat ia menoleh. Di belakangnya berdiri seorang cowok yang tidak terlalu tinggi, namun tegap. Wajahnya basah oleh titik-titik air wudhu. Matanya teduh. Adem deh kayaknya. Hei jadi orang ini yang udah menabrak aku? Tanya Kisi dalam hati.Eh, boleh nanya nggak? Tanya Kisi tanpa menjawab salam.Iya?Kamu yang seangkot sama aku kan? Terus yang menbrak aku juga kan?Bukan aku yang menabrak kamu, tapi kita yang nggak sengaja tabrakan. Maaf, aku masuk dulu.Aih, di zaman kayak begini masih aja ada orang yang bersikap sopan kayak gitu? Siapa sih namanya? Tanpa sadar, kaki Kisi melangkah masuk kebagian putrid dan duduk di samping Riris.Hei berubah pikiran? bisik Riris terkejutYa gitu deh, jawab Kisi tersenyumNggak karena ustadz Bangga kan?Alis Kisi bertaut. Ia tampak tidak mengerti pertanyaan Riris. Siapa tuh? tanyanya.Jangan pura-pura nggak tahu deh. Banyak lho yang ikut ekskul ini karena ustadz Bangga. Kasihan mereka karena niat Cuma setengah-setengah. Kayak kamu juga yang niatnya cum gara-gara disuruh Agus. Tapi, maaf ya karena aku udah ngomong kayak tadi. Habis, alasannya sama semua sih. Nih kuisionermu yang tadi. Ingat jaga hijab. Jaga hati. Semoga terhindar dari pandangan setan yang terkutuk.Kisi tak lagi mendengar perkataan Riris. Bangga? Memang siapa sih Bangga?Tapi Ris, suerr aku nggak pernah tahu atau kenal dengan yang namanya ustadz Bangga. Aku kesini karena aku penasaran sama orang yang udah menabrak aku. Dan dia masuk sini, bisik Kisi. Ia memasukkan kertas kuisioner kesakunya.Maaf deh kalau gitu. Nih, pakai krudung. Riris menyodorkan sebuah kerudung pada Kisi dan langsung dipakai. Kamu cantik. Coba kalau suatu saat nanti kamu berjilbab pasti lebih cantik, puji Riris sambil tersenyum.Kiamat dah kalau aku pakai jilbab. Nanti-nanti saja deh.Meski kiamat pun aku pasti tunggu kamu buat membuktikan omonganmu. Sekarang, dengarkan Ustadz Bangga kasih materi selanjutnya.Sebenarnya Kisi males untuk mendengarkan ceramah. Mengantuk. Alergi dengan namanya ceramah. Bosan. Dia berniat pergi. Tapi, saat mau berdiri, ia mendengar suara itu lagi. Ia urungkan niatnya. Ia benar-benar takjub.Nggak salah kalau para siswi pada ikut ekskul ini, gumam Kisi dalam hati. Lha yang namanya Ustadz Bangga memang terbukti kece. Nilainya sembilan. Kalah deh Mauricio. Mata yang teduh itu tak sedikit pun kelayapan ke barisan bagian putrid. Kebanyakan menunduk dan kebanyakan juga tertuju kepada sejenisnya.mungkin dia salah satu kumpulan gay yang tersesat masuk ke SMU ini, batin Kisi nyeleneh. Hush, kurang ajar banget pikirannya! Konyol jika punya pikiran sepicik itu. Ganteng juga. Punya karisma. Hatiku kok jadi nggak karuan ya? Eh, stop, stop! Kok malah mikirin orang itu sih? Bagaimana pun juga, Mauris tetap cowok idamanku. Walau aku nggak pernah ngomong atau menyapa dia. Aku puas dengan hanya melihat dia dari jauh.***4Kisi berjalan menuju rumah. Sore itu, pulang terlambat dan papa tidak menjemputnya. Rubrik khusus tentang ekskul rohis sudah ia buat. Walau tidak rinci, tapi ia puas. Ternyata, otang yang tiga kali tabrakan dengannya itu seorang ustadz yang lagi praktik mengajar di sekolahnya. Bangga, keren juga namanya.Baru kali ini ia temui orang dengan nama yang unik. Saat tiba di depan masjid kampungnya, matanya melebar. Apa nggak salah tuh? batinnya. Kisi makin dekat. Benar, itu ustadz Bangga! Dia lagi mengepel lantai masjid! Batin Kisi.Dia baru beberapa hari di sini, juga membantu Bapak membersihkan masjid ini, kata pak Haji.Kisi menoleh.Eh, pak Haji. Selamat sore, sapa Kisi.Bukan selamat sore, tapi, Assalamualaikum.Berapa kali bapak harus mengingatkan kamu, Bocah manis?iya, iya, kum salam, tapi bapak jangan manggil Kisi dengan Bocah manis lagi ya. Kisi kan udah gede. Bukan bocah lagi, omel Kisi panjang lebar. Pak Haji hanya bisa tersenyum simpul, Namanya Bangga, kan?Ya namanya Bangga. Dia kost dirumah bapak. Eh, kok jadi ngomongin orang? Sana cepat pulang!Iya, lagi pula Kisi juga mau pulang kok. Oh ya pak Haji, pertanyaan terakhir, apa Bangga mengajar ngaji juga? Tanya Kisi smbil berbisik. Ia tahu pertanyaan yang diajukan sangat konyol.Senyum pak Haji merekah sedikit lalu alis matanya saling bertautan. Ia memandang Kisi dengan tatapan serius. Kalau ia, memang kamu mau apa? Mau mengaji juga disini? Ogah ah, niatnya aja udah nggak Karena Allah. Murid bapak udah banyak.Kisi cemberut mendengar jawaban pak Haji.Siapa juga mau ngaji sama pak Haji? Kisi juga mau nanya doing. Masih ada Riris kok yang mau mengajarkan. Pak Haji pelit!