4
Bentuk dan Sistem Pemerintahan Islam dalam Timbangan Ilmu Negara Modern (Bagian 1) Oleh: Deden Koswara* A. Pendahuluan Jalal Al Alam menyatakan dalam bukunya "Dammiru Al Islam wa Abidu Ahlah" bahwa strategi untuk menghancurkan Islam antara lain adalah menghancurkan pemerintahan Islam dengan cara meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang direpresentasikan dalam bentuk Negara Utsmaniyah. Meskipun pemerintahan Utsmaniyah sudah jauh dari ruh ajaran Islam, tetapi musuh-musuh Islam selalu khawatir jika sampai Khilafah Islam ini akan berubah dari sekedar "formalitas" belaka menjadi kekhilafahan hakiki yang akan mengancam mereka. Ketika perundingan di Lausanne (20 Nopember 1922) sudah dimulai untuk menetapkan "perjanjian damai" di antara kedua pihak yang berperang, Inggris menetapkan sejumlah syarat bagi Turki. Pada Intinya, Inggris ingin akan menarik dirinya dari bumi Turki, kecuali Turki menjalankan beberapa syarat berikut : 1. Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya; 2. Turki harus berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah; 3. Turki harus memutuskan hubungan dengan Islam; 4. Turki harus memilih konstitusi sekuler sebagai pengganti konstitusi yang bersumber dari hukum-hukum Islam. Mustafa Kemal Attaturk kemudian menjalankan syarat-syarat tersebut dan negara-negara penjajahpun akhirnya menarik diri dari wilayah Turki. Pada tangal 3 maret 1924 Kemal Atataturk resmi menghapus negara Khilafah Islam, di mana salah pidato penegasannya di hadapan Komite Nasional Turki adalah; "Dengan harga apa yang harus dibayar untuk menjaga Republik yang terancam ini dan menjadikannya berdiri kokoh di atas prinsip ilmiah yang kuat? Jawabnya Khalifah dan semua keturunan keluarga Utsman harus pergi (dari Turki), pengadilan agama yang kuno dan undang-undangnya harus diganti dengan pengadilan dan undang-undang modern, sekolah-sekolah kaum agamawan harus disterilkan tempatnya untuk dijadikan seklah-sekolah negeri yang non agama". Dan ketika Cerzoon (Menlu Inggris) berpidato menyampaikan keadaan yang terjadi di Turki, sebagian anggota parlemen Inggris menghujatnya dengan keras dan menyatakan keheranannya, bagaimana mungkin Inggris mengakui kemerdekaan Islam, yang memiliki kemampuan menghimpun negeri-negeri Islam - sekali lagi - guna menyerang Barat. Untuk menanggapi gugatan tersebut, Cerzon menjawab "Sesungguhnya kita telah benar-benar menghancurkan Turki, sehingga Turki tidak akan pernah dapat bangkit kembali setelah itu..... Alasannya, kita telah menghancurkan kekuatannya yang tercermin dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah". Seketika itu juga, seluruh anggota parlemen Inggris riuh bertepuk tangan. Seiring dengan runtuhnya negara Khilafah Islam pada tahun 1924 oleh Kemal Attaturk, maka bentuk formal negara Khilafah Islampun lenyap dari muka bumi. Akibatnya generasi sekarang tidak bisa dan tidak mampu membayangkan bentuk

Bentuk dan Sistem Pemerintahan Islam dalam Timbangan Ilmu Negara Modern

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bentuk dan Sistem Pemerintahan Islam dalam Timbangan Ilmu Negara Modern

Bentuk dan Sistem Pemerintahan Islam dalam Timbangan Ilmu Negara Modern (Bagian 1)Oleh: Deden Koswara*

A. PendahuluanJalal Al Alam menyatakan dalam bukunya "Dammiru Al Islam wa Abidu Ahlah" bahwa strategi untuk menghancurkan Islam antara lain adalah menghancurkan pemerintahan Islam dengan cara meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang direpresentasikan dalam bentuk Negara Utsmaniyah. Meskipun pemerintahan Utsmaniyah sudah jauh dari ruh ajaran Islam, tetapi musuh-musuh Islam selalu khawatir jika sampai Khilafah Islam ini akan berubah dari sekedar "formalitas" belaka menjadi kekhilafahan hakiki yang akan mengancam mereka.Ketika perundingan di Lausanne (20 Nopember 1922) sudah dimulai untuk menetapkan "perjanjian damai" di antara kedua pihak yang berperang, Inggris menetapkan sejumlah syarat bagi Turki. Pada Intinya, Inggris ingin akan menarik dirinya dari bumi Turki, kecuali Turki menjalankan beberapa syarat berikut :1. Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya;2. Turki harus berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah;3. Turki harus memutuskan hubungan dengan Islam;4. Turki harus memilih konstitusi sekuler sebagai pengganti konstitusi yang bersumber dari hukum-hukum Islam.Mustafa Kemal Attaturk kemudian menjalankan syarat-syarat tersebut dan negara-negara penjajahpun akhirnya menarik diri dari wilayah Turki. Pada tangal 3 maret 1924 Kemal Atataturk resmi menghapus negara Khilafah Islam, di mana salah pidato penegasannya di hadapan Komite Nasional Turki adalah; "Dengan harga apa yang harus dibayar untuk menjaga Republik yang terancam ini dan menjadikannya berdiri kokoh di atas prinsip ilmiah yang kuat? Jawabnya Khalifah dan semua keturunan keluarga Utsman harus pergi (dari Turki), pengadilan agama yang kuno dan undang-undangnya harus diganti dengan pengadilan dan undang-undang modern, sekolah-sekolah kaum agamawan harus disterilkan tempatnya untuk dijadikan seklah-sekolah negeri yang non agama". Dan ketika Cerzoon (Menlu Inggris) berpidato menyampaikan keadaan yang terjadi di Turki, sebagian anggota parlemen Inggris menghujatnya dengan keras dan menyatakan keheranannya, bagaimana mungkin Inggris mengakui kemerdekaan Islam, yang memiliki kemampuan menghimpun negeri-negeri Islam - sekali lagi - guna menyerang Barat. Untuk menanggapi gugatan tersebut, Cerzon menjawab "Sesungguhnya kita telah benar-benar menghancurkan Turki, sehingga Turki tidak akan pernah dapat bangkit kembali setelah itu..... Alasannya, kita telah menghancurkan kekuatannya yang tercermin dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah". Seketika itu juga, seluruh anggota parlemen Inggris riuh bertepuk tangan.Seiring dengan runtuhnya negara Khilafah Islam pada tahun 1924 oleh Kemal Attaturk, maka bentuk formal negara Khilafah Islampun lenyap dari muka bumi. Akibatnya generasi sekarang tidak bisa dan tidak mampu membayangkan bentuk negara dan system pemerintahan negara Khilafah Islam. Oleh karenanya, diantara berbagai kesulitan yang dijumpai di tengah-tengah umat Islam saat ini adalah mendekatkan gambaran bentuk negara dan system pemerintahan Islam yang sebenarnya dalam benak mereka, karena gambaran yang ada telah banyak dipengaruhi oleh realitas bentuk negara dan system pemerintahan yang ada sekarang. Pikiran mereka tidak mampu menggambarkan bentuk negara dan system pemerintahan negara Khilafah Islam, kecuali dalam cakupan yang digambarkan oleh system demokrasi yang rusak, yang dipaksakan Barat pada negeri-negeri Islam.Negara Khilafah Islam bukanlah sebuah mimpi, bukan pula khayalan dalam

Page 2: Bentuk dan Sistem Pemerintahan Islam dalam Timbangan Ilmu Negara Modern

imajinasi. Sebab, bukti-bukti benar-benar ada dan memenuhi relung-relung sejarah selama 13 abad. Negara Khilafah Islam adanya nyata, sebagaimana adanya di masa lampau. Maka dari itu, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari tentang bentuk negara dan system pemerintahan negara Khilafah Islam secara jujur dan obyektif. Murni dari sudut pandang Islam, bukan dari sudut pandang Barat yang landasannya secara diametral bertolak belakang dari sudut pandang Islam. Untuk itulah tulisan ini ditulis dengan maksud untuk memposisikan kembali bentuk negara dan system pemerintahan negara Khilafah Islam dalam teori-teori ilmu negara (modern) saat ini. Masuk kategori atau bentuk negara apa dan sistem pemerintahan apa negara Khilafah Islam? Monarki atau republik? Presidensil atau parlementer?B. Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan Model BaratDalam masyarakat Barat, pembicaraan tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan sudah dimulai zaman Yunani Kuno, yang dipelopori oleh Socrates (w. 399 SM), yang kemudian diikuti oleh Plato, Aristoteles, Epicurus, dan Zeno. Sedangkan pada zaman Romawi Kuno, pembicaraan tentang negara dipelopori oleh Polybius, Cicero, dan Seneca. Pada masa itu pembicaraan tentang bentuk negara bercampur dengan bentuk/sistem pemerintahan. Dan pembahasannya ditinjau secara ideal (filsafat). Umumnya mereka mengklasifikasikan bentuk-bentuk negara menjadi tiga golongan, yakni monarki, aristokrasi, dan demokrasi (dengan berbagai eksesnya), dengan menggunakan criteria: (a) susunan daripada pemerintahannya (kekuasaan pemerintahan dipegang oleh berapa orang) dan (b) sifat dari pemerintahannya (pemerintahan itu ditujukan untuk siapa). Teori tentang klasifikasi bentuk negara beserta sistem pemerintahannya tersebut dikelompokkan sebagai teori klasifikasi negara klasik tradisional.Sedikit berbeda dengan zaman Yunani - Romawi Kuno, pada zaman pertengahan teori tentang bentuk negara umumnya hanya dibagi dalam dua bentuk, yakni Republik dan Monarki. Teori ini diperkenalkan oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya "Il Principe". Untuk menentukan apakah suatu negara termasuk sebagai negara republik atau monarki, maka oleh George Jellinek teori ini kemudian dikembangkan. Menurut Jellinek, bentuk negara dapat diketahui dari bagaimanakah terbentuknya kemauan negara. Apabila kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam jiwa atau badan seseorang secara individual, maka negara tersebut digolongkan sebagai negara monarki. Sedangkan apabila kemauan negara itu terbentuk atau tersusun berdasarkan kemauan banyak orang yang berbadan yuridis (dewan), maka negara tersebut digolongkan sebagai negara republik.Dikarenakan teori tersebut mengandung banyak kelemahan, maka teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh Leon Duguit. Duguit berpendapat bahwa untuk membedakan antara negara republik dengan monarki dilihat dari cara atau sistem pengangkatan kepala negara. Apabila kepala negaranya ditunjuk atau diangkat berdasarkan pewarisan, maka negara tersebut digolongkan sebagai negara monarki. Sedangkan apabila kepala negaranya diangkat berdasarkan pemilihan yang melibatkan banyak orang (rakyat), maka negara tersebut digolongkan sebagai negara republik.Sama seperti teorinya Jellinek, teori Duguit juga mengandung kelemahan. Oleh karenanya para sarjana pada zaman modern berusaha mencari dan merumuskan bentuk negara yang lebih mendekati kenyataan, maka muncullah tiga aliran yang didasarkan pada bentuk negara yang sebenarnya, yaitu :1. Paham yang menggabungkan persoalan bentuk negara dengan bentuk pemerintahan;2. Paham yang membahas bentuk negara itu atas dua golongan, yaitu demokrasi atau dictator;3. Paham yang mencoba memecahkan bentuk negara dengan ukuran-ukuran/ketentuan yang sudah ada.Sekalipun terdapat banyak konsep tentang bentuk negara, namun secara umum

Page 3: Bentuk dan Sistem Pemerintahan Islam dalam Timbangan Ilmu Negara Modern

bentuk negara yang banyak dianut saat ini adalah konsepnya Duguit, yakni bentuk negara republik dan monarki. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Soehino bahwa bagaimanapun juga kiranya untuk keadaan pada zaman modern (saat ini: penulis) ajaran Guguit-lah yang agak sesuai dan mendekati keadaan yang senyatanya.Kemudian konsep pembagian bentuk negara lainnya yang banyak dianut adalah bentuk negara demokrasi dan dictator. Dalam konsep ini, bentuk negara yang baik dan ideal adalah negara demokrasi. Sedangkan segala bentuk negara yang jelek adalah dictator. Seluruh permasalahan yang ada ditimbang dengan konsep demokrasi. Jika memenuhi konsep dan standar demokrasi, maka disebutlah negara tersebut sebagai negara yang demokratis, sedangkan jika tidak memenuhi syarat dan standar tersebut, maka dikatakanlah negara tersebut sebagai negara dictator.Dalam hal sistem pemerintahan, pada umumnya sistem pemerintahan yang ada di dunia ini terbagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensil. Pada tipe yang pertama, yakni sistem parlementer pertanggungjawaban eksekutif yang diwakili oleh kabinet, yang terdiri dari perdana menteri dan menteri-menteri diberikan kepada parlemen. Pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dengan demikian antara eksekutif dan badan perwakilan rakyat (parlemen) terdapat hubungan yang sangat erat, di mana pertanggungjawaban menteri diberikan kepada parlemen. Oleh karenanya setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen, yang berarti bahwa kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen.Dalam system parlementer ini, antara kepala negara dengan eksekutif, dalam hal ini adalah kabinet, memiliki kedudukan yang terpisah dan berbeda. Kedudukan kepala negara dalam sistem ini umumnya dijabat oleh raja atau kaisar atau presiden. Dan kedudukannya adalah khas serta mandiri, yang tidak ada kaitan atau hubungannya dengan keberadaan kabinet. Kepala negara dalam sistem pemerintahan parlementer tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, sehingga segala kesalahan yang dilakukan kabinet (baik Perdana Menteri maupun para menteri) tidak dapat melibatkan kepala negara. Oleh karenanya seorang kepala negara tidak bisa dijatuhkan disebabkan kesalahan para menteri atau kabinet. (bersambung)*) Dosen Bagian Tata Negara Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin