Artikel Tentang Tenaga Kerja Dan Kesempatan Kerja

  • Upload
    icahatta

  • View
    5.677

  • Download
    13

Embed Size (px)

Citation preview

TUJUH PERUSAHAAN PPTKIS DIKENAI SANKSI SKORSING

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menjatuhkan sanksi skorsing terhadap tujuh perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang terbukti melakukan berbagai pelanggaran dalam proses persiapan dan pemberangkatan TKI. Sanksi skorsing itu berupa penghentian sementara, sebagian atau seluruh kegiatan penempatan TKI ke Luar Negeri. Tujuh perusahaan PPTKIS yang dijatuhi sanksi skorsing adalah PT. Amanitama Berkah Sejati, PT. Aqbal Duta Mandiri, PT. Tritama Megah Abadi, PT. Karya Pesona Sumber Rejeki, PT. Duta Ampel Mulia, PT. Abdi Bela Persada, PT. Dasa Graha Utama. Demikian diungkapkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam siaran persnya di Jakarta pada Minggu (4/4). Sanksi Skorsing ini merupakan salah satu upaya Kemenakertrans untuk meningkatkan standar pelayanan dalam perlindungan dan penempatan TKI serta melakukan pengawasan yang lebih ketat dan selektif terhadap keberadaan perusahaan PPTKIS. Menakertrans menjelaskan sanksi skorsing dijatuhkan kepada tujuh perusahaan PPTKIS karena melakukan beberapa pelanggaran. Salah satu jenis pelanggaran adalah tidak memenuhi standar penampungan sebagaimana diatur dalam PER. 07/MEN/IV/2005 tentang Standard Tempat Penampungan Calon Tenaga Kerja Indonesia. Beberapa PPTKIS terbukti tidak memiliki tempat penampungan yang layak bagi calon TKI yang hendak berangkat ke luar negeri. Perusahaan yang tidak memiliki sarana dan prasarana penampungan TKI yang memadai memang wajib dikenai sanksi tegas, kata Menakertrans. Berdasarkan hasil Pengawasan sidak dari Satuan Tugas dan Perlindungan (Satgas) TKI Pemantauan yang dan

Penempatan

dibentuk

Kemenakertrans beberapa waktu lalu, beberapa perusahaan PPTKIS bahkan diketahui tidak menyediakan tempat pelatihan, tempat makan, sarana MCK serta tempat tidur yang layak dan manusiawi bagi calon TKI.

Sampai saat ini Direktorat Jenderal Pembinaan penempatan Tenaga Kerja (Ditjen Binapenta) dan Satgas Pemantauan dan Pengawasan Penempatan dan Perlindungan TKI Kemenakertrans terus melaksanakan audit manajemen terhadap seluruh PPTKIS di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 500 perusahaan. Audit ini dilakukan untuk mengetahui kondisi riil tempat pelatihan calon TKI, fasilitas penampungan serta dokumen perijinan PPTKIS. Menakertrans menambahkan jenis pelanggaran lainnya yang dilakukan tujuh PPTKIS yang di-skorsing sudah termasuk dalam kategori pelanggaran berat dan telah memasuki ranah tindakan kriminal. Beberapa PPTKIS terbukti melakukan pemalsuan tanda tangan pejabat KBRI dalam Perjanjian Kerja serta tidak memiliki Sertifikat Pelatihan CTKI sehingga terindikasi adanya pemalsuan sertifikat pelatihan CTKI, kata Menakertrans. Untuk menindaklanjuti dan menuntaskan permasalahan ini, Kemenakertrans akan bekerja sama dengan Polri dan aparat hukum lainnya untuk melakukan langkah-langkah penegakan hukum (law enforcement) untuk melindungi kepentingan TKI. Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan penempatan TKI, Kemenakertrans telah menetapkan Sertifikasi Pelatihan CTKI untuk menjalani program pelatihan 200 jam agar membentuk skill minimum para calon TKI sehingga diharapkan mampu cepat beradaptasi dengan dunia kerja yang dihadapi di luar negeri. Pusat Humas Kemenakertrans

KETENAGAKERJAAN Tersedianya lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga kerja merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi daerah. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan

pertumbuhan ekonomi khususnya investasi langsung (direct investment) pada sektorsektor yang bersifat padat karya, seperti konstruksi, infrastruktur maupun industri pengolahan. Sementara pada sektor jasa, misalnya melalui perdagangan maupun pariwisata. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja (labour force). Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran. Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35 jam penuh. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja adalah 264.802 orang (BPS, 2005) atau 64,48 % dari jumlah penduduk sebesar 410.682 jiwa. Dilihat dari lokasi, sebagian besar tinggal di desa yaitu 211.681 jiwa, sedangkan di kota sebanyak 53.121 jiwa. Dari jumlah angkatan kerja tersebut yang bekerja adalah sebesar 89,01%, sedangkan sisanya 10,99% tidak bekerja atau menganggur. Dilihat aspek gender, sebagian besar yang menganggur adalah wanita (17,42%), sedangkan yang laki-laki sekitar 5,32%. Apabila dilihat dari jumlah pencari kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bima (2006) sebagian besar berpendidikan SMU keatas atau perguruan tinggi, yaitu sekitar 5.217 orang yang terdiri dari diploma III dan sarjana (S1). Sempitnya lapangan kerja di Kabupaten Bima tidak terlepas dari masih rendahnya potensi ekonomi yang dimanfaatkan terutama pada sektor pertanian. Adapun penyerapan tenaga kerja yang baru lebih banyak mengandalkan sektor jasa pemerintahan melalui

kebijakan pemerintah pusat mengangkat tenaga honor daerah menjadi PNS dimana selama 2005 s/d 2009 diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 orang. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan atau burden of dependency ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah beban yang ditanggung oleh penduduk produktif terhadap penduduk tidak produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk produktif yang tidak bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan. Kondisi ini juga banyak ditemukan di Kabupaten Bima di mana masyarakatnya tinggal di wilayah pedesaan yang mana laki-laki muda banyak tidak bekerja demikian pula dengan wanitanya. Masalahmasalah ketenagakerjaan di Kabupaten Bima yang paling menonjol antara lain : 1. Rendahnya minat tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja baru melalui kegiatan wirausaha, terutama tamatan dari sekolah kejuruan maupun SMA. 2. Kurangnya inovasi di bidang pertanian, industri dan sektor jasa dalam meningkatkan investasi padat tenaga kerja. 3. Tenaga kerja berpendidikan sarjana umumnya bekerja sebagai setengah penganggur karena memasuki bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya dan bekerja kurang dari 36 jam per minggu. 4. Minimnya investasi dan pabrik yang dapat menampung tenaga kerja skala besar. 5. Tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang disebabkan oleh kualifikasi sarjana di Kabupaten Bima didominasi oleh ilmuilmu sosial dibandingkan ilmuilmu eksakta yang lebih bersifat aplikatif. 6. Hambatan budaya yang lebih memandang PNS sebagai pekerjaan prestisius, sehingga mematikan kreatifitas untuk bekerja di luar sektor jasa pemerintahan. KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN Dari kajian tekstual yang dilakukan KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan regulasi (Perda/SK Kepala Daerah), peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan ketenagakerjaan di sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah : Pertama, pelanggaran dalam hal perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja

asing. Padahal, Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal 3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat. Kedua, Ketiga, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans. diskriminasi gender. Di sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur atau ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi) tertentu atasnya. Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut. Begitu pentingnya posisi pengaruh faktor Ketenagakerjaan di satu sisi dan banyaknya persoalan pada sisi lain menyebabkan efek serius bagi kelancaran berusaha di daerah. Semua itu menambah biaya tambahan (additional cost) dalam ongkos berbisnis (cost of doing business), baik biaya waktu (banyaknya waktu untuk bernegosiasi dengan pihak buruh dan pemda) maupun biaya material karena berbagai pungutan legal dan ilegal yang ada. Kekakuan dalam kebijakan ketenagakerjaan kita maupun iklim kebijakan makro yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah merupakan peta jalan kemana arah menelusuri persoalan. Berdasarkan beberapa kasus daerah lain di atas, tampaknya persoalan kebijakan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima belum begitu kompleks sebagaimana dialami daerah yang telah maju sektor industri dan jasanya. Bahkan, penanganan ketenagakerjaan di

Kabupaten Bima dari aspek upah saja belum dapat ditangani dengan baik, belum masalah-masalah seperti keselamatan kerja dan perlindungan tenaga kerja lainnya sesuai dengan amanat perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

BURSA LOWONGAN KERJA DISERBU PELAMAR Medan, Kompas - Sedikitnya 1.100 pencari kerja mencari lowongan kerja di Uniplaza Job Exhibition 2004 yang digelar selama dua hari, 6-8 Agustus 2004, di Medan. Berdasarkan waktu pendaftaran yang ditutup 31 Juli, sedikitnya 4.000 pencari kerja telah mendaftarkan diri dalam bursa kerja itu. Namun, tidak disebutkan jumlah lowongan kerja yang tersedia selama pameran. Pasalnya, meski ke-11 perusahaan tersebut mendeskripsikan jenis lowongan kerja yang tersedia, mereka tidak bersedia menerima langsung berkas lamaran kerja yang diajukan pengunjung. Pendaftaran bertujuan untuk membatasi peserta yang mengikuti paket diskusi dan seminar mengenai karier yang diadakan secara gratis oleh panitia akibat keterbatasan daya tampung ruangan. Hal ini sebagai upaya mencegah menumpuknya peserta di ruang pamer. Situasi ini juga tercermin dalam Indonesia Karir Expo 2004 di Gedung Tennis Indoor Senayan, Jakarta. Sedikitnya 1.000 pencari kerja yang mencari lowongan di bursa kerja harus berdesak-desakan. Namun, setelah masuk ke arena bursa, banyak dari para pencari kerja yang kecewa karena perusahaan yang membuka lowongan hanya menerima lamaran kerja tanpa ada wawancara langsung. Kali ini 60 perusahaan menyediakan 2.000 lowongan, padahal jumlah pengunjung diperkirakan 30.000 orang. Lowongan yang tersedia mulai untuk lulusan SLTA sampai sarjana (S1). Kebanyakan yang dibutuhkan adalah para pencari kerja yang sudah memiliki pengalaman. Pertama kali Bursa kerja yang diadakan Asian Agri Group bekerja sama dengan Pusat Jasa Ketenagakerjaan Universitas Sumatera Utara ini merupakan yang pertama kali digelar di luar Pulau Jawa. Bursa ini bertujuan mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan yang membutuhkan.

"Kami sengaja membentuk kelompok kecil untuk pengunjung agar mereka bisa dengan santai mengenali perusahaan peserta pameran dan mendapatkan informasi lowongan kerja yang mereka inginkan. Jika tidak dibatasi, kami khawatir tidak terkontrol," kata Corporate Affairs Director Asian Agri Group Djoko Oetomo kepada Kompas di hari pertama bursa kerja di Medan. Namun, para pengunjung kecewa karena tidak dapat mengajukan berkas lamaran mereka pada bursa kerja tersebut. Pasalnya, para peserta pameran baru merekrut tenaga kerja baru setelah pameran usai. "Memang kami disuruh mengirim lamaran melalui e-mail atau pos ke alamat yang mereka berikan dan jika ada penerimaan baru dipanggil. Tetapi, sebenarnya saya berharap pameran ini sekaligus dengan proses penerimaan kerjanya sehingga hasilnya bisa tampak," kata Susi, sarjana teknik mesin Universitas Sumatera Utara. Menurut Djoko, pihaknya berusaha menghindari terjadinya penumpukan pengunjung pada gerai pameran di ruang pamer. "Ini juga untuk menghindari timbulnya keributan akibat desak- desakan para pengunjung selama pameran. Jadi, proses rekrutmen baru berlangsung setelah pameran ini selesai," katanya. Manajer Sumber Daya Manusia PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Bennidictus mengatakan, setiap tahun RAPP merekrut 100 sarjana yang baru lulus. Mereka dibagi dalam empat-lima angkatan untuk dididik setiap tahun menjadi karyawan yang andal. Setelah membuka pameran Wali Kota Medan Abdillah mengatakan selama ini jumlah pengangguran terbuka yang ada di Kota Medan bertambah 5 persen atau 100.000 penganggur setiap tahunnya. (HAM/ETA/TAV)

SERBUAN PENCARI KERJA DI INDONESIA TIDAK TERSAMBUNGNYA PENDIDIKAN DAN KERJA Jakarta, Kompas - Ribuan pemburu kerja yang rela berdesakan-desakan hingga pingsan dalam Pameran Bursa Kerja Career 2003 di Hotel Kartika Candra, 15-16 Juli, menunjukkan tidak tersambungnya dunia pendidikan dengan kepentingan dunia kerja. Para pemburu kerja dengan berbagai latar belakang pendidikan terpaksa berebut lowongan kerja yang jumlahnya minim. Di sisi lain, situasi ini juga menggambarkan pasar saat ini dipenuhi tenaga kerja yang tidak memiliki kualifikasi khusus sehingga lowongan apa pun diserbu. "Ini fenomena lama yang muncul di permukaan. Tekanan tenaga kerja yang luar biasa hingga peluang dan harapan sekecil apa pun harus diambil oleh mereka. Ini problem hubungan antara pendidikan dan dunia kerja," kata pengamat sosial dari Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, yang dihubungi di Surabaya, Rabu (16/7). Hotman mengatakan, fenomena itu juga menunjukkan adanya permasalahan dalam sistem pendidikan. Output dunia pendidikan tidak bisa memenuhi kualifikasi dunia kerja. Jual beli gelar dan komersialisasi pendidikan menjadikan pasar tenaga kerja tidak diisi oleh orang yang berkualitas. Pada hari kedua pameran, ribuan para pemburu kerja tetap memadati pameran itu. Berbeda dengan hari pertama yang sempat kisruh, hari kedua para pemburu kerja mau mengantre secara tertib. Meski demikian, antrean tetap panjang hingga pelataran Hotel Kartika Candra dipenuhi mereka. "Dari pameran ini menunjukkan adanya kesenjangan informasi antara perusahaan dan para pelamar," kata Donnie Iriawan dari penyelenggara pameran. Direktur PT Mitra Management, sebuah perusahaan konsultan pengembangan sumber daya manusia, Nunuk Adiarni mengatakan, fenomena ini menunjukkan kebutuhan lapangan kerja yang sangat luas. Pasokan tenaga kerja dari berbagai pintu pendidikan begitu kuat menggelontor pasar, sedangkan peluangnya kecil. "Mereka orang yang dahaga, memiliki pengharapan yang kuat untuk mendapat pekerjaan. Begitu ada peluang kecil, langsung menyerbu. Dari fenomena ini juga menunjukkan mereka adalah mayoritas tenaga kerja yang memiliki talenta yang minim. Mereka yang menggelontori pasar tenaga kerja yang tidak memiliki kemampuan khusus,"

kata Nunuk. Nunuk sepakat dengan patokan pertambahan pertumbuhan satu persen akan menyerap tenaga kerja 400.000 orang. Dengan pertumbuhan saat ini, masih sulit terjadi lowongan kerja yang besar. Pameran seperti itu memperlihatkan dengan jelas bahwa perburuan tenaga kerja selama ini sebenarnya tengah terjadi. Akan tetapi, di kalangan konsultan pengembangan sumber daya manusia sebenarnya sudah sering mendapatkan serbuan seperti itu. "Misalnya kalau kita pasang iklan lowongan, ribuan lamaran akan masuk. Mereka asal kirim meski tak sesuai kualifikasi. Mereka tetap nekat mengirim lamaran. Lamaran seperti ini dalam hitungan tidak sampai satu menit sudah masuk kotak sampah," katanya. Nunuk mengatakan, dunia kerja akan tertarik terhadap pelamar yang memiliki talenta khusus. Mereka akan melirik pertama kali dari daftar riwayat hidup yang dikirimkan, yang merupakan gambaran dari sejarah pelamar. Selanjutnya baru akan ditentukan lewat tes. Hotman mengatakan, fenomena ini telah lama terjadi dan sangat klasik. Hal itu terlihat dari ratusan pembawa map yang antre di pabrik-pabrik. "Di mana-mana seperti itu, tiap hari mulai dari map lusuh sampai map yang berbagai macam masuk ke perusahaan. Ini angka pengangguran yang sangat tinggi yang mencoba bertahan hidup," katanya. Dalam angkatan kerja yang bergelar sarjana dan mendapat pendidikan yang setengah-setengah itu akan muncul potensi eksploitasi ledakan yang luar biasa. "Mereka memiliki ekspektasi yang sangat tinggi, tetapi performance-nya rendah. Ini sudah cukup lama dan menjadi bukti tingkat pengangguran yang tinggi. Sementara lapangan kerja tidak bertambah," kata Hotman. Fenomena ini merupakan gabungan dari minimnya lapangan pekerjaan, baik di kota maupun di desa. "Daya tampung desa makin kecil. Demikian pula kota-kota penyangga juga sudah tidak bisa menampung. Tumpuan mereka akhirnya terjadi di kota," kata Hotman. Jadi, saat ini ada perubahan, yaitu sejumlah perusahaan mulai kembali membuka lowongan setelah krisis ekonomi yang banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). (B16/MAR).

TERGOLONG TINGGI, PENGANGGURAN DI SURABAYA Surabaya, Kompas Kota Surabaya sebagai kota industri dan kota jasa nomor dua di Indonesia, ternyata masih belum mampu memberikan lapangan kerja bagi penduduk dan pendatang di kota tersebut. Permasalahan ketenagakerjaan di Surabaya masih diwarnai oleh adanya ketidakseimbangan antara persediaan dan kebutuhan tenaga kerja.Ketidakseimbangan itu, antara lain disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang tinggi. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Surabaya selama kurun waktu 1980-1990 menunjukkan angka yang tinggi yaitu sebesar 2,06 persen per tahun. Sejalan dengan tingginya pertumbuhan penduduk ini, menyebabkan pertumbuhan angkatan kerjanya juga semakin tinggi. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 1999 jumlah angkatan kerja diperkirakan menjadi 1.397.300 orang dari 1.052.050 orang pada tahun 1993. Selain itu, kualitas angkatan kerja yang ada juga masih rendah. Hal ini ditunjukkan dari data di Kantor Departemen Tenaga Kerja (Kandepnaker) Kodya Surabaya dengan masih besarnya kelompok angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah, pada tahun 1999 sebanyak 477.280 orang, atau 34.16 persen dari seluruh angkatan kerja. Walau demikian dengan adanya program wajib belajar sampai dengan SLTP tingkat partisipasi sekolah lanjutan akan semakin meningkat dan secara kuantitatif jumlah angkatan kerja yang berpendidikan tinggi akan terus bertambah. Namun, tambahan tersebut tidak selalu dapat menjamin kecocokan kualitas dan kualifikasi tenaga kerja, dengan kebutuhan serta persyaratan jabatan. Pada tahun 1999, angka pengangguran dan pencari kerja yang tercatat di Badan Pusat Statistik Kodya Surabaya menunjukkan, jumlah pencari kerja di Surabaya mencapai 134.392 orang, terdiri dari 71.592 orang laki-laki dan 62.800 orang perempuan. Jumlah ini meningkat 46,75 persen jika dibandingkan dengan angka pengangguran tahun 1997 sebesar 91.581 orang.

Pengangguran tidak penuh tahun 1999 berjumlah 212.264 orang, terdiri dari 104.876 laki-laki dan 107.388 perempuan. Pengangguran tidak penuh adalah pekerja yang jam kerja kurang dari 35 jam per minggu. Jika ditotal pengangguran penuh dan tidak penuh berjumlah 346.656 orang, atau 24,81 persen dari total angkatan kerja. Walau angka pengangguran cukup tinggi, namun angka pencari kerja yang datang ke Kandepnaker Surabaya masih rendah. Pada tahun 1999, pencari kerja yang tercatat di kantor itu sebanyak 14.995 orang, atau 11,16 persen dari total pengangguran yang ada. Padahal, dengan mencatatkan diri ke kantor tenaga kerja, keinginan mereka untuk mendapat pekerjaan bisa terpenuhi. Kandepnaker Surabaya pada tahun 1999 ini mencatat, jumlah lowongan yang terdaftar melalui mekanisme antarkerja sebanyak 3.393 lowongan kerja. Tingginya angka pengangguran di Surabaya ini, ternyata masih ditambah lagi dengan banyaknya pekerja yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja) oleh perusahaan. Data pekerja yang ter-PHK di Kandepnaker Surabaya pada tahun 1998 sebanyak 2.112 orang di-PHK massal, dan 904 orang di PHK perorangan. Tahun 1999 sebanyak 560 orang di-PHK massal dan 741 orang di-PHK perorangan. Sedangkan pada tahun 2000 lalu tercatat, 2.498 orang di-PHK massal, dan 678 orang di-PHK perorangan. Melihat banyaknya pengangguran di Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya bersama-sama sektor swasta hendaknya mulai memikirkan pembukaan pasar kerja baru. Namun, pembukaan pasar kerja ini jangan dilakukan dengan mentolerir keberadaan PKL di sembarang tempat, melainkan dengan perbaikan infrastruktur kota atau perbaikan kualitas sumber daya manusianya. (arn)

DIKUTIP DARI : http://www.formulabisnis.com/lowongan_kerja/art-lowongan-kerja-5.php