Upload
warnet-raha
View
134
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota
lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV UUD 1945
pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh
MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukan ke
dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan
pertama kali pada pemilu 2004. pada 2007, berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim
pemilihan umum. Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu
legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali.
Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi
menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan umum adalah suatu
hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah pengejewantahan sistem
demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen,
dan dalam struktur pemerintahan. Ada negara yang menyelenggarakan pemilihan umum
hanya apabila memilih wakil rakyat duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang
juga menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.
Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah partai-partai
politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan mengajukan calon-calon untuk
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam
sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel
member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem
distrik). Multy member constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil;
biasanya dinamakan proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).
B. Rumusan Masalah
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pemilikhan umum yang bisa memberikan
kontribusi bagi sistem politik yang demokratis, dan efektif yang sedang giat-giatnya
dilaksanakan adalah sistem proses pemilihan umum yang luber, yang matang mengenai
sistem pemilu proporsional dan pemehaman yang luas dari pemerintah. Berdasarkan
pernyataan ini maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah sistem pemilu proporsional?
2. Faktor-faktor apa yang menmjadi kelebihan dan kekurangan pada pemilu sistem
proporsiona?
BAB II
PEMBAHASAN
2. Pengertian Sistem
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu organisasi besar yang menjalin berbagai subjek
atau objek serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu. Subjek atau objek
pembentuk sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau masyarakat. Kehadiran subjek atau
objek semata belumlah cukup untuk membentuk sebuah sistem, itu baru merupakan
himpunan subjek atau objek. Himpunan subjek atau objek tadi baru membentuk sebuah
sistem jika lengkap dengan perangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalin tentang
bagaimana subjek-objek bekerja, berhubungan dan berjalan.
Sebuah sistem sederhana apapun senantiasa mengandung kadar kompleksitas tertentu. Dari
uraian diatas cukup jelas bahwa sebuah sistem bukan sekedar himpunan suatu subjek atau
himpunan suatu objek. Sebuah sistem adalah jalinan semua itu, mencakup objek dan
perangkat-perangkat kelembagaan yang membentuknya. Selanjutnya perlu disadari bahwa,
seringkali suatu sistem tidak bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem yang lain.
3. Pemilihan Umum
a. Makna Pemilu
Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis
adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi,
norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab.
Lembaga itu adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola
kekuasaan. Suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan pesona luar biasa. Siapapun
akan amat mudah tergoda untuk tidak hanya berkuasa, tetapi akan mempertahankan
kekuasaan yang dimilikinya. Sedemikian mempesonanya daya tarik kekuasaan sehingga
tataran apa saja kekuasaan tidak akan diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui
perebutan atau kompetisi.
Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan daya rusak
kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis, ras, ikatan
persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi merebutkan kekuasaan tanpa
disertai norma, aturan, dan etika; nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya
menjinakan kekuasaan. Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium
ilmu politik, power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absoluteny.
Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi. Pemilu mendatang
diharapkan dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk membangun suatu
institusi yang dapat menjamin transfer of power dan power competition dapat berjalan secara
damai dan beradab. Untuk itu, pemilu 2004 harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan
etika yang dapat memberi jaminan agar pemilu tidak saja dapat berlangsung secara jujur dan
adil, tetapi juga dapat menghasilkan wakil-wakil yang kredibel, akuntabel, dan kapabel serta
sanggup menerima kepercayaan dan kehormatan dari rakyat, dalam mengelola kekuasaan
yang dipercayakan kepada mereka untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Agar pemilu 2004 dapat menjadi anggeda pelembagaan proses politik yang demokratis,
diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam
permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subjektif
masing-masing. Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh.
Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi bukan sekedar
hasil kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar untuk menjaga kepentingannya.
Bila hal itu yang terjadi, dikhwatirkan hasil pemilu akan memperkuat oligarki politik. Karena
itu, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar
kerangka hukum yang merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana
menghasilkan pemilu yang demokratis. Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai
perkembangan konsensus politik dari peraturan kepentingan di parlemen serta saran
mengenai regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Pertama, diperlukan penyelenggaraan pemilu yang benar-benar independen. Parsyaratan ini
amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur. Harapan itu tampaknya
memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan setelah pansus pemilu menyetujui
bahwa kondisi pemilihan umum (KPU) benar-benar menjadi lembaga independen dan
berwewenang penuh dalam menyelenggarakan pemilu. Sekretariat KPU yang semula
mempunyai dua atasan: untuk urusan operasional bertanggung jawab kepada KPU, telah
disatukan dalam struktur yang tidak lagi bersifat dualistik. Struktur yang sama diterapkan
pula ditingkat propinsi serta kabupaten dan kota.
Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan partai-partai
menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu kemajuan. Sejak semula,
sebenarnya argumen kontra terhadap sistem proporsional terbuka dengan menyatakan sistem
ini terlalu rumit gugur dengan sendirinya.
Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat itu harus
menyadari bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain rumit, diperlukan
kesabaran melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Sebab, partai politik bukan saja
instrumen untuk melakukan perburuan kekuasaan, tetapi juga institusi yang mempunyai tugas
melakukan pendidikan dan sosialisasi politik kepada masyarakat.
Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih efektif dari pemilu 2004.
Caranya antara lain, agar pengawas pemilu selain terdiri dari aparat penegak hukum dan
KPU, juga melibatkan unsur-unsur masyarakat. Selain itu, perlu semacam koordinasi diantara
lembaga pemantau dan pengawas pemilu sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan
dilakukan terhadap seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah
menampung, menindak lanjuti, membuat penyilidikan dan memberi saksi terhadap
pelanggaran pemilu.
Keempat, Money politics mencegas habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang
amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money politics dewasa ini
telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih memilih pemimpin mulai dari elite
politik sampai dibeberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap
dana kampanye harus lebih ketat. Misalnya, Batasan sumbangan berupa uang,
mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang
memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD lebih-lebih sumber ilegal dan tentu
saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal bagi para pelanggarannya.
Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai
politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung unsur-unsur baru serta detail-
detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.
b. Pemilih dan Hak Pilih
Persyaratan mendasar dari pemerintahan perwakilan daerah adalah bahwa rakyat mempunyai
peluang untuk memilih anggota dewan yang memegang peranan dan bertanggung jawab
dalam proses pemerintahan. Masken Jie (1961) berpendapat bahwa pemilihan bebas,
walaupun bukan puncak dari segalanya, masih merupakan suatu cara yang bernilai paling
tinggi, karena belum ada pihak yang dapat mencipatakan suatu rancangan politik yang lebih
baik dari cara tersebut untuk kepentingan berbagai kondisi yang diperlukan guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam masyarakat manapun. Pertama, pemilihan dapat
menciptakan suatu suasana dimana masyarakat mampu menilai arti dan manfaat sebuah
pemerintahan. Kedua, pemilihan dapat memberikan suksesi yang tertib dalam pemerintahan,
melalui transfer kewenangan yang damai kepada pemimpin yang baru ketika tiba waktunya
bagi pemimpin lama untuk melepaskan jabatannya, baik karena berhalanga tetap atau karena
berakhirnya suatu periode kepemimpinan.
Pada sistem pemerintahan nonperwakilan daerah, peranan warga daerah terbatas pada hal-hal
yang relatif tidak terorganisasi dan tidak langsung dalam urusan pemerintahan daerahnya.
Rakyat harus memainkan peranan yang aktif dan langsung jika pemerintahan perwakilan
diinginkan untuk menjadi dinamis dan bukan merupakan proses statis. Ada banyak
kepentingan dan pengaruh warga daerah untuk melibatkan diri dalam proses pemerintahan
daerah, tetapi yang paling mendasar adalah melalui pemilihan para wakilnya dalam
kepemimpinan daerah.
c. Hak Untuk Memilih
Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari pemerintahan perwakilan dan
pengembangannya diberbagai negara merupakan fenomena yang paling penting dalam
kaitannya dengan pemerintahan perwakilan daerah yang modern. Pada abad 19, banyak
negara belum mempunyai proses pemilihan untuk posisi-posisi pada pemerintahan daerah. Di
negara lainnya, hak untuk memilih seringkali dibatasi pada sejumlah kecil penduduknya.
Namun perkembangan selama satu abad terakhir ini menunjukan adanya kemajuan yang
berarti dalam mengalihkan hak dari beberapa orang saja menjadi hak bagi semua, atau lebih
tepat lagi berupa hak bagi hampir semua, karena pada sistem hak pilih yang paling luas pun
masih ada beberapa diantaranya yang tidak memenuhi syarat untuk memilih.
Dalam banyak hal, hak untuk memilih bagi perwakilan pada lembaga daerah terbatas pada
satu orang yang merupakan warga daerah tersebut. Namun pengecualiannya dapat dijumpai
pada persemakmuran Inggris yang hukum kewarganegaraannya menyatakan bahwa warga
negara dalam persemakmuran manapun dapat memilih di Inggris Raya, bila ia dinayatakan
memenuhi syarat (HMSO, 1965). Dewasa ini sudah menjadi fenomena yang umum untuk
memberikan hak pilih kepada seseorang yang sudah mencapai “umur yang bertanggung
jawab”. Ada dua persyaratan lain yang sering diungkapkan dalam cara yang agak negatif.
Diketahui bahwa sudah menjadi hal yang biasa disetiap negara untuk menghapus hal pilih
dari mereka yang tidak waras atau catat mental dan mereka yang sedang menjalani hukuman
penjara. Demikian pula, ada beberapa negara yang tidak membolehkan warganya yang telah
menjalani masa tahanan dalam penjara selama waktu yang cukup lama untuk ikut memilih.
Di indonesia, mereka yang dihukum diatas lima tahun tidak diperkenankan mengikuti
pemilihan umum.
d. Pemilu Sistem Proporsional
Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu: pemilu sistem
distrik dan pemilu sistem proporsional. Namun yang akan dibahas penulis ialah pemilu
sistem proporsional.
Sistem ini perjumlah penduduk pemilih misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih
memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah sekelompok orang
yang diajukan kontekstan pemilu (multy member constituency), sehingga wakil dan pemilih
kurang akrab. Tetapi sisah dapat digabung secara nasional untuk kursi tambahan, dengan
begitu partai kecil dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai.
Indonesia berada ditengah-tengah sistem ini (sistem campuran) dalam pemilihan selama orde
baru, tetapi sedikit cenderung agak mirip pada sistem proporsional.
e. Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional
Kelemahan
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini
tidak menjurus kearah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, mereka lebih
cenderung lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk
mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya diaggap bahwa sistem ini
mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai;
2. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal-hal semacam ini partai lebih menonjol
perannya dari pad kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpinan partai.
Kelebihan
1. Partai politik bisa leluasa menentukan siapa yang bakal calon.
2. integritas secara citra partai lebih “solid” karana para pemilih mendukung atau mencoblos
partai politik serta calonnya.
3. pencalonan perempuan okeh partai politik sebagai anggota legislatif sebanyak 30 %.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilu, akan tetapi umumnya ada dua
prinsip pokok yaitu: sistem distrik dan sistem proporsional, namun pada pemilu 2009
menggunakan sistem pemilu proporsional. Sebagai catatan penutup perlu dikemukakan,
perjalanan yang akan ditempuh bangsa Indonesia dalam mengukir demokrasi masih amat
panjang dan melelahkan. Kebiasaan melakukan pergantian kekuasaan dan sirkulasi elite
penguasa yang reguler, aman dan beradab hanya dapat dilakukan melalui serangkaian pemilu
yang jujur dan adil.
Politik merupakan kualitas yang paling penting untuk membangkitkan dan
mengorganisasikan minat dan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan
ditingkat daerah. Pada unit pemerintahan yang lebih besar, politik memegang peranan
penting dalam proses pemerintahan perwakilan. Untuk mewujudkan aspirasi masyarakat guna
mewujudkan good governance. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan
penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih
dan bertanggung jawab serta bebas KKN.